-->

Makanan Terakhir Sang Buddha

 “Cunda, hidangkan Sukaramaddava hanya kepada Sang Bhagava, bukan untuk yang lain. Karena Sukaramaddava hanya dapat dicerna oleh perut Sang Bhagava”.

Setelah tiba di Pava, Sang Buddha dan para siswa-Nya berdiam di hutan mangga milik Cunda, putra si pandai besi. Mendengar berita kedatangan Sang Bhagava di hutan mangganya, Cunda segera menghadap Sang Bhagava dan memberi sembah hormat pada-Nya. Sang Bhagava memberinya dorongan dengan pembabaran Dharma serta membahagiakannya dalam latihan Dharma.
Keesokan harinya, Cunda mempersiapkan makanan yang mewah, termasuk masakan khusus yang disebut sukaramaddava. Sukaramaddava adalah daging lunak dicampur dengan jamur.  Sang Buddha menyarankan agar Cunda menghidangkan makanan Sukaramaddava hanya kepada-Nya, bukan untuk yang lain. Selain Sang Buddha, tidak diizinkan memakan makanan Sukaramaddava. Setelah menikmati makanan, selanjutnya Sang Buddha berkata:
“Cunda, jika masih ada Sukaramaddava yang tersisa, kubur dan timbunlah dalam tanah. Sang Buddha tidak melihat ada seorang  pun di dunia ini selain Tathagata yang mampu mencerna makanan Sukaramaddava ini”.
“Oh, demikiankah, Bhante”, jawab Cunda. Segera Cunda menguburkan sisa makanan tersebut di dalam tanah. Selanjutnya, Cunda mendatangi Sang Buddha dan memberi hormat, ia duduk di satu sisi lalu Sang Buddha mengajarkan Dharma kepadanya. Sang Buddha juga memuji Cunda atas hidangannya yang telah membuat Beliau segar dan kuat kembali setelah perjalanan jauh. Namun segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut luar biasa seperti yang sebelumnya pernah diderita.

Sakit yang luar biasa ini menyerang Sang Buddha saat berada di desa Beluva. Dengan kekuatan batin-Nya, Sang Buddha sangggup menahan rasa sakit tersebut. Meskipun amat lemah, Sang Buddha memutuskan untuk langsung meneruskan perjalanan ke Kusinara sejauh kurang lebih 6 (enam) mil lagi. Setelah perjuangan melawan sakit perut tersebut, Sang Buddha tiba di hutan pohon Sala di pinggiran kota. Di tempat inilah, di sungai Kuttha Sang Buddha mandi untuk terakhir kalinya. Setelah istirahat sejenak, lalu Beliau berkata:
“Sekarang mungkin akan terjadi bahwa sebagian orang akan membuat Cunda menjadi menyesal karena telah memberi Tathagata hidangan yang membuat-Nya sakit. Y.M. Ananda, bila ini terjadi, engkau harus mengatakan kepada Cunda bahwa engkau telah mendengar langsung dari Sang Buddha bahwa perbuatan itu keberuntungan bagi dia. Katakan padanya bahwa ada dua macam persembahan kepada Sang Buddha yang mempunyai pahala yang sama, yaitu persembahan makanan saat menjelang Penerangan Sempurna-Nya dan persembahan makanan pada saat menjelang Kemangkatan-Nya. Ini adalah kelahiran terakhir dari Sang Buddha”.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, tolong siapkan tempat pembaringan untuk Tathagata dengan kepala mengarah ke Utara, di antara dua pohon Sala besar. Tathagata lelah dan ingin berbaring”.
Pada saat itu juga, kedua pohon Sala tersebut tiba-tiba dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran karena pengaruh dari para Dewa, meskipun saat itu bukan musimnya. Para Dewa menaburkan bunga-bunga kepada Sang Buddha sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada Beliau. Selanjutnya, Sang Buddha berkata kepada Ananda:
“Ananda, kedua pohon Sala besar ini menaburi Tathagata dengan bungabunganya seolah-olah mereka memberi penghormatan kepada Tathagata. Tetapi ini bukanlah cara bagaimana Tathagata seharusnya dihormati dan dihargai. Melainkan, adalah bila para bhikkhu dan bhikkhuni, atau lakilaki dan perempuan umat awam, hidup sesuai dengan ajaran Tathagata. Itulah cara menghormati dan menghargai Tathagata”.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment