-->

Mengapa Agroforest Perlu Mendapat Perhatian?

Kebun-kebun  agroforest  asli  Indonesia  memperlihatkan  ciri-ciri  yang  pantas  diberi perhatian  dalam  kerangka  pembangunan  pertanian  dan  kehutanan,  khususnya  untuk daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang  dapat  berproduksi  secara  berkelanjutan,  sedangkan  untuk  tanaman  pangan  dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-besaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihak/sudut pandang: 

  • pertanian, 
  • petani, 
  • peladang, 
  • kehutanan.

a) Sudut Pandang Pertanian 

Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani.  Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.

Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu- satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya.

Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh  karena  itu  dukungan  terhadap  pertanian  komersial  petani  kecil  biasanya  lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada.

Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.

b) Sudut Pandang Petani 

Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani. Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 7), cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar
yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesiesspesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.

Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.

Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keaneka-ragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan. 

c)  Sudut Pandang Peladang 

Kebutuhan tenaga kerja rendah Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang berhasil, murah, menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat langsung yang dihasilkan agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi peladang berpindah karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional produktivitas agroforest dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil. Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari pada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah- wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika basah.

Tidak memerlukan teknik canggih Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropika basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya   ditanami   kembali   dengan   pepohonan   untuk   diwariskan   pada   generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.

d)  Sudut Pandang Kehutanan 

(1) Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan pioner yang berasal dari hutan.  Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk  agroforest  damar,  di  Jambi  untuk  agroforest  karet.  Oleh  karena  pada  sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies pionir dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.

(2) Pengembangan hasil hutan non kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada pengusahaan kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit diperbaharui. Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buahbuahan, biji-bijian, kayu-kayu harum, zat pewarna,  pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 8 adalah pemanenan hasil hutan nonkayu berupa getah damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah Krui, Lampung Barat. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.

Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan.   Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala utama pengembangan sistem agroforest  oleh  badanbadan  pembangunan  resmi  terutama  kalangan  kehutanan, yang merasa khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.

(3) Model alternatif produksi kayu
Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun karena berciri pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional.  Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan.  Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam. Dalam  setiap  hektar  agroforest  terdapat  antara  150  sampai  250  pohon  yang  dapat dimanfaatkan.   Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai  nilai  ekonomi,  bukan  karena  teknologi  yang  rendah,  tetapi  karena  belum dikenali pasar.

Kalangan kehutanan mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan.   Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya.   Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki
nilai komersil. Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap tidak berharga, tetapi dewasa   ini   menduduki   tempat   penting   dalam   pasar   kayu   Asia.   Sejalan   dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting.

Untuk memenuhi permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat.  Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani.

Kajian-kajian  kuantitatif  lebih  lanjut  tentu  saja  masih  dibutuhkan  untuk  menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumberdaya kayu tropika di masa depan. Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti  dugaan  umum,  sasaran  utama  agroforest  di  Indonesia  bukan  cuma  untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.

Mungkinkah agroforest penghasil kayu dikembangkan? Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi :
(a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari  sistim  penebangan  hutan  alam  menuju  sistem  budidaya  menetap  untuk  wilayah pedesaan, 
(b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest ini dan adanya integrasi   pengelolaan   kayu   komersil   diharapkan   dapat   merangsang   perluasan   areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati di luar hutan alam.

(4) Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan
Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan tanamantanaman tersebut.

Di  pihak  lain,  agroforest  merupakan  struktur  pertanian  yang  dibentuk  dan  dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena  daya  tarik  manfaatnya.  Dewasa  ini  sumber  daya  hutan  dikuras  tanpa  kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki.  Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di   hutan negara. Sumber daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam.

Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan,  agroforest  masih  mampu  menawarkan  pemecahan  masalah  pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?

Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus  dilibatkan  pada  setiap  usaha  pelestarian  alam,  misalnya  dengan  memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran  kawasan tamantaman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etnobotani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi

1 komentar:

avatar
KeiferAugust 19, 2024 at 9:36 AM

Saya ingin berbagi di sini tentang bagaimana Tuan Pedro memberi saya pinjaman sebesar £820.000,00 untuk memperluas bisnis saya dengan tingkat pengembalian tahunan 2%. Saya sangat bersyukur dan saya pikir saya harus membagikannya di sini. Berikut alamat emailnya: pedroloanss@gmail.com / WhatsApp +393510140339 jika ada di sini yang mencari suku bunga pinjaman yang terjangkau.