Keterbatasan pengetahuan indigenous dan lokal
Perlu disadari bahwa seperti halnya pengetahuan ilmiah, pengetahuan indigenous-pun mempunyai beberapa keterbatasan. Terlalu naif jika menganggap bahwa apapun yang dilakukan oleh penduduk indigenous secara alami sudah selaras dengan lingkungannya. Ada cukup bukti historis maupun baru yang menunjukkan bahwa penduduk indigenous kadang-kadang juga melakukan ‘dosa’ lingkungan seperti halnya penggembalaan yang berlebihan, perburuan yang kebablasan atau pengurasan tanah melebihi daya dukungnya.
Sangatlah salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan dan praktek indigenous selalu bagus, benar ataupun akan menciptakan kelestarian. Sebagai misal, salah satu asumsi kritis pendekatan pengetahuan indigenous adalah bahwa masyarakat lokal mempunyai pemahaman yang bagus tentang basis sumber daya alam dikarenakan mereka telah hidup lingkungan yang sama atau serupa untuk beberapa generasi, dan telah mengakumulasi dan mewarisi pengetahuan yang relevan dengan kondisi alam setempat. Pada kasus di mana masyarakat lokal merupakan pendatang baru yang berasal dari zona ekologi yang berbeda, mereka mungkin belum mempunyai banyak pengetahuan yang relevan dengan lingkungan yang baru tersebut. Pada lingkungan seperti ini beberapa pengetahuan indigenous bawaan masyarakat tersebut mungkin akan menolong, atau bahkan justru akan menimbulkan masalah. Karenanya sangatlah penting, terutama jika berhadapan dengan masyarakat pendatang, untuk mengevaluasi relevansi berbagai jenis pengetahuan indigenous terhadap kondisi lokal.
Kadang-kadang pengetahuan indigenous yang sudah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mengamankan kehidupan mereka dalam lingkungan tertentu menjadi tidak sesuai lagi dibawah kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi (Thrupp, 1989). Walaupun sistem pengetahuan indigenous mempunyai kelenturan yang cukup baik dalam mengadaptasi perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak tepat mungkin justru akan memperparah kerusakan tersebut (Grenier, 1998). Karenanya mendewakan pengetahuan indigenous secara membabi-buta sungguh tidak tepat. Perlu diperhatikan bahwa seperti halnya pengetahuan ilmiah, kadangkadang pengetahuan yang diandalkan oleh masyarakat lokal tersebut juga bisa salah, atau bahkan kadang- kadang membahayakan (Thrupp, 1989). Praktek berdasarkan kepercayaan yang salah, percobaan yang cacat, atau informasi yang tidak akurat dapat menjadi berbahaya dan bahkan justru menghambat bagi perbaikan tingkat hidup masyarakat indigenous. Karenanya para peneliti perlu hati-hati sebelum mengemukakan suatu pendapat tentang pengetahuan indigenous.
Penyebaran pengetahuan tidak merata dan tidak ada dokumentasi sistematis.
Pengetahuan lokal tidak tersebar secara merata dalam masyarakat. Sikap setiap individu dalam menyimpan pengetahuan tradisional dan kemampuan dalam menghasilkan pengetahuan baru juga berbeda. Masing-masing individu menguasai hanya sebagian dari pengetahuan lokal masyarakat. Pengetahuan- pengetahuan yang bersifat khusus seringkali dirahasiakan dan hanya dikuasai oleh kalangan terbatas seperti tokoh masyarakat sudah tua, dukun, dan tetua lainnya. Pada banyak kasus petani tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga tidak mudah untuk diakses oleh orang di luar lingkungan masyarakat tersebut. Tambahan pula pengetahuan lokal ini seringkali sulit terdeteksi karena sudah demikian menyatu dalam praktek bertani mereka.Seringkali pengetahuan tertentu yang sangat spesifik menyatu demikian erat dengan peran ekonomi dan budaya seseorang di dalam masyarakat dan mungkin tidak diketahui oleh anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian setiap indidividu atau kelompok yang berbeda mempunyai jenis pengetahuan yang berbeda tergantung peran sosio-ekonomi mereka di dalam masyarakat, sehingga semakin beragam masyarakat tersebut semakin beragam pula pengetahun di antara anggotanya.
Pengetahuan petani umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka. Konsep-konsep ini berkembang dari pengalaman mereka di masa lalu, oleh karena itu sulit bagi mereka untuk mengaitkan pengetahuan lokal ini dengan proses yang baru ataupun dengan faktor luar yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh secara tidak langsung atau berlangsung secara bertahap, seperti halnya pertambahan penduduk, kemunduran kualitas sumber daya alam, perkembangan pasar. Pada umumnya budaya agraris di dunia ketiga tidak secara sistematis mendokumentasi pengetahuan teknis tradisionalnya. Ada kemungkinan bahwa pengetahuan yang sekarang tidak relevan akan menjadi relevan lagi di masa yang akan datang dengan adanya perubahan kondisi pertanian.
Akibat dari lemahnya pendokumentasian, banyak tradisi dan pengetahuan lokal bertani masa lalu yang telah mereka ‘simpan’ hilang begitu saja. Adanya intrusi teknologi, pendidikan, kepercayaan dan nilai dari luar, seringkali menyebabkan terjadinya marginalisasi baik pengetahuan petani maupun cara penyebarannya. Dengan hilangnya pengetahuan indigenous maka hilang pula praktek indigenous, spesies tanaman indigenous, maupun alat-alat yang mereka ciptakan secara indigenous.
Contoh kasus pengetahuan lokal
Dalam sistem kopi naungan di Sumberjaya Lampung Barat, petani memiliki sekitar dua puluh tujuh jenis pohon penghasil buah, rempah, kayu bangunan, kayu bakar dan penaung di lahannya. Pengaruh masing-masing pohon tersebut terhadap kopi berbedabeda terkait dari sifat masing-masing pohon. Berdasarkan pengaruhnya terhadap produksi kopi, maka pohon tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:a) Pohon yang bermanfaat untuk kopi
Beberapa karakteristik yang dipertimbangkan oleh petani dalam menilai manfaat jenis pohon lain untuk kopi meliputi sistem perakaran, naungan, dan 'kualitas' seresah daun yang dihasilkan. Tiga jenis pohon yang dianggap paling bagus untuk produksi kopi adalah pohon gamal atau lebih dikenal dengan pohon kayu hujan (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan dadap (Erythrina spp), karena mempersubur tanah dan memberikan naungan yang sesuai bagi kopi. Akar pohon tersebut mampu menambah nitrogen, tidak kompetitif dalam menyerap hara, menyebar dalam dan mampu menahan air dianggap bermanfaat bagi kopi. Sifat akar yang demikian digambarkan sebagai sistem perakaran yang 'dingin'. Bila ditinjau dari bentuk kanopi lamtoro yang tidak terlalu rapat dan ukuran daunnya yang kecil dan agak jarang, memungkinkan sinar matahari masih bisa lolos masuk.
Selain itu, kayu hujan dan lamtoro dianggap penting sebagai pembentuk tanah karena menggugurkan daun secara teratur, daun yang gugur mudah terlapuk (terdekomposisi) dan
melepaskan hara (mineralisasi) yang bermanfaat bagi kopi. Pada musim kemarau adanya naungan bagi kopi sangat diperlukan, oleh karena itu jenis pohon yang dapat bertahan tetap hijau (sedikit merontokkan daunnya) merupakan karakeristik yang penting. Kegunaan lain dari ketiga pohon tersebut juga digunakan sebagai ajir hidup untuk tanaman lada, dan seringkali cabang-cabangnya dipangkas untuk merangsang pertumbuhan lada.
b) Pohon yang produktif, tidak berpengaruh terhadap kopi
Sejumlah pohon penghasil buah dan rempah sengaja ditanam untuk tujuan ekonomi dan mempunyai pengaruh terbatas pada tanaman kopi. Pohon-pohon seperti ini dianggap tidak berpengaruh negatif ataupun positif. Lebih dari dua puluh jenis pohon diidentifikasi sebagai penghasil buah baik untuk kebutuhan sendiri ataupun dijual. Fungsi sebagai penaung dan konservasi air dan tanah pohon-pohon ini dirasakan tetapi tidak diprioritaskan. Umumnya pohon-pohon kategori ini ditanam berdekatan dengan rumah tinggal dalam jumlah sedikit.
c) Pohon berdampak negatif pada kopi
Pohon-pohon kelompok ini diusahakan untuk diambil kayunya, buahnya atau sebagai penghasil rempah. Keuntungan yang didapat dari pohon ini lebih besar daripada kerugian akibat pengaruh negatif terhadap hasil kopi. Contoh utamanya adalah tanaman komersial seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan cengkeh (Eugenia aromatica). Pohon cengkeh menjadi populer dan menyebar di daerah ini tapi akhirnya banyak berkurang pada dekade 1980-an karena hama yang menyerang daun. Lebih tingginya harga kopi pada dekade tersebut menyebabkan tanaman cengkeh tersebut tidak menarik lagi sampai sekarang.
Tajuk pohon komersial ini cukup rapat dengan tingkat penaungan yang tinggi dianggap kurang menguntungkan bagi kopi di sekitarnya. Juga akar tanaman ini diklasifikasi 'panas'. Sistem perakaran jenis pohon ini dianggap kuat dan ekspansif yang memerlukan banyak air dan hara sehingga dapat menurunkan produktivitas kopi. Daunnya sering digambarkan 'keras' dan lama dilapuk. Pengaruh negatif terhadap produktivitas kopi ini disadari penuh oleh petani, akan tetapi dengan pengaturan pola tanam dan jarak tanam yang lebih baik akan mengurangi pengaruh yang merugikan ini. Contoh lain jenis tanaman dari kelompok ini adalah kemiri (Aleurites moluccana), jati (Tectona grandis), dan mahoni (Swietenia mahogani). Contoh ini menunjukkan bahwa petani cukup memahami hubungan antara tanaman yang ditanam dengan lingkungannya dan strategi pengelolaannya. (Sumber: Chapman, 2002)
1 komentar:
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
mampir di website ternama I O N Q Q.ME
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217