-->

Kelemahan dan Tantangan Agroforest

a) Kelemahan 

Kesulitan visual 

Keberagaman  bentuk,  kemiripan  dengan  vegetasi  hutan  alam,  dan  kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.

Kesulitan mengukur produktivitas 

Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi.  Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan  dan  tanaman  non-komersial.    Mereka  juga  biasanya  tidak  memiliki  latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.

Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian. 

Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman. 

b) Ancaman

Keberlanjutan 

De  Foresta  et  al.  (2000)  mengemukakan  bahwa  keberlanjutan  dari  agroforest  ini menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut : Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.

Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern) 

Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.

Kepadatan penduduk 

Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.   Penguasaan lahan Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam  salah  satu  kategori  penggunaan  lahan.  Hampir  semua  petani  agroforest  tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.

Ketiadaan data akurat 

Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment