ASPEK SOSIAL EKONOMI AGROFORESTRI bag 2
2) Kelayakan (Feasibility)
Faktor kelayakan mencakup aspek apakah petani mampu mengelola agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka punyai, apakah mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber daya dan teknologi tersebut.a) Sumber daya yang tersedia
Status ekonomi Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan (menurut ukuran lokal) dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas). Rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987). Luas lahanPemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon- pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Banjarnegara, Wonosobo, dan Gunung Kidul. Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif (Berenschot et al., 1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987).
Pertanyaan
Selain lahan, adakah sumber daya lain yang mempengaruhi kelayakan suatu sistem agroforestri. Bagaimanakah sumber daya ini dapat mempengaruhi diterapkannya sistem agroforestri oleh petani?Kualitas lahan
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian campuran yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu), budidaya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting dan memberikan keuntungan ganda bagi peternak.Pohon, lahan dan alokasi tenaga kerja (Arnold dan Dewees, 1998)
(1) Karena kesempatan kerja lain lebih memberikan harapan, maka biaya tenaga kerja menjadi lebih mahal. Penanaman pohon menjadi pilihan yang dapat diterima, karena membutuhkan lebih sedikit input tenaga kerja daripada tanaman pangan.(2) Kesulitan pengawasan dan pembiayaan tenaga kerja dapat menjadi pendorong untuk menanam dan mengelola pohon
dibandingkan dengan mengusahakan tanaman pangan yang sangat boros tenaga kerja.
(3) Rumah tangga yang lebih matang, yang umumnya kekurangan tenaga kerja muda, mungkin lebih mudah mengadopsi sistem penggunaan lahan yang kurang membutuhkan tenaga kerja.
(4) Pohon cenderung ditanam oleh rumah tangga yang mempunyai sumber penghasilan lain di luar pertanian, yang dengan sendirinya tidak perlu mengelola lahan secara intensif.
(5) Kualitas lahan di dalam atau di antara zone agroekologi sangatlah beragam, sehingga kemungkinan membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengolahnya. Pada kondisi ini, penanaman pohon merupakan pilihan yang menarik.
(6) Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan lahan yang luas, lebih suka menanam pohon sebagai simpanan untuk warisan anak-cucu, daripada menjual atau menyewakan lahan tersebut kepada orang lain.
Tenaga kerja dan alokasinya
Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu organisasi sosial. Pada tingkat keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Pengelolaan agroforestri oleh suatu keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga. Ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga mempengaruhi pilihannya untuk mengembangkan agroforestri.Pengaruh faktor ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budidaya pohon- pohon ditunjukkan oleh kasus di pedesaan Jawa (Berenschot et al., 1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budidaya pohonpohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.
Paolisso et al. (1999) berdasarkan penelitiannya di Yuscaran – Honduras, menjelaskan bahwa respon rumah tangga petani terhadap degradasi lahan dipengaruhi oleh gender dan struktur demografi rumah tangga. Kultur masyarakat Yuscaran menekankan bahwa pertanian adalah pekerjaan laki-laki. Namun kondisi degradasi lahan pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan pertanian. Curahan waktu kerja laki-laki pada budidaya jagung secara positif dipengaruhi oleh kualitas lahan dan secara negatif oleh kemudahan (kepekaan) erosi lahan. Tenaga kerja laki-laki pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marjinal (miskin) dan peka erosi cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor non-pertanian (off- farm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi melainkan juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan pertaniannya. Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga kerja anak dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita.
b) Teknologi pendukung
Banyak penelitian yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola agroforestri.Kenyataannya, banyak petani yang tidak melaksanakan apa yang direkomendasikan oleh peneliti.
Alasan utama yang menyebabkan penolakan adopsi inovasi di tingkat petani:
Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku teknologi
Hasil rekomendasi yang diberikan seringkali didasarkan pada sudut pandang atau pengetahuan peneliti. Rekomendasi yang diberikan adalah apa yang seharusnya dilakukan bila dilihat dari sudut pandang ilmiah. Namun para petani memiliki pertimbangan dan pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu sesuai dengan rekomendasi atau tawaran teknologi yang diberikan oleh peneliti.Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi
Rekomendasi teknologi seringkali dikemas dengan bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah sangat berbeda dengan bahasa petani. Bahasa ilmiah seringkali sulit dicari padanannya dalam bahasa sehari-hari. Hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan sarana dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana pelaku teknologi dapat bertanya tentang masalah agroforestri pada lahannya. Terbinanya komunikasi yang lebih intim antara penyedia dan pelaku teknologi dapat meningkatkan kepekaan peneliti akan masalah yang dihadapi di lapangan.Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai bentang lahan
Bentang lahan yang berbeda akan mempunyai sifat dan ciri yang berbeda pula, sehingga setiap sistem agroforestri pada bentang lahan yang berbeda akan memerlukan penanganan dan teknologi yang berbeda.c) Orientasi produksi
Alasan utama yang mendasari keputusan rumah tangga petani untuk menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial dari hasil pohon.Namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat disediakan dari sistem agroforestri merupakan pendorong utama sebagian besar rumah tangga petani untuk menanam pohon. Perubahan pertanian dari yang semula subsisten menjadi semakin komersial menyebabkan penanaman pohon pada skala petani menjadi lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi. Kemudahan akses ke pasar untuk menjual hasil pohon menciptakan peluang terciptanya sumber penghasilan, dan memberikan peluang untuk menukar input yang semula tersedia dari pohon dengan input lain, misalnya pupuk.
Dari subsisten ke komersial
Orientasi produksi agroforestri dapat dibedakan menjadi subsisten dan komersial. Orientasi ekonomi masyarakat berburu-meramu (hunting dan gathering), peladang berpindah (ladang gilir-balik = shifting cultivation atau swidden agriculture), dan petani kecil (peasant) adalah subsisten, artinya kegiatan ekonominya diorientasikan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga (konsumsi), bukan untuk meningkatkan modal (kapital) melalui investasi ulang (reinvestation). Sedangkan petani besar yang mengusahakan tanaman perdagangan cenderung berorientasi komersial. Pengertian subsisten dan komersial dalam tulisan ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi produksi agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan dimaksudkan untuk menggambarkan adanya model produksi kapitalis (the capitalist mode of production). Orientasi subsisten mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman untuk dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan orientasi komersial mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman yang dapat dipasarkan. Perubahan orientasi pasar dari subsisten ke komersial seringkali merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem agroforestri .Kehidupan yang semakin konsumtif
Layanan lingkungan sebagai salah satu peran penting agroforestri menjadi tidak begitu penting. Hal ini terjadi pada daerah yang mengalami1) integrasi yang lebih besar ke dalam suatu ekonomi pasar, yang mengutamakan kebutuhan konsumsi pribadi jangka pendek di atas kebutuhan hidup komunal dalam jangka panjang, atau
2) kemiskinan begitu ekstrim hingga hanya bisa menjamin kelangsungan hidup sehari-hari (Rhoades, 1988 dalam Reinjtjes et al., 1992). Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat industri/kota, dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri, atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif.
Perubahan pilihan penggunaan lahan di daerah Pesisir Tengah- Lampung (Aumeeruddy dan Sansonnens, 1994).
Sampai awal abad 20, hutan sekunder di lahan sekitar Desa Jujun (Kerinci-Jambi) dikuasai dengan menanami bambu, yang berupa lahan terbuka ditanami dengan tanaman tahunan. Sedangkan padang penggembalaan esktensif ditanami sedikit pohon buah-buahan. Pengenalan tanaman perdagangan pada awal abad 20, khususnya kopi dan karet mengurangi pemeliharaan ternak, dan pohon mulai dibudidayakan pada lahan terbuka dan padang penggembalaan.Penambahan keluarga-keluarga baru menyebabkan penguasaan lahan semakin sempit per rumah tangga, sedangkan kebutuhan uang semakin meningkat. Sebagai akibatnya siklus tanaman kayu manis (Cinnamomum burmani) semakin pendek. Rumah tangga petani memperkaya tanaman di ladang dengan tanaman pohonpohon untuk menambah penghasilan musiman, sehingga ladang berkembang menjadi sistem agroforestri kompleks. Beberapa jenis tanaman pohon yang diusahakan pada sistem ladang gilir-balik yang utama adalah kayu manis (Cinnamomum burmani) dan kopi (Coffea canephora var. robusta), ditambah pohon buah-buahan: nangka (Artocarpus heterophyllus), kuweni (Mangifera odorata), alpokat (Persea americana); dan pohon penghasil kayu: melaku (Alangium kurzii) dan suren (Toona sinensis). Sedangkan pada sistem pelak dibudidayakan kayu manis (Cinnamomum burmani), kopi (Coffea canephora var. robusta), dan karet ditambah jengkol (Archidendron pauciflorum), kemiri (Aleurites moluccana), suren (Toona sinensis), melaku (Alangium kurzii), dan semulun (Michelia champaca).
Pemenuhan kebutuhan
Namun seringkali keputusan petani tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai pasar belaka. Keputusan atas apa yang harus dihasilkan didasarkan bukan hanya atas permintaan pasar, namun juga atas apa yang bisa atau tidak bisa didapatkan di pasar. Spesialisasi mungkin tidak menguntungkan jika produk yang harus dibeli itu mahal, kualitas jelek atau tidak tersedia di pasar secara tetap. Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi bahan pertimbangan penting.Kemudahan akses ke pasar dan harga pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan menentukan apakah petani memilih menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
d) Pengetahuan lokal petani
Diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri seringkali merupakan isu yang agak sensitif. Dalam mempromosikan teknik agroforestri, peneliti dan pakar harus menyadari dan peka terhadap peran dan pengetahuan petani akan lahan mereka sendiri. Mereka juga harus peka terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani. Petani telah mempraktekkan agroforestri selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestri jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestri.Pemilihan jenis penggunaan lahan dan jenis pohon yang ditanam oleh petani di Pakuan Ratu, Lampung (Hairiah et al., 2000).
Tingginya harga input produksi dan rendahnya kesuburan tanah, mendorong petani untuk menanam pohon, terutama pada lahan yang miring. Pengusahaan tanaman semusim dianggap menguras tanah, sedangkan penanaman pohon diharapkan mampu memperbaiki kesuburan tanah. Oleh karena itu, menurut sebagian petani, sebaiknya lahan di Pakuan Ratu ditanami pohon.Pohon apa yang dipilih? Sebagian petani telah mencoba menanam kopi, kakao, kelapa sawit dan karet. Tanaman kopi, kakao dan kelapa ternyata sangat peka terhadap masa kekeringan yang panjang, sedangkan kelapa sawit dan karet lebih tahan. Kedua tanaman tersebut ternyata juga memiliki kelemahan dan kelebihan.
Menurut petani, karet mempunyai kelebihan:
1) dapat tumbuh di berbagai kualitas tanah (subur maupun tidak subur);
2) memberikan penghasilan yang menguntungkan, khususnya bila mereka memanfaatkan lahan antar baris pohon dengan tanaman semusim;
3) hasil panen karet dapat dijual dengan mudah;
4) tahan terhadap kekeringan.
Sedangkan kelapa sawit memiliki kelebihan:
1) tahan terhadap kebakaran;
2) membutuhkan tenaga kerja relatif sedikit;
3) menjamin pendapatan dalam jangka panjang. Namun, kelapa sawit menghendaki tanah yang subur dan perlu pupuk yang lebih banyak.
e) Kebijakan pendukung
Kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong agroforestri ke arah kegagalan atau keberhasilan. Beberapa kebijakan yang menghambat produksi dan penjualan atau pemasaran produk agroforestri sedapat mungkin diperbaiki. Sebagai contoh, perubahan kebijakan penanaman cendana di Nusa Tenggara Barat. Perubahan kebijakan pada tahun 1999 mendorong petani untuk menerapkan agroforestri dengan cendana sebagai salah satu komponennya. Sebelumnya, petani menganggap cendana sebagai ‘kayu pembawa bencana’.Kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input produksi tanaman pangan. Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi pupuk sampai ke tingkat harga yang tidak terjangkau petani. Di pihak lain, pada lahan-lahan yang kualitas kesuburannya rendah, kebutuhan pupuk semakin besar jika petani ingin mempertahankan tingkat produksi. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai pendorong bagi penerapan dan pengembangan agroforestri.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment