-->

Sejarah Pengelolaan Hutan Negara, Penguasaan Tenaga Kerja dan Kerusakan Lahan di Jawa

Lebih dari 400 tahun yang lalu, ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie—Kongsi  Dagang Hindia Timur) berlabuh di Indonesia, hutan di Jawa mulai dimanfaatkan besar-besaran  untuk  tujuan perdagangan. Pohon jati (Tectona  grandis) pada abad ke 15 sangat melimpah dan, di beberapa tempat di Jawa, jumlahnya melebihi banyaknya penduduk. Kayu jati yang terkenal kuat dan awet adalah salah satu bahan baku kapal terbaik di dunia. Pohonnya yang tinggi serta lurus adalah bahan baku mewah bagi tiang-tiang kapal perang yang perkasa. Dengan bujukan gelimang hadiah, VOC membujuk penguasa Jawa dan para pangreh agar dibolehkan untuk mendirikan kantor, merekrut tenaga kerja, mendapatkan hak atas hutan jati, dan mendirikan pusat galangan kapal. Kawasan yang pertama kali diperoleh adalah hutan jati di sekitar Jepara, Rembang, Pekalongan, Weleri, dan Brebes. Tenaga kerja di tempat-tempat tersebut berada di bawah pengawasan langsung VOC.  Pesanggem diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan perhutanan dan sebagai ‘upah’nya mereka dibebaskan dari keharusan membayar pajak kepala, sementara kebutuhan buruh lainnya dipenuhi oleh penguasa setempat dan sultan. Pengangkutan balok-balok jati ke pelabuhan memerlukan waktu 3—5 hari dari hutan terdekat. Ketika petak tebangan semakin masuk ke pedalaman, pengangkutan kayu jati makan waktu 12—15 hari pergi dan 5 hari pulang.10  Ketika VOC mencium keuntungan dari pengusahaan kopi pada tahun 1700-an, VOC  memerintahkan petani di dataran tinggi untuk menanami lahan bekas tebangan dengan kopi dan pada saat yang sama membuka hutan di tempat lain untuk pengusahaan sawah tadah hujan. Kekuasaan VOC yang feodal dan represif menyebabkan para petani meninggalkan lahan pertaniannya untuk membuka hutan di dataran tinggi, menjauh dari pengawasan VOC.



Pada saat pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Indonesia pada akhir abad ke 18, Dienst van het Boschwezen (Dinas Perhutanan Hindia-Belanda) yang didirikan pada 1808 mengambil alih kekuasaan atas lahan, pepohonan di atasnya, dan buruh di daerah yang kaya akan jati. Di bawah kekuasaan Boschwezen, warga desa tidak lagi leluasa memanen kayu jati untuk pertukangan serta hanya diizinkan memungut rencek  dan hasil hutan nonkayu. Peraturan yang kemudian diberlakukan penuh dengan ancaman hukuman bagi segala jenis pemanfaatan hutan tanpa izin negara, dan sebagai akibatnya,  banyak  pemanfaatan  oleh masyarakat sehari-hari yang dicap sebagai perbuatan kriminal. Hukuman maksimal untuk para ‘penjahat’ hutan adalah 10 tahun penjara atau denda 200 rijks-daalder. Duapertiga denda tersebut masuk kas negara dan sepertiganya  dihadiahkan pada orang yang melaporkan kejahatan tersebut. Untungnya, peraturan yang kejam ini tidak dapat ditegakkan karena satuan polisi hutan belum dibentuk. Di lain pihak, Boschwezen  memiliki sejumlah opziener   yang mengawasi  100.000 orang buruh dengan sistem blandongdiensten  (dinas blandong). Setiap blandong (pekerja eskploitasi hutan) menerima upah tahunan sangat sedikit berupa besi, garam, dan bubuk mesiu, serta jatah 1,5 kilogram beras sosoh setiap  hari.  Sebagai insentif,  para  blandong mendapatkan uang muka upah ketika ketika balok-balok dibuat, dan sisa pembayaran  upah dilunasi pada saat balok tersebut tiba di tempat penimbunan kayu di pelabuhan. Pembayaran diatur melalui mandor dan sering upah tersebut tidak sampai ke tangan para blandong.

Sistem blandongdiensten  diperbaiki oleh Inggris yang sempat menguasai Jawa. Pada masa pendudukan Inggris yang singkat itu, para blandong sebetulnya diwajibkan membayar pajak tanah seperti pesanggem atau petani lainnya, tetapi para blandong dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Pembebasan pajak ini dihitung sebagai ganti upah kerja di hutan. Separo laki-laki usia kerja dari suatu desa diwajibkan bekerja sebagai buruh   tebangan;  dan  separonya  lagi dibebaskan untuk bekerja di sawah. Para penebang dan buruh angkut kayu bekerja delapan bulan setahun, dan selama empat bulan sisanya, mereka bekerja menjaga hutan. Dengan mengirimkan separo warganya bekerja di hutan tanpa bayaran ini, sebuah desa dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah. Desa-desa blandong ini mendapatkan uang jasa melalui kepala desa atau bupati yang ditunjuk.

Belanda kembali menguasai Jawa pada 1816, tetapi sistem blandongdiensten yang diterapkan Inggris tetap dipakai dan desa-desa sekitar hutan tetap wajib membayar pajak tanah dan harus terus membayar pajak itu  dengan bekerja di  hutan,  membantu membangun jalan sarad, dan menyediakan sapi atau kerbau untuk menghela kayu. Agar dapat melunasi pajak tanahnya, seorang pemilik kerbau harus mengangkut  pohon jati ukuran besar atau  pohon jati ukuran sedang dari hutan ke tempat penimbunan kayu. Selama bekerja di hutan yang jauh dari desa, mereka hanya diberi jatah beras harian.

Pada  tahun  1865,  sistem blandongdiensten dihapuskan dan diganti dengan apa yang disebut sebagai sistem buruh bebas (yang bekerja untuk mendapatkan upah dalam bentuk uang tunai, bukan untuk mendapatkan pembebasan pajak). Walaupun demikian, karena para buruh tetap membutuhkan uang tunai untuk membayar pajak tanah, pajak ternak, pajak pernikahan atau perceraian, serta membayar pajak irigasi, sistem yang baru ini tetap mengontrol buruh secara tak langsung. Pada periode ini pula, Belanda memberlakukan hukum-hukum yang memperkuat kekuasaan negara atas kawasan hutan. Pemerintah kolonial Belanda menyatakan bahwa hutan di negeri ini sebagai “milik negara” melalui Undang- Undang Pokok Agraria tahun 1870 yang dikenal sebagai aturan  domeinverklaaring.   Aturan  ini menyatakan bahwa pemerintah Belanda menguasai seluruh lahan yang secara hukum  tidak  dapat dibuktikan telah dimiliki oleh seseorang.  Negara membuat klasifikasi,  memetakan, dan melakukan penataan batas hutan berdasarkan ilmu perhutanan Jerman. Penarikan garis batas antara hutan dan desa praktis mengusir masyarakat dari sumber pemenuhan kebutuhannya sehari-hari. Batas ini juga menjadi dasar hukum yang melarang masyarakat membuka hutan menjadi lahan pertanian dan mencegah masyarakat melakukan pemungutan hasil hutan. Polisi hutan dibentuk pada 1880  bernaung di  bawah Dinas Kepolisian Departemen Dalam Negeri.

Sementara itu,  pertambahan penduduk dan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan teh, karet, dan coklat menyebabkan hutan dataran tinggi di Jawa Barat dibuka secara besar-besaran.  Pada saat yang sama, hutan  lembah dan  dataran rendah ditebang habis untuk pengusahaan sawah irigasi yang teknologinya dibawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 
Ketika jati mulai langka, rimbawan Belanda yang dididik di Jerman kemudian menetapkan sistem daur untuk pemanenan jati dalam petak-petak dan memulai upaya-upaya reboisasi. Persoalannya, mengontrol tenaga kerja penanaman lebih sulit daripada mengontrol buruh tebang. Keuntungan, gaji,
uang komisi, dan sogokan selama ini diambil dari hasil tebangan pohon-pohon besar yang tidak diikuti dengan penanaman kembali. Pada 1873, sistem reboisasi taungya diujicobakan di distrik hutan Tegal- Pekalongan untuk  menarik minat  tenaga kerja penanaman jati. Taung ya, yang kemudian dikenal sebagai tumpang sari, adalah sistem yang membolehkan pesanggem menanam padi, jagung, tembakau, dan tanaman lahan kering lain selama satu sampai dua tahun di antara lajur-lajur bibit jati. Tanaman pokok jati menjadi milik negara dan tanaman pertanian dimiliki oleh pesanggem. Sebagai tambahan, pesanggem juga mendapatkan upah uang tunai. Sepuluh tahun  kemudian, penjelasan mengenai metode dan laporan hasil kegiatan percontohan taung ya ditulis dalam sebuah selebaran. Peredaran selebaran ini di antara para rimbawan memungkinkan persebaran tumpang sari ke seluruh penjuru Jawa. Para rimbawan saat itu menyanjung tumpang sari sebagai sebuah metode reboisasi yang ekonomis dan efisien. Sekalipun demikian, ketersediaan lahan pertanian yang sangat sementara itu menimbulkan sebuah ketergantungan baru pada hutan. Keluarga petani tanpa lahan yang miskin dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya dari pertanian terpaksa ikut berpindah ke petak tebangan hutan untuk mendapatkan lahan tumpang sari baru. Mereka kemudian membangun rumah tak jauh dari sana dengan memanfaatkan kayu sisa tebangan dan kulit kayu. Sistem penanaman ini tidak berhasil diterapkan di kawasan hutan yang tanahnya tidak subur sekalipun para pesanggem diiming-imingi upah yang lebih tinggi. Sejak 1930-an sampai berakhirnya masa kekuasaannya, Belanda melaksanakan program terasering dan redistribusi lahan dengan sasaran petani berlahan sempit sebagai bagian pembaruan tanggung jawab pada masyarakat.

Para rimbawan Belanda menghancurkan seluruh peta hutan, kilang-kilang penggergajian, dan prasarana lain yang dibangun Belanda pada saat Jepang masuk ke Indonesia ketika Perang Dunia II berkecamuk. Penghancuran ini dimaksudkan untuk  mencegah Jepang menggunakan fasilitas tersebut.

Dengan terusirnya Belanda dari Jawa, masyarakat sekitar hutan merasakan kebebasan untuk pertama kalinya. Bebas dari kekuasaan yang mengawasi kehidupan mereka dengan ketat. Mereka melihat kesempatan untuk kembali ke sistem lama yang berlaku ratusan tahun sebelumnya. Masyarakat juga merampok balok-balok yang tersisa di tempat penimbunan kayu, perumahan administratur hutan, dan menjarah hutan. Hal seperti ini berlangsung terus sampai didirikannya Ring yoo Tyuoo Zimusyoo (RTZ), Dinas Perhutanan Jepang di Jawa. RTZ mengambil alih buruh- buruh perhutanan dan mewajibkan mereka menebang dan mengangkut kayu untuk  memasok kayu bulat, kayu bakar, dan arang untuk kereta api, pabrik-pabrik, dan industri alat perang. Ransum yang diberikan untuk para pekerja sangat kurang, tetapi mereka tidak berani melarikan diri karena takut akan hukuman berat yang bisa menyebabkan kematian, tak pelak, banyak di antara mereka yang akhirnya mati kelaparan. Jepang membuat desa- desa baru di sekitar hutan dengan memukimkan sekelompok penebang untuk  mengubah hutan  menjadi lahan pertanian. Warga desa baru ini juga dipaksa menyerahkan beras yang diperlukan balatentara Jepang dan birokrat    sipil.    Produksi    kayu pertukangan dan kayu bakar pada 1943 dan 1944 diperkirakan hampir dua kali lipat produksi di zaman Belanda sebelum kedatangan Jepang. Kerusakan hutan di  Indonesia sangat parah karena selama masa pendudukan Jepang praktis tidak ada reboisasi.

Perkebunan tanaman ekspor diganti dengan jarak dan kapas, tapi kebanyakan  gagal panen. Kerusakan tanah sangat parah selama masa pendudukan Jepang. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945 di tengah revolusi yang berakhir pada tahun  1949, tetapi pemerintah pada masa-masa revolusi ini masih mempertahankan sistem pengelolaan hutan yang sentralistik seperti negara kolonial. Kesan umum masyarakat tentang perhutanan dan rimbawan masih buruk karena ide-ide baru yang lebih membebaskan tidak tercermin dalam perbaikan akses masyarakat atas lahan hutan dan sumber daya di sekitarnya.

Sekalipun salah satu slogan revolusi adalah kemerdekaan dan keadilan untuk  rakyat, banyak rimbawan didorong untuk kembali menggunakan prinsip tertutup  seperti di zaman Belanda yang memperlakukan masyarakat desa sebagai penyerobot lahan dan maling kayu. Hutan  terus mengalami kerusakan secara luas dan pemerintah Indonesia juga membutuhkan kayu untuk bahan bakar kereta api dan menebang habis hutan untuk menyediakan lahan pertanian. Rasa permusuhan kepada Jawatan Kehutanan yang terpendam dan pembatasan akses ke hutan yang tak berkesudahan semenjak era penjajahan memperbanyak peristiwa kekerasan politik di lahan hutan.

Meningkatnya kekerasan dan  menurunnya kemampuan Jawatan Kehutanan dalam menangani masalah-masalah di  hutan  menciptakan suatu perubahan. Pada 1951, Panitia Pembangunan Wilayah Hutan  dan Pertanian dibentuk untuk  menangani masalah penyerobotan lahan. Panitia yang terdiri atas banyak unsur ini menyediakan ruang bagi pengambilan keputusan yang berimbang mengingat anggotanya yang  berasal dari  berbagai  dinas pemerintahan, tentara, dan dinas pertanian. Sebagian dari dinas-dinas tersebut kemudian mendapat peran lebih banyak dalam ikut mengatasi masalah runtuhnya kekuasaan dan berkurangnya lahan Jawatan Kehutanan. Para rimbawan kemudian bekerja sama dengan Departemen Penerangan untuk menyuluhkan “arti dan guna hutan” sesuai dengan ketentuan pemerintah kepada masyarakat luas. Direktorat Kehutanan didirikan dan pengelola tingkat propinsi mengambil alih sebagian tanggung jawab dengan adanya pengambilan keputusan yang bersifat otonom, misalnya, dalam hal yang berkaitan dengan pemasaran hasil hutan,  pengelolaan, perlindungan, dan eksploitasi hutan,  serta untuk  urusan yang menyangkut tenaga kerja. Kebijakan masih dirumuskan di pusat dan seluruh keputusan di daerah harus sejalan dengan kebijakan nasional. Pergeseran kekuasaan tidak berjalan lama dan kewenangan unit pengelola hutan di tingkat propinsi berkurang ketika Perusahaan Negara Perhutani (PN Perhutani), sebuah badan usaha milik negara, didirikan pada 1961 untuk mengelola hutan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kekisruhan politik seputar 1965, kemudian,  menghasilkan sebuah  negara  yang memerintah dengan tangan besi.

Orang-orang yang bermasalah dengan Jawatan Kehutanan (penyerobot lahan, pekerja perhutanan dalam organisasi yang berafiliasi  dengan Partai Komunis Indonesia, dan pedagang gelap jati) dibunuh atau dipenjarakan sebagai tahanan politik. Perpindahan penduduk sangat tinggi karena petani di dataran tinggi meninggalkan kampung halamannya lalu mengungsi ke desa atau kota yang lebih aman. Banyak yang kemudian kembali ke kampungnya dan menemukan saluran irigasi di sana sudah rusak dan tanah yang ditinggalkannya sudah digarap petani lain, atau dibagi-bagi di antara aparat militer yang telah mengusir orang-orang yang dituduh terlibat G-30S/ PKI. Pengalaman mencekam ini menyebabkan warga desa di sekitar hutan takut pada negara dan enggan menuntut hak atas sumber daya hutan.

PN  Perhutani didirikan untuk  menghasilkan devisa dari ekspor kayu pertukangan dan membiayai reboisasi, memasok kebutuhan industri perhutanan, dan menangani masalah tekanan penduduk pada hutan. Pada 1972 PN Perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah digabungkan menjadi Perum Perhutani dan kemudian pada 1978 mengelola hutan negara di Jawa Barat. Perhutani mewarisi wilayah hutan yang dulu dikelola Dinas Kehutanan Hindia-Belanda di Jawa dan mengelola seluruh hutan produksi dan sebagian besar hutan lindung. Sebuah wilayah kelola seluas 2,5 juta hektar, atau 20% luas Pulau Jawa. Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU 5/1967) yang disahkan pada 1967 menegaskan peran Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Jawa. Perhutani secara rutin  melaporkan kondisi kawasan yang dikelolanya dan laporan berupa data statistik terbaru diterbitkan pada tahun 2002.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment