-->

Pertumbuhan Penduduk, Kelangkaan Lahan dan Penggunaan Lahan Intensif

Geologi Pulau Jawa sangat khas karena memiliki 17 gunung berapi aktif. Dengan tanah yang tersuburkan oleh debu vulkanik tersebut, Jawa menjadi pulau dengan pertanian paling intensif. Pulau Jawa juga menjadi pusat industri dan politik Indonesia. Dengan penduduk sebanyak 120 juta jiwa, Jawa adalah pulau terpadat di antara 17.000 pulau di Indonesia. Lebih dari separo penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Rata-rata kepemilikan lahan sepertiga sampai setengah hektar per keluarga, dan jumlah petani tanpa lahan terus meningkat. Sekira 20 juta orang, seperenam penduduk Jawa, tinggal di kawasan yang dikelola Perhutani, dan mereka (sebagian atau sepenuhnya)  bergantung pada lahan hutan.

Dahulu, masyarakat dari berbagai kelompok etnis di Jawa sangat leluasa mengolah lahan dan memungut hasil hutan untuk berbagai kebutuhan seharihari sampai masuknya kepentingan kolonial Belanda di akhir abad ke-16.  Orang-orang Sunda yang tinggal di dataran berbukit di sebelah barat pulau, karena jumlah penduduknya yang tidak terlalu banyak, dapat menghasilkan kebutuhan sehari-harinya  dengan perladangan berpindah. Sementara orang Jawa, yang tinggal di dataran rendah bagian tengah dan timur Jawa, mempraktikkan budi daya sawah dengan irigasi. Saat Belanda semakin memperketat kontrol atas lahan di dataran rendah, warga desa terpaksa mencari lahan- lahan yang belum banyak diatur sekalipun itu lebih sulit dijangkau yaitu lahan di dataran tinggi.

Hutan, dalam bahasa Jawa, dikenal dengan nama wono atau alas, atau talun dalam bahasa Sunda. Unit pengelolaan lahan di Jawa berada di tingkat dusun, dan disebut wono dusun. Dalam sebuah unit wono dusun terdapat paduan berbagai fungsi dalam tapak lahan yang sama, seperti, pertanian, peternakan, dan perhutanan. Usaha awal mengembangkan sistem pengelolaan budi daya kaya ragam (poly-culture)  di lahan hutan negara banyak meniru sistem wanatani asli Asia Tenggara ini.   Wono dusun memiliki beberapa sifat yang mencirikan sistem wanatani intensif, beberapa diantaranya adalah keragaman ekologis, stratifikasi,  beragam kegunaan, kelestarian ekologis, serta stabilitas ekonomi yang lebih tinggi.

Wanatani  asli di Jawa meniru komposisi keragaman tumbuhan dalam ekosistem hutan alam, walaupun tidak persis sama karena komposisi jenis penyusunannya bisa berbeda. Petani Jawa telah lama mengembangkan pekarangan yang memiliki kerumitan tinggi. Tanaman produktif yang menyusun pekarangan di sebuah desa bisa mencapai ratusan jenis. Areal wono dusun berisi pohon-pohon kayu, buah- buahan, tanaman musiman, pakan ternak, dan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat sebagian besarnya ditanami dengan sengon (Paraserianthes falcataria)  dan mahoni (Swietenia macrophylla). Jenis lain yang dikembangkan antara lain suren (Toona sureni),  kopi, dan berbagai tanaman tahunan. Pada lahan ini juga terdapat singkong, cengkeh (Eugenia caryophyllus), kemukus (Piper cubeba), sirih (Piper betle), salak (Salacca  edulis),  kapulaga (Amomum compactum), dan vanili (Vanilla planifolia). Masyarakat juga menyelingi pekarangan dengan tanaman cepat tumbuh seperti jagung (varietas lokal), cabai, jenu (Derris caudatilimba)  dan berbagai jenis tanaman untuk keperluan dapur.

Dengan stratifikasi ruang dan waktu, wono dusun dapat memaksimalkan penggunaan sumber daya lahan yang terbatas. Stratifikasi ruang adalah pengaturan tempat berbagai jenis tanaman dalam satu unit lahan, sementara stratifikasi waktu adalah perubahan komposisi jenis tanaman penyusun dari waktu ke waktu.  Blok wono dusun biasanya tersusun atas banyak lapisan dan penyusunannya sesuai dengan kebutuhan tanaman akan cahaya, nutrisi, serta kelembaban. Stratifikasi ini menyerupai berbagai aspek keseimbangan ekologis seperti yang terdapat pada hutan alam.

Penggunaan lahan yang berurut-urutan serta produksi tanaman semusim yang kontinyu juga menjadi bagian sistem wanatani ini. Sebagai contoh, dalam pemanenan sengon, para petani tidak menebangnya pada waktu yang sama sehingga lahan wono dusun hanya sedikit mengalami gangguan dan, pada saat yang sama, tanaman lain masih terus berproduksi. Praktik seperti ini bertujuan untuk  memberi kesempatan pada pohon-pohon yang usianya tidak seragam agar terlebih dahulu masak tebang sebelum akhirnya dipanen. Alasan lainnya, para petani melihat bahwa tebang habis di hutan negara telah menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.

Masyarakat melihat keunggulan praktik tradisional ini dari beberapa segi. Penanaman dengan banyak jenis, selain melindungi tanaman  dari mewabahnya penyakit, juga merupakan cara untuk menjaga stabilitas penghasilan ketika harga-harga produk pertanian anjlok di pasaran. Jika salah satu harga produk anjlok, para petani masih memiliki produk lain yang baik harganya. Berbagai jenis tanaman dalam satu lahan juga menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari yang dengan cepat dapat dipanen. Cabai dapat dipanen setiap 15 hari, kapulogo dipanen sebulan sekali. Rumput, tanaman polong- polongan (legum), dan rambahan jagung menyediakan pakan sapi dan kambing. Kebutuhan jangka menengah petani didapatkan dari penjualan kopi, cengkeh, kelapa, singkong, dan salak. Para petani juga memandang pemeliharaan tanaman kayu sebagai cara untuk  menabung; suatu  antisipasi untuk kebutuhan jangka panjang seperti pernikahan, pendidikan, pembangunan rumah, atau ongkos naik haji. Pada akhirnya, penghasilan tunai yang didapatkan dari lahan lebih stabil dan nilainya bagi masyarakat lebih tinggi  dibandingkan dengan  lahan  yang ditanami sedikit jenis. Dibandingkan dengan sistem budi daya seragam (monokultur), blok wono dusun lebih tahan terhadap tekanan sosial dan lebih liat terhadap kerusakan lingkungan.

Warga desa biasanya menerapkan teknik wono dusun di lahan hutan rakyat yang oleh pemerintah didefinisikan sebagai hutan di lahan milik. Lahan hutan rakyat biasanya dimiliki atas nama kepala keluarga. Hak milik atas lahan ini bisa diwariskan, bisa dijual kepada orang lain, dan bisa diagunkan kepada bank. Sumber daya lahan hutan rakyat, dalam statistik, dimasukkan ke dalam sektor pertanian.

Walaupun demikian, dalam statistik tutupan lahan, terdapat indikasi bahwa lahan hutan rakyat digolongkan sebagai tutupan hutan. Dalam sebuah analisis data Departemen Kehutanan tahun 2002, tutupan hutan secara umum dinyatakan sebagai hutan alam yang dapat dikenali melalui citra satelit. Tidak ada upaya untuk membedakan antara wanatani— pepohonan yang ditanam masyarakat setempat di lahan milik—dengan tutupan hutan di kawasan hutan negara. Ada kemungkinan bahwa areal luas yang dianggap “berhutan” itu sebetulnya adalah hutan wanatani di lahan milik. Forest Watch Indonesia (FWI) memperkirakan bahwa tutupan  hutan  di  Jawa bertambah hampir 600.000 hektar, dari 1,27 juta hektar pada 1985 menjadi 1,87 hektar pada 1997. Walaupun secara teoritis kenampakan pertambahan luas tersebut bisa disebabkan oleh keberhasilan penanaman di hutan negara, FWI juga menyebutkan bahwa buruknya kualitas data keruangan tentang hutan tanaman di Jawa menyebabkan  asumsi tersebut tidak  dapat  diverifikasi.  Tanpa  validasi ini, pertambahan luas tutupan hutan di Jawa mungkin sekali disebabkan oleh meluasnya hutan rakyat. Hutan rakyat, dengan produktivitas per hektarnya yang tinggi, memasok kayu bagi industri dalam jumlah yang signifikan. Pada 1999, produktivitas hutan rakyat mencapai 2,29 m3/hektar/tahun, angka ini lebih dari tiga kali lipat produktivitas per hektar hutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Hutan rakyat di Jawa mengisi 11% kebutuhan kayu bagi industri di Jawa, sekira 895.000 m3/tahun. 



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment