Fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek sosial-ekonomi
1) Aspek sosial-ekonomi agroforestri pada tingkat kawasan
Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan/atau ternak) membuat sistem ini memiliki karakteristik yang unik, dalam hal jenis produk, waktu untuk memperoleh produk dan orientasi penggunaan produk. Karakteristik agroforestri yang sedemikian ini sangat mempengaruhi fungsi sosial-ekonomi dari sistem agroforestri. Pembahasan dalam bab ini lebih ditekankan pada fungsi sosial ekonomi sistem agroforestri pada skala meso (kawasan atau bentang lahan) daripada skala mikro (plot atau rumah tangga).Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri sangat beragam, yang bisa dibagi menjadi dua kelompok (a) produk untuk komersial misalnya bahan pangan, buah-buahan, hijauan makanan ternak, kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, getah, dan lain-lain, dan (b) pelayanan jasa lingkungan, misalnya konservasi sumber daya alam (tanah, air, dan keanekaragaman hayati).
Pola tanam itu dapat dilakukan dalam suatu unit lahan pada waktu bersamaan (simultan) atau pada waktu yang berbeda/berurutan (sekuensial), melibatkan beraneka jenis tanaman tahunan maupun musiman. Pola tanam dalam sistem agroforestri memungkinkan terjadinya penyebaran kegiatan sepanjang tahun dan waktu panen yang berbeda-beda, mulai dari harian, mingguan, musiman, tahunan, atau sewaktu-waktu. Keragaman jenis produk dan waktu panen memungkinkan penggunaan produk yang sangat beragam pula. Tidak semua produk yang dihasilkan oleh sistem agroforestri digunakan untuk satu tujuan saja. Ada sebagian produk yang digunakan untuk kepentingan subsisten, sosial atau komunal dan komersial maupun untuk jasa lingkungan.
Dintinjau dari aspek sosial ekonomi, sistem agroforestri memiliki keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya. Dalam bab ini diperkenalkan beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengevaluasi performa sistem agroforestri ditinjau dari aspek sosial ekonomi.
2) Agroforestri dan Penyediaan Lapangan Kerja
Pola penyerapan tenaga kerja dan karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sistem agroforestri dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jenis dan komposisi tanaman (pepohonan dan tanaman semusim), tingkat perkembangan atau umur.Sistem agroforestri membutuhkan tenaga kerja yang tersebar merata sepanjang tahun selama bertahun-tahun. Hal ini mungkin terjadi karena kegiatan berkaitan dengan berbagai komponen dalam sistem agroforestri yang memerlukan tenaga kerja terjadi pada waktu yang berbeda-beda dalam satu tahun. Kebutuhan tenaga kerja dalam sistem pertanian monokultur bersifat musiman: ada periode di mana kebutuhan tenaga sangat besar (misalnya musim hujan) dan periode di mana tidak ada kegiatan (musim kemarau). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan kebutuhan tenaga kerja pada sistem agroforestri justru lebih rendah dibandingkan sistem pertanian monokultur, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan.
Dalam perkembangan praktek agroforestri terdapat dua periode yang perlu diperhatikan, yaitu (a) periode pengembangan, mulai saat persiapan sampai dengan mulai memberikan keuntungan, dan (b) periode operasi, mulai memberikan keuntungan (cash flow positif). Perkembangan praktek agroforestri tersebut juga berpengaruh terhadap alokasi dan penyerapan tenaga kerja. Macam kegiatan pengelolaan tanaman dan pepohonan sangat menentukan jenis pekerjaan dan ketrampilan yang dibutuhkan serta jumlah tenaga dan pembagian atas dasar jender.
3) Agroforestri dan Jasa Lingkungan
Dalam bab fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek biofisik dan lingkungan telah dikupas bagaimana sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan terhadap pemeliharaan lingkungan, misalnya memelihara kualitas dan kuantitas air bersih, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan menekan emisi karbon. Manfaat tersebut tidak dapat langsung dan segera dirasakan oleh petani agroforestri sendiri, tetapi justru dinikmati oleh anggota masyarakat di sekitar lokasi maupun di lokasi yang jauh (misalnya di bagian hilir) dan bahkan secara global. Dengan kata lain, tindakan konservasi lahan yang diterapkan oleh petani agroforestri tidak banyak mendatangkan keuntungan langsung bagi mereka, bahkan seringkali petani harus menanggung kerugian dalam jangka pendek.Oleh sebab itu ada upaya untuk mengusahakan imbalan atau kompensasi bagi petani di bagian hulu jika mereka menerapkan usaha tani konservasi. Namun itu masih tetap merupakan ide yang belum dapat diterapkan seadil-adilnya. Masih banyak persoalan dan hambatan yang harus dipecahkan sebelum ide itu dapat direalisasikan. Salah satu persoalan yang masih belum bisa dipecahkan adalah cara penentuan atau pemberian nilai terhadap lingkungan. Perlunya penentuan nilai terhadap lingkungan antara lain:
- Imbalan yang diterima para pemberi jasa lingkungan (petani yang menerapkan konservasi lahan) melalui penjualan hasil produknya terlalu rendah atau tidak sebanding dengan produk serupa yang yang dihasilkan tanpa penerapan konservasi lingkungan.
- Jasa lingkungan yang dihasilkan oleh para petani agroforestri yang menerapkan pengelolaan konservasi tidak bisa dijual dan tidak dihargai secara wajar oleh para penikmat jasa tersebut.
- Kepedulian terhadap konservasi lingkungan oleh berbagai tingkatan pengambil keputusan dari berbagai lapisan masyarakat sangat rendah.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment