Peran Kebudayaan Daerah dan Birokrasi di Jawa dalam Argoforestry
Sebelum kedatangan bangsa Belanda, Indonesia diperintah dengan sistem kesultanan. Sekalipun lahan dianggap milik sultan yang berkuasa di Jawa, tetapi masyarakat masih lebih leluasa memiliki atau memungut hasil dari lahan tersebut dibandingkan dengan sistem yang dipaksakan Belanda. Bagi sultan, lahan hanya dianggap penting jika memberikan keuntungan ekonomis, atau menghasilkan buah dan kayu yang berguna, serta digarap oleh warganya. Pada awalnya, sultan memberikan hak bagi VOC hanya untuk memanen jati, dan tidak memberikan hak milik atas lahan. Tapi kemudian, VOC praktis merebut kekuasaan bukan hanya atas pohon-pohon, tetapi juga atas lahan dan penduduk setempat sebagai akibat luasnya kegiatan dan keterlibatan VOC dengan berbagai pihak.
Pada pemerintahan Indonesia merdeka, tingkat terendah pemerintahan adalah desa, dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih setiap lima tahun sekali. Kepala desa, sebagai pemimpin resmi, mengurus pelaksanaan proyek-proyek pemerintah di masing-masing dusun di desanya. Pemimpin informal di Jawa biasanya berasal dari golongan kyai, pemimpin agama yang bertanggung jawab atas pemeliharaan masjid dan memimpin peribadahan di desa. Dalam struktur desa terdapat beberapa organisasi kemasyarakatan dan organisasi perempuan, sebuah mekanisme bagi warga desa untuk mendapatkan manfaat dari proyekproyek peternakan, keluarga berencana, perayaan hari besar, olahraga, dan kerja bakti membangun sekolah atau jalan desa.
Beberapa desa kemudian membentuk sebuah kecamatan dan beberapa kecamatan menjadi sebuah kabupaten atau kotamadya. Pemerintahan daerah kabupaten terdiri atas bupati, sebagai kepala eksekutif, dan DPRD, yang bertugas mengembangkan tata aturan di daerah. Anggota DPRD yang dicalonkan oleh partai dipilih melalui sebuah pemilihan langsung oleh warga. Anggota DPRD ini kemudian memilih bupati. Mulai tahun 2004, anggota DPRD dan bupati dipilih secara langsung oleh rakyat. Kabupaten-kabupaten ini kemudian tergabung dalam satu propinsi, di Jawa terdapat lima propinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Berdasar perkembangan terbaru kebijakan otonomi daerah, banyak fungsi pemerintah pusat, termasuk beberapa aspek penyusunan peraturan mengenai hutan dan pengelolaan hutan, didesentralisasi kepada pemerintah propinsi dan kabupaten. Sebagai contoh, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan bahwa 80% pendapatan negara yang berasal dari sumber daya daerah (termasuk hutan) masuk ke kas daerah. Undang-Undang Kehutanan yang diberlakukan tahun 1999 memberikan hak kepada bupati untuk memberikan izin pembalakan seluas 100 hektar di wilayah pemerintahannya. Walaupun demikian, banyak masalah dalam pelaksanaan berbagai undangundang tersebut. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab atas hutan antara pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten tidak jelas dan banyak digugat. Kebijakan otonomi daerah telah memperbesar perselisihan mengenai tingkat pemerintahan yang mana yang boleh mengubah status kawasan hutan. Pemerintah pusat cemas melihat beberapa kabupaten yang seolah melegalisasi penebangan liar dengan memberikan izin hak pengusahaan hutan (HPH) skala kecil kepada pengusaha hutan yang tidak mendapatkan perpanjangan izin dari pemerintah pusat atau propinsi.
Hutan Tanaman Pinus Perhutani. Pengelolaan hutan Perhutani didasarkan pada ketentuan yang ketat mengenai bagaimana seharusnya “hutan tanaman” itu dan siapa yang diuntungkan dari hasilnya. Hutan tanaman Perhutani umumnya berada di hulu sungai.
Pengelolaan hutan Perhutani melibatkan teknik khusus dan aturan organisasional berdasarkan pada ketentuan ketat mengenai jenis tanaman dan pihak yang akan diuntungkan dari hasil hutannya. Aturan- aturan ini menentukan jenis tanaman pokok, pola tanam, dan teknik budi daya serta daur tebang. Warga desa diizinkan masuk ke kawasan hutan negara hanya pada saat ‘bukaan’ tumpang sari. Jika tidak ada tumpang sari maka warga desa tidak diizinkan masuk ke kawasan hutan negara. Petugas Perhutani bisa menahan warga desa yang masuk ke dalam hutan. Petugas lapangan Perhutani berusaha mempertahankan hubungan baik dengan pemuka masyarakat di desa, baik kepada pemimpin formal maupun pemimpin informal. Kepala desa mendapatkan pemberitahuan mengenai pekerjaan- pekerjaan yang sedang berlangsung di lahan hutan. Bantuan pendanaan melalui proyek-proyek untuk menambah penghasilan masyarakat juga ditawarkan. Perhutani juga membantu pembangunan masjid desa dan menyumbang pada kyai atau pemuka agama di desa.
Para perempuan membentuk kelompok untuk mendapatkan uang tunai dengan membantu mengolah lahan milik warga desa.Perempuan memainkan peran penting dalam mengelola rumah tangga dan mencukupi penghasilan keluarga. Perempuan biasanya bangun dini hari lalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, dengan demikian, pada pagi hari mereka bisa pergi berladang. Pada siang harinya, mereka bekerja di lahan yang perlu dibersihkan untuk kemudian diolah tanahnya oleh para suami. Para perempuan di Bogoran membentuk kelompok jika ada orang yang ingin menyewa mereka untuk membersihkan atau mengurus lahannya. Mereka mendapatkan Rp9.000 per orang per hari sebagai upah, tetapi upah tersebut tidak dibayarkan langsung. Upah harian itu ditabung dan pemilik lahan memberikannya dalam bentuk lump sum. Para perempuan menganggap cara pembayaran ini sebagai suatu bentuk tabungan yang bisa digunakan untuk hari raya, misalnya lebaran. Sebulan sekali, mereka pergi ke pasar untuk menjual panenannya dan membeli kebutuhan rumah tangga serta peralatan pertanian untuk pembersihan lahan. Mereka membeli pakaian hanya setahun sekali, biasanya menjelang lebaran. Permintaan pasar mempengar uhi jenisjenis tanaman yang diusahakan para petani. Pada pertengahan 1990-an, ketika kopi harganya sangat tinggi hingga mencapai Rp15.000/kilogram, banyak keluarga yang menanam kopi di lahan hutan rakyat. Ketika harganya turun drastis hingga Rp3.000/ kilogram, masyarakat membabat tanaman kopi mereka dan menggantinya dengan salak yang harganya lebih stabil.
Penyerahan tanggung jawab atas lahan hutan selama ini dibebankan untuk daerah yang sangat luas dan secara umum tidak disesuaikan dengan kekhasan bentang alam dan kebutuhan masyarakat setempat. Lebih jauh, terdapat sebuah keyakinan kuat, sekalipun keliru, bahwa hutan yang ada sanggup mencukupi segala kebutuhan sebuah perusahaan konvensional untuk menghasilkan keuntungan ekonomis, mengakomodasi tingginya tekanan penduduk, sekaligus menyediakan jasa lingkungan.
Sekalipun ide awal desentralisasi pengelolaan hutan yang dibicarakan dalam berbagai forum multipihak adalah untuk mengelola konflik, harus diingat bahwa perebutan hak kelola di lahan hutan negara pertama kali terjadi di lapangan. Berawal dari harapan yang dijanjikan reformasi, masyarakat desa memberanikan diri memasuki lahan-lahan kosong di hutan negara tanpa izin Perhutani. Mereka memperluas praktik wono dusun dari hutan rakyat ke lahan hutan yang telah gundul, menanam jenis-jenis pohon dan tanaman yang mereka sukai, dan memelihara tanamannya dengan keikutsertaan penuh masyarakat; laki-laki dan perempuan, tua dan muda.
Ada nilai-nilai kelestarian lingkungan dalam kerja- kerja masyarakat di bentang alam tersebut. Upaya Pemerintah Kabupaten Wonosobo mengembangkan sistem yang mengakui keunggulan kerja masyarakat ini kemudian menciptakan sebuah kecanggungan politik akibat ketiadaan pedoman kebijakan nasional yang menjembatani ketentuan desentralisasi dengan perhutanan. Tanpa pengakuan resmi dari pemerintah pusat, kepala desa, misalnya, tak bisa sepenuhnya terlibat dalam proses PSDHBM, terutama karena kepala desa juga adalah pejabat pemerintah yang menjadi bagian dari birokrasi. Sebuah kompromi harus dicapai demi menyelamatkan lingkungan dan rakyat, sekalipun hal tersebut akan membawa implikasi politis yang lebih luas di seluruh Jawa. Implikasi politis yang berkenaan dengan perlunya mengalihkan hak pemanfaatan, kepemilikan, dan penerimaan bagi hasil.
Terobosan-terobosan kebijakan yang tanggap terhadap kondisi kerusakan hutan masih terkatung- katung nasibnya sampai saat ini, karena pengambil keputusan di tingkat nasional terikat pada ‘pakem’ kebijakan yang ada. Jika ‘pakem kebijakan’ ini terus menghambat rakyat untuk menemukan cara mengurus sumber dayanya, maka kemerosotan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan akan terus terjadi. Suatu penilaian ulang yang transparan dan partisipatif terhadap sistem status quo sangat diperlukan untuk menata hak dan tanggung jawab para pihak sedemikian rupa sehingga jelas mekanisme pertanggunggugatannya (pertanggungjawaban dan dapat digugat), serta mempersempit jurang pemisah antara prinsip kelestarian dengan praktik pengelolannya di lapangan.
Pada akhirnya, setiap keputusan harus tanggap terhadap persoalan jasa lingkungan, karena hal inilah yang menjadi modal terbesar bagi kesejahteraan masyarakat. Jika kesepakatan umum menginginkan adanya jaminan jasa lingkungan yang lebih baik, maka usaha terbesar haruslah membangun sebuah sistem pengelolaan yang lebih baik pula. Pemerintah pusat telah melakukan pendekatan ini dengan mengkaji ulang pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan. Pemerintah kabupaten dan masyarakat menjalankan agenda ini dengan cara yang lain. Situasi ini mencerminkan sebuah kecenderungan, suatu arah perjalanan di Asia Tenggara yang banyak memberi contoh bagaimana negara dan perusahaan negara, di daerah padat penduduk, menghadapi tuntutan untuk melimpahkan hak kelola (bukan kepemilikan) demi mencapai tujuan utama, yaitu pemerataan pendapatan, perbaikan stabilitas ekonomi dan sosial, serta kelestarian lingkungan. Indonesia memiliki satu dari sedikit kesempatan untuk menempuh arah ini karena, sekalipun berpenduduk padat, kehadiran praktik-praktik pemanfaatan hutan yang intensif tetapi lestari terbukti sanggup menghadapi tekanan sosial dan tuntutan pasar.
0 komentar:
Post a Comment