-->

Susunan Masyarakat Buddhis

 Di dalam Anguttara Nikaya III: 178, menjelaskan masyarakat Buddhis berdasarkan sudut pandang kelembagaan, terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok masyarakat vihara; dan
2. Kelompok masyarakat berumah tangga.

Perbedaan ini hanyalah didasarkan pada kedudukan sosial mereka masing-masing dan bukan berarti semacam sistem kasta. Agama Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat. Mengenal hal ini, di dalam Sutta Nipata, Vasala Sutta, Sang Buddha mengatakan sebagai berikut:
“Bukan karena kelahiran seseorang disebut sampah masyarakat (Vassala). Bukan karena kelahiran, seseorang disebut Brahmana. Hanya karena perbuatan, seseorang disebut sampah masyarakat. Hanya karena perbuatan, seseorang disebut Brahmana”.

1. Kelompok Masyarakat Vihara

Kelompok masyarakat vihara terdiri atas para bhikkhu dan biksuni yang disebut sebagai ‘Sangha’. Selain itu, ada juga samanera dan samaneri. Mereka adalah calon bhikkhu dan calon bhiksuni. Sangha menjalani kehidupan tidak berumah tangga, membaktikan hidupnya untuk melaksanakan hidup suci. Tetapi, kehidupan mereka sehari-hari tidak dapat lepas dari segi sosial. Mereka masih tetap berhubungan dengan kelompok masyarakat awam.

Tugas utama para bhikkhu adalah sebagai teladan dalam melaksanakan moralitas (sila) di masyarakat. Dalam upacara keagamaan, para bhikkhu bukan penghubung antara umat dengan Tuhan. Para bhikkhu juga tidak ikut campur tangan untuk memintakan ampun atas kesalahan-kelasalahan umat. Berdasarkan hukum karma, setiap orang pasti akan memetik hasil perbuatannya sendiri, yang baik maupun yang buruk.

2. Kelompok Masyarakat Berumah Tangga

Kelompok masyarakat awam meliputi semua umat Sang Buddha yang tidak termasuk dalam kelompok keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga. Kelompok ini terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita). Para upasaka dan upasika telah menyatakan diri untuk berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha. Mereka melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sila) bagi umat awam.

Tugas yang dilaksanakan oleh upasaka-upasika adalah sebagai pelayan umat. Mereka mendapat sebutan kehormatan sebagai ‘Pandita’. Pandita bertugas untuk mengurusi upacara kematian, perkawinan, pengambilan sumpah, dan sejenisnya. Pada dasarnya seorang pandita adalah tetap seorang upasaka-upasika.

3. Peraturan Kebhikkhuan

Bhikkhu adalah umat Sang Buddha yang melepaskan diri dari hidup keduaniawian untuk berjuang sungguh-sungguh untuk melaksanakan kehidupan suci. Mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan peraturan kebhikkhuan (vinaya) yang berjumlah 227 peraturan. Perhimpunan para bhikkhu disebut Sangha.  Sangha dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a. Perhimpunan para bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian (Sammuti Sangha); dan
b. Perhimpunan para bhikkhu termasuk  upasaka/upasika yang telah mencapai kesucian (Ariya Sangha).

Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam Tiga Perlindungan (Tisarana) yaitu Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Sebelum menjadi bhikkhu, seorang umat Sang Buddha harus ditahbiskan terlebih dahulu menjadi calon bhikkhu (samanera). Samanera berarti calon bhikkhu.
Seorang samanera harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh guru pembimbing yang disebut upajjhaya. Ia bertanggung jawab untuk membimbing Dharma dan Vinaya sebagai persiapan untuk penahbisan (upasampada). Peraturan samanera adalah 10 sila dan 75 sila. Setelah samanera diberi upasampada, ia diterima ke dalam Sangha sebagai seorang bhikkhu yang belum berpengalaman. Vinaya (Patimokkhasila) sebanyak 227 peraturan yang merupakan hak dan kewajiban harus dilaksanakan oleh para bhikkhu.

4. Peraturan Upasaka-upasika

Proses mengamati dapat kalian lanjutkan dengan cara membaca teks berikut untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan.
Dalam hidup sehari-hari upasaka-upasika memiliki hak dan kewajiban untuk melatih diri tentang lima sila (Pancasila). Yaitu,
(1) pantang membunuh;
(2) pantang mencuri;
(3) pantang berbuat asusila;
Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
(4) pantang bicara tidak benar; dan
(4) pantang meminum minuman yang memabukkan.

Hak-hak yang terkandung dalam Pancasila Buddhis berusaha dilaksanakan untuk pengendalian diri. Dalam Dhammapada 246-247 terdapat penjelasan Sang Buddha tentang Pancasila sebagai berikut:
“Barang siapa membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang lain, suka berbicara tidak benar, atau meminum minuman yang memabukkan, maka di dunia ini, orang seperti itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.
Nilai seorang manusia sangat tergantung pada pelaksanaan Pancasila. Pancasila merupakan dasar perilaku moral yang minimal harus dilaksanakan oleh umat Sang Buddha. Pelaksanaan sila-sila ini akan menghindarkan seseorang dari perbuatan jahat melalui ucapan dan jasmani.


Pada hari-hari Uposatha, umat Sang Buddha dianjurkan untuk melaksanakan delapan  sila (Atthasila). Biasanya dengan berdiam di vihara selama hari tersebut. Uposatha berarti ‘masuk untuk berdiam’ di vihara. Hari Uposatha terjadi pada tanggal 1, 8, 15, dan 23 penanggalan bulan. Selama di vihara pada hari Uposatha umat Sang Buddha dapat mendengarkan Dharma, berdiskusi Dharma, dan bermeditasi.
Sebagai umat Sang Buddha yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, kita tidak terlepas dengan segala bentuk kehidupan sosial.


“Demi untuk kesejahteraan, kebahagiaan dan kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang bagi dunia, demi kebaikan dan kedamaian serta kebahagiaan para dewa dan manusia” (D. iii.127)
Dalam kehidupan masyarakat Buddhis, terjadi interaksi sosial yang saling mendukung antar sesama manusia. Gokhale menerangkan bahwa perkembangan masyarakat Buddhis berlangsung dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahap isolasi, yaitu seseorang mengasingkan diri untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan melatih diri dalam menuju pembebasan. Dalam Anguttara Nikaya II.208; M.I.344, Sang Buddha berujar: “Selagi kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan bertapa bagaikan menghirup udara yang segar dan bebas”
2. Tahap bergaul, yaitu interaksi dengan umat perumah tangga dan saling mendukung menuju cita-cita pembebasan ahkir. Dalam Itivuttaka II.112, Sang Buddha berkata; “Perumah-tangga maupun mereka tak perumah-tangga, pada dasarnya saling bergantung satu sama lain, bersama-sama mencapai pemahaman Dharma yang sejati, keadaan batin yang tenteram, damai, dan bahagia yang diharapkan”
3. Tahap transformasi, yaitu agama Buddha sebagai kekuatan spiritual dan sosial yang menggariskan pada etika, aturan dan hukum tingkah laku kehidupan sosial.
Agama Buddha tidak mengajarkan manusia untuk melarikan diri dari bentuk kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup dengan baik serta bijaksana. Komunitas masyarakat Buddhis selalu berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.
Sang Buddha menekankan etika sosial atas dasar persaudaraan dan kasih sayang sebagai dasar pembinaan kehidupan masyarakat Buddhis, baik perumah tangga maupun kehidupan tanpa perumah tangga. Dengan demikian berarti Sang Buddha sangat memperhatikan kesejahteraan perumah tangga.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment