Pelestarian dan pemanfaatan pengetahuan indigenous dan pengetahuan lokal
Untuk mencegah erosi pengetahuan lokal serta lebih mendayagunakannya,
pengetahuan tersebut seharusnya didokumentasikan dalam bentuk simpanan
yang dapat diakses dan dianalisis secara lebih mudah dan efektif. Salah
satu pendekatan yang banyak degunakan adalah yang dikenal dengan
pendekatan Sistem Berbasis Pengetahuan (SBP = Knowledge Based System -
KBS). Dalam aplikasi pendekatan KBS, pengetahuan ekologi lokal
diartikulasikan (articulated) dan direpresentasikan (represented)
sebagai 'satuan pernyataan' (unitary statements). Jika perlu kondisi
informasi juga dapat disertakan dalampernyataan tersebut. Istilah lokal
serta hubungan hierarkinya juga dapat ‘digali’ dan direpresentasikan.
Dengan bantuan teknologi komputer satuan-satuan pernyataan dasar
pengetahuan ekologi lokal yang tersimpan dalam KBS ini akan lebih mudah
diolah, dieksplorasi serta dipahami secara lebih baik.
Pengalaman dari sejumlah studi lintas agroekosistem menunjukkan bahwa sebagian besar pernyataan dan pengetahuan ekologi lokal dapat direpresentasikan dengan menggunakan sebuah ‘tata bahasa’ sederhana yang membatasi representasi ke dalam kalimat formal pernyataan tersebut. Kekuatan dari pendekatan ini adalah dengan menggunakan bantuan teknologi komputer memungkinkan untuk menyimpan, mengakses, memperbarui (up-date) dan menggunakannya di dalam bentuk basis pengetahuan (knowledge base).
Basis pengetahuan (knowledge base), adalah seperangkat simpanan dari satuan pernyataan pada topik atau 'domain' tertentu yang mencakup pula sumber, topik dan hierarkinya. Ini memungkinkan kita untuk mengumpulkan pengetahuan dari berbagai masyarakat dan sumber lainnya tentang topik-topik secara interdisiplin, untuk menciptakan simpanan semacam ensiklopedia yang tahan lama, dinamis dan selalu dapat diperbarui.
Dalam pendekatan KBS, artikulasi pengetahuan lokal mencakup pula dialog mendalam dengan informan akan pengertian (pemahaman) komponen dan fungsi ekosistem, termasuk pula interaksinya. Hasilnya adalah deskripsi dari pemahaman dan interpretasi individu-individu berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan tentang komponen dan proses yang berlangsung dalam suatu agroekosistem. Dengan demikian, artikulasi pengetahuan tidak hanya sekedar deskripsi sederhana akan suatu praktek ataupun tindakan bertani, akan tetapi lebih dari itu, untuk membentuk representasi formal satuan pernyataan, menyimpannya, mengaksesnya dan menganalisisnya, telah dikembangkan perangkat lunak oleh Universitas Wales, Bangor yang diberi nama AKT (Agroecological Knowledge Toolkit) (Dixon et al., 2001). Secara teoritis penciptaan (development) basis pengetahuan tentang suatu topik terdiri dari empat stadia yang berbeda dan saling bertautan: pembatasan topik (scoping), definisi, kompilasi dan generalisasi Tahap pertama: penajaman topik (scoping), tujuan utama adalah memperjelas dan mempertajam maksud dari penggalian pengetahuan tersebut.
Tahap kedua: Membatasi domain minat kita, pemahaman terhadap konsep dan proses ekologi serta interaksinya, definisi tentang istilah lokal, semuanya ini dilakukan pada stadia definisi.
Tahap ketiga: Kompilasi, elisitasi pengetahuan yang sebenarnya dilakukan dari sejumlah orang yang dipilih secara sengaja karena dianggap mempunyai pengetahuan yang memadai. Ini biasanya
dilakukan dengan menggunakan wawancara setengah terstruktur baik dengan individu petani atau sekelempok kecil petani. Prosesnya bersifat iteratif dan intensif, bahkan seringkali diperlukan beberapa kali kunjungan ke informan kunci untuk memperjelas pengetahuan tersebut. Dengan cara ini, secara progresif akan tercipta suatu basis pengetahuan yang semakin kohesif.
Langkah berikutnya adalah merepresentasikan pernyataanpernyataan pengetahuan yang diesktrak dari hasil diskusi tersebut dengan menggunakan AKT. Jika jumlah informasi dianggap mencukupi dan basis pengetahuan yang tercipta dianggap sudah memadai, maka sekelompok (subset) pernyataan pengetahuan kunci dapat dikompilasi dan diterjemahkan ke dalam bentuk kuesioner yang akan diuji pada beberapa petani contoh. Petani contoh tersebut dipilih secara random untuk menguji kemerataan sebaran dan keterwakilan pengetahuan tersebut di antara masyarakat sasaran. Tahapan generalisasi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi keterwakilan basis pengetahuan tersebut dan data dari uji generalisasi ini selanjutnya dapat diuji secara statistik.
Penciptaan basis pengetahuan dapat memperbaiki pemahaman kita tentang pengetahuan petani, persepsi dan hambatan dalam sistem pengetahuan mereka. Dengan demikian topik penelitian dan penyuluhan dapat diformulasikan berdasarkan tujuan analisis pada apa yang sudah ketahui petani dan apa yang belum, dengan maksud untuk memperkaya wawasan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan mempertimbangkan pengetahuan lokal dalam penyusunan program penelitian ilmiah akan diperoleh rekomendasi yang jauh lebih relevan dan lebih berorientasi pada kebutuhan petani daripada penelitian konvensional. Lebih lanjut, basis pengetahuan yang ‘comparable’ dapat diciptakan baik dari masyarakat lokal maupun ilmiah, yang kemudian dapat disintesis untuk menciptakan basis pengetahuan seperti layaknya sebuah ensiklopedia (encyclopepaedic knowledge base).
Pemahaman ilmiah tentang faktor ekologi sistem sisipan dan proses yang menyertainya dalam wanatani (agroforestri) berbasis karet masih sangat kurang. Di lain pihak, petani melakukan sisipan dapat diharapkan melakukan pengamatan yang berguna sehingga akan meningkatkan pengetahuan dasar dari sistem tersebut. Sebuah studi tentang pemahaman petani dan persepsinya terhadap berbagai faktor ekologi yang berpengaruh di dalam sistem kebun karet rakyat telah dilakukan di Jambi. Petani telah memahami peranan penting dari celah (gap) yang terbentuk di antara pepohonan, baik pada tingkat tajuk yang berpengaruh terhadap masuknya sinar matahari, maupun pada tingkat permukaan dan di dalam tanah yaitu yang berhubungan dengan kebutuhan hara dan kelembaban untuk pertumbuhan anakan pohon. Berdasarkan pemahaman petani, lebar celah minimal antara dua pohon adalah sekitar enam sampai delapan meter. Walaupun celah alami dapat dibentuk di dalam kebun karet, tetapi petani sering secara sengaja membuat celah dengan melakukan tebang pilih melalui pengulitan (penteresan) pohon yang tidak lagi diinginkà n. Pohon yang tidak diinginkan adalah yang sudah tua maupun yang tidak produktif. Pada lantai kebun dilakukan penyiangan ringan untuk mengurangi pertumbuhan gulma. Lebar celah perlu diatur sedemikian rupa untuk memastikan apakah anakan karet menerima asupan cahaya dan ruangan yang memadai, tetapi juga cukup mampu mengendalikan penyebaran gulma.
Kematian anakan pohon pada wanatani berbasis karet di Jambi ini terutama disebabkan oleh adanya serangan hama babi hutan. Menurut pengamatan petani, serangan babi hutan ini meningkat bila ada usaha penyiangan. Anakan pohon karet yang tumbuh pada lantai kebun yang disiangi akan mudah dirusak oleh hama babi hutan karena lebih mudah dilihat dan dijangkau. Di lain pihak, pada sistem tebas bakar, di mana petani selalu menjaga kebunnya agar tidak diserang hama binatang, justru gulma menjadi tempat persembunyian bagi hama binatang. Dalam sistem sisipan, petani menyiangi gulma di sekitar anakan pohon, tetapi membiarkan seresah gulma sehingga dapat melindungi anakan pohon. Petani juga menyadari bahwa seresah gulma di sekeliling pohon karet merupakan sumber hara dan pengatur kelembaban bagi tanaman. (Sumber: Joshi et al., 2001).
Berdasarkan pengalaman yang ada, menunjukkan bahwa selama proses penyusunan basis pengetahuan biasanya akan terungkap betapa banyak dan canggih (deep) pengetahuan ekologi lokal petani. Ini potensial untuk memperbaiki pemahaman ilmiah terhadap agroekosistem yang relevan.
Pengalaman dari sejumlah studi lintas agroekosistem menunjukkan bahwa sebagian besar pernyataan dan pengetahuan ekologi lokal dapat direpresentasikan dengan menggunakan sebuah ‘tata bahasa’ sederhana yang membatasi representasi ke dalam kalimat formal pernyataan tersebut. Kekuatan dari pendekatan ini adalah dengan menggunakan bantuan teknologi komputer memungkinkan untuk menyimpan, mengakses, memperbarui (up-date) dan menggunakannya di dalam bentuk basis pengetahuan (knowledge base).
Basis pengetahuan (knowledge base), adalah seperangkat simpanan dari satuan pernyataan pada topik atau 'domain' tertentu yang mencakup pula sumber, topik dan hierarkinya. Ini memungkinkan kita untuk mengumpulkan pengetahuan dari berbagai masyarakat dan sumber lainnya tentang topik-topik secara interdisiplin, untuk menciptakan simpanan semacam ensiklopedia yang tahan lama, dinamis dan selalu dapat diperbarui.
Dalam pendekatan KBS, artikulasi pengetahuan lokal mencakup pula dialog mendalam dengan informan akan pengertian (pemahaman) komponen dan fungsi ekosistem, termasuk pula interaksinya. Hasilnya adalah deskripsi dari pemahaman dan interpretasi individu-individu berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan tentang komponen dan proses yang berlangsung dalam suatu agroekosistem. Dengan demikian, artikulasi pengetahuan tidak hanya sekedar deskripsi sederhana akan suatu praktek ataupun tindakan bertani, akan tetapi lebih dari itu, untuk membentuk representasi formal satuan pernyataan, menyimpannya, mengaksesnya dan menganalisisnya, telah dikembangkan perangkat lunak oleh Universitas Wales, Bangor yang diberi nama AKT (Agroecological Knowledge Toolkit) (Dixon et al., 2001). Secara teoritis penciptaan (development) basis pengetahuan tentang suatu topik terdiri dari empat stadia yang berbeda dan saling bertautan: pembatasan topik (scoping), definisi, kompilasi dan generalisasi Tahap pertama: penajaman topik (scoping), tujuan utama adalah memperjelas dan mempertajam maksud dari penggalian pengetahuan tersebut.
Tahap kedua: Membatasi domain minat kita, pemahaman terhadap konsep dan proses ekologi serta interaksinya, definisi tentang istilah lokal, semuanya ini dilakukan pada stadia definisi.
Tahap ketiga: Kompilasi, elisitasi pengetahuan yang sebenarnya dilakukan dari sejumlah orang yang dipilih secara sengaja karena dianggap mempunyai pengetahuan yang memadai. Ini biasanya
dilakukan dengan menggunakan wawancara setengah terstruktur baik dengan individu petani atau sekelempok kecil petani. Prosesnya bersifat iteratif dan intensif, bahkan seringkali diperlukan beberapa kali kunjungan ke informan kunci untuk memperjelas pengetahuan tersebut. Dengan cara ini, secara progresif akan tercipta suatu basis pengetahuan yang semakin kohesif.
Langkah berikutnya adalah merepresentasikan pernyataanpernyataan pengetahuan yang diesktrak dari hasil diskusi tersebut dengan menggunakan AKT. Jika jumlah informasi dianggap mencukupi dan basis pengetahuan yang tercipta dianggap sudah memadai, maka sekelompok (subset) pernyataan pengetahuan kunci dapat dikompilasi dan diterjemahkan ke dalam bentuk kuesioner yang akan diuji pada beberapa petani contoh. Petani contoh tersebut dipilih secara random untuk menguji kemerataan sebaran dan keterwakilan pengetahuan tersebut di antara masyarakat sasaran. Tahapan generalisasi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi keterwakilan basis pengetahuan tersebut dan data dari uji generalisasi ini selanjutnya dapat diuji secara statistik.
Penciptaan basis pengetahuan dapat memperbaiki pemahaman kita tentang pengetahuan petani, persepsi dan hambatan dalam sistem pengetahuan mereka. Dengan demikian topik penelitian dan penyuluhan dapat diformulasikan berdasarkan tujuan analisis pada apa yang sudah ketahui petani dan apa yang belum, dengan maksud untuk memperkaya wawasan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan mempertimbangkan pengetahuan lokal dalam penyusunan program penelitian ilmiah akan diperoleh rekomendasi yang jauh lebih relevan dan lebih berorientasi pada kebutuhan petani daripada penelitian konvensional. Lebih lanjut, basis pengetahuan yang ‘comparable’ dapat diciptakan baik dari masyarakat lokal maupun ilmiah, yang kemudian dapat disintesis untuk menciptakan basis pengetahuan seperti layaknya sebuah ensiklopedia (encyclopepaedic knowledge base).
Pemahaman ilmiah tentang faktor ekologi sistem sisipan dan proses yang menyertainya dalam wanatani (agroforestri) berbasis karet masih sangat kurang. Di lain pihak, petani melakukan sisipan dapat diharapkan melakukan pengamatan yang berguna sehingga akan meningkatkan pengetahuan dasar dari sistem tersebut. Sebuah studi tentang pemahaman petani dan persepsinya terhadap berbagai faktor ekologi yang berpengaruh di dalam sistem kebun karet rakyat telah dilakukan di Jambi. Petani telah memahami peranan penting dari celah (gap) yang terbentuk di antara pepohonan, baik pada tingkat tajuk yang berpengaruh terhadap masuknya sinar matahari, maupun pada tingkat permukaan dan di dalam tanah yaitu yang berhubungan dengan kebutuhan hara dan kelembaban untuk pertumbuhan anakan pohon. Berdasarkan pemahaman petani, lebar celah minimal antara dua pohon adalah sekitar enam sampai delapan meter. Walaupun celah alami dapat dibentuk di dalam kebun karet, tetapi petani sering secara sengaja membuat celah dengan melakukan tebang pilih melalui pengulitan (penteresan) pohon yang tidak lagi diinginkà n. Pohon yang tidak diinginkan adalah yang sudah tua maupun yang tidak produktif. Pada lantai kebun dilakukan penyiangan ringan untuk mengurangi pertumbuhan gulma. Lebar celah perlu diatur sedemikian rupa untuk memastikan apakah anakan karet menerima asupan cahaya dan ruangan yang memadai, tetapi juga cukup mampu mengendalikan penyebaran gulma.
Kematian anakan pohon pada wanatani berbasis karet di Jambi ini terutama disebabkan oleh adanya serangan hama babi hutan. Menurut pengamatan petani, serangan babi hutan ini meningkat bila ada usaha penyiangan. Anakan pohon karet yang tumbuh pada lantai kebun yang disiangi akan mudah dirusak oleh hama babi hutan karena lebih mudah dilihat dan dijangkau. Di lain pihak, pada sistem tebas bakar, di mana petani selalu menjaga kebunnya agar tidak diserang hama binatang, justru gulma menjadi tempat persembunyian bagi hama binatang. Dalam sistem sisipan, petani menyiangi gulma di sekitar anakan pohon, tetapi membiarkan seresah gulma sehingga dapat melindungi anakan pohon. Petani juga menyadari bahwa seresah gulma di sekeliling pohon karet merupakan sumber hara dan pengatur kelembaban bagi tanaman. (Sumber: Joshi et al., 2001).
Berdasarkan pengalaman yang ada, menunjukkan bahwa selama proses penyusunan basis pengetahuan biasanya akan terungkap betapa banyak dan canggih (deep) pengetahuan ekologi lokal petani. Ini potensial untuk memperbaiki pemahaman ilmiah terhadap agroekosistem yang relevan.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment