-->

Perdamaian dalam Kisah Jataka

 
Sering kali kita mendengar atau membaca kisah mengenai Devadatta yang membenci Sang Buddha Gotama, bahkan hendak membunuh-Nya. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi di dalam komunitas Buddhis awal dan terlebih di masa kehidupan Sang Buddha sendiri? Perihal apa yang menyebabkan Devadatta menaruh kebencian yang begitu mendalam pada Sang Buddha? Jawabannya terdapat dalam kisah Jataka ketiga, berjudul “Pedagang dari Seriva”. Kisah ini menitikberatkan pada bahaya kebencian (dosa) yang muncul dari keserakahan (lobha). Semoga bisa menjadi pelajaran sehingga menuntun hidup damai.

Proses mengamati dapat kalian lanjutkan melalui membaca kisah “Pedagang dari Seriva” berikut, lalu temukan pelaku dan tokoh cerita, pelajaran apa yang kalian dapatkan dari kisah tersebut dan rumuskanlah pertanyaan-pertanyaan untuk hal-hal yang belum jelas bagi kalian.

Pedagang dari Seriva (Serivanija Jataka)
Pada suatu ketika di Kerajaan Seri, Bodhisattva menjual gerabah dan peralatan dapur. Ia dipanggil dengan sebutan ‘pedagang dari Seriva’. Pedagang lain yang juga menjual barang-barang yang sama. Ia adalah seseorang yang serakah dan dipanggil pula dengan sebutan yang sama yakni ‘pedagang dari Seriva’. Mereka datang melintasi sungai Telavaha dan memasuki kota Andhapura. Dengan damai, mereka berdua membagi secara adil jalan-jalan yang mereka lalui masing-masing.
Di kota itu terdapat gadis dan nenek miskin. Sebelumnya mereka adalah keluarga pedagang yang kaya raya. Mereka telah kehilangan semua anak dan saudara laki-laki dan demikian pula dengan semua kekayaan mereka. Satu-satunya yang bertahan hidup adalah seorang gadis dan neneknya. Walaupun miskin, mereka memiliki sebuah mangkuk emas yang digunakan untuk makan. Mangkuk tersebut telah ditempatkan di antara panci dan wajan. Karena telah lama tidak digunakan, mangkuk itu pun tertutup oleh tanah dan kotoran sehingga kedua wanita itu tidak mengetahui bahwa mangkuk tersebut terbuat dari emas.

Suatu ketika di depan pintu rumah mereka mendengar teriakan si pedagang serakah, “Jual gerabah! Jual gerabah!” Gadis itu berkata kepada neneknya, “Oh nenek, belikanlah aku sebuah gerabah.”
“Kita sangat miskin sayangku, apa yang dapat kita tawarkan sebagai penggantinya?”
“Mengapa tidak menggunakan mangkuk yang tidak berguna bagi kita ini saja. Ayo kita tukarkan dengan mangkuk ini.”
Nenek itu menyuruh pedagang masuk ke rumah lalu memberikan mangkuk tersebut sambil berkata, “Ambillah ini tuan, sebagai gantinya berikanlah sesuatu yang pantas kepada saudara perempuanmu ini.”
Pedagang serakah mengambil mangkuk tersebut lalu membalikkan dan mengetahui bahwa mangkuk itu sebenarnya adalah emas. Dia menggoreskan sebuah garis di bagian belakang mangkuk itu dengan sebuah jarum dan dia pun yakin bahwa mangkuk itu benar-benar terbuat dari emas. Kemudian berpikir bahwa dia dapat memiliki mangkuk itu tanpa harus memberikan imbalan apa pun kepada nenek. Pedagang serakah berteriak, “Berapa nilai mangkuk ini? Mangkuk ini bahkan tidak seharga setengah koin!” Dan seketika itu juga dia melemparkan mangkuk itu ke tanah. Pedagang serakah itu segera meninggalkannya.
Seperti yang telah disepakati sebelumnya, kedua pedagang itu boleh berdagang di jalan yang sama. Oleh karena itu, Bodhisattva pun melalui jalan yang sama yang akhirnya tiba di depan rumah keluarga miskin tersebut. Dia berteriak, “Jual gerabah!” lagi-lagi, gadis itu meminta kepada neneknya agar diberikan gerabah. Nenek pun menjawab, “Sayangku, pedagang pertama tadi melemparkan mangkuk kita ke tanah dan pergi meninggalkan rumah. Apa lagi yang bisa kita tawarkan sekarang?” Gadis menjawab lagi, “Oh, tetapi pedagang tadi adalah orang yang bermulut kasar, nenekku sayang; sebaliknya pedagang ini kelihatannya orang yang baik hati dan bertutur kata halus. Sangat besar kemungkinan dia bersedia mengambil mangkuk ini.” Spontan nenek berkata, “Kalau begitu panggillah dia masuk.”
Pedagang itu pun masuk ke dalam rumah dan mereka memberikan mangkuk kepada pedagang. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, pedagang berkata, “Ibu, mangkuk ini senilai dengan seratus ribu keping; saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.”
“Tuan, pedagang pertama yang datang kemari berkata bahwa mangkuk ini tidak senilai dengan setengah koin, jadi dia pun melemparnya ke tanah dan pergi. Ini pastilah berkah dari kebaikanmu yang mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah dan berikanlah kami sesuatu sebagai gantinya dan pergilah.”
Bodhisattva hanya memiliki 500 keping uang sedangkan barang itu jauh lebih besar harganya. Uang itu semuanya diberikan kepada keluarga miskin dan berkata; “Kalau begitu sisakan saja tas dan timbanganku, serta delapan keping uang untukku. ”Selanjutnya, ia pergi menyeberang sungai.
Beberapa saat kemudian, pedagang serakah kembali lagi dan bertanya apakah mereka akan memberikan mangkuk, dan ia akan memberikan mereka sesuatu sebagai gantinya. Spontan nenek mengusirnya dengan kata-kata berikut ini;
“Kamu yang berkata bahwa mangkuk emas kami yang berharga seratus ribu keping bahkan tidak senilai dengan setengah koin. Tetapi tadi telah datang seorang pedagang jujur yang memberikan kami seribu keping sebagai gantinya dan dia telah mengambil mangkuk itu dan membawanya pergi.”
Pedagang serakah itu berseru, “Dia telah merampok mangkuk emas seharga seratus ribu keping yang seharusnya milikku; dia telah membuatku rugi banyak.” Pedagang serakah itu sangat sedih sehingga dia kehilangan kendali dan menjadi seperti orang gila. Semua uang dan barang dagangannya dilemparkan di depan pintu rumah. Dia melepas pakaian atas dan bawahnya. Dia bersenjatakan tongkat timbangannya sebagai alat pemukul. Dia berlari mengejar Bodhisattva hingga ke tepi sungai.

Mengetahui bahwa Bodhisattva telah menyeberang sungai, dia berteriak kepada tukang perahu untuk kembali tetapi Bodhisattva memerintahkannya untuk meneruskan perjalanan. Pedagang serakah itu pun hanya bisa berdiri menatap dan memandangi Bodhisattva dari jauh. Kepedihan mendalam datang menghantuinya. Hatinya semakin panas dan darah mengucur dari mulutnya. Hatinya pecah seperti lumpur di dasar kolam yang mengering. Kebencian telah ditanamkan kepada Bodhisattva. Pedagang serakah itu tewas seketika.

Tahukah Kalian? Pedagang serakah adalah kehidupan lampau Devadatta dan pedagang jujur adalah kehidupan lampau Buddha. Kejadian ini adalah pertama kalinya Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisattva.

Sedangkan Bodhisattva, setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lainnya, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya. Seandainya Bodhisattva melayani pedagang serakah itu, maka akan terjadi pertikaian dan pertumpahan darah. Bodhisattva memilih jalan damai daripada pertikaian. Demikianlah kisah perdamaian yang dibangun oleh Bodhisattva. (Sumber: www.jathakakatha.org, diakses: 30 Juni 2014, pukul 21.00)



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment