Pemeliharaan Calon Induk
Pemeliharaan calon induk bertujuan untuk mematangkan gonad sehingga induk siap untuk dipijahkan. Calon induk yang diambil dari tempat lain, baik ditangkap dari alam maupun dari hasil budidaya, harus diaklimatisasi terlebih dahulu untuk disesuaikan suhu dan salinitasnya. Aklimatisasi juga bertujuan untuk mengurangi stress pada calon induk akibat perlakuan selama di perjalanan dan agar terbiasa serta beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Sebelum dimasukkan dalam wadah pemeliharaan induk, calon induk tersebut diaklimatisasi dengan memberikan aerasi selama 15 – 30 menit di dalam wadah pengangkut induk. Induk – induk tersebut juga sebaiknya direndam terlebih dahulu dalam larutan formalin 15 – 20 ppm selama 30 menit, serta diaerasi secara terus – menerus dengan tujuan untuk mencegah adanya serangan penyakit, terutama parasit dan jamur.
Selama masa pemeliharaan, sebaiknya induk tersebut dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina di dalam bak pemeliharaan induk yang sebelumnya telah disiapkan dan diaerasi terus menerus. Pemeliharaan induk secara terpisah dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi perkawinan secara massal yang mengakibatkan terjadinya perkawinan antar keturunan atau inbreeding. Perkawinan inbreeding terjadi ditandai dengan ukuran induk yang semakin kecil, sehingga menunjukkan adanya penurunan kualitas genetik.
Lama pemeliharaan induk berkisar antara 2 – 3 minggu atau tergantung pada kematangan gonadnya. Induk – induk yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dapat dicampurkan antara jantan dan betina agar terjadi perkawinan. Kepadatan induk yang dipeliharan dalam wadah pemeliharaan tergantung pada jenis krustasea yang dipelihara. Misalnya, induk udang galah dipelihara dalam bak dengan kepadatan 5 – 10 ekor/m2 atau 3 ekor/m3. Sementara itu, induk udang windu dan vanamei dipelihara dengan kepadatan 2 – 3 ekor/m2. Untuk induk lobster dipelihara dengan kepadatan 5 ekor/m2. Induk kepiting dan rajungan dapat dipelihara dalam wadah dengan kepadatan 1 – 2 atau 1 – 3 ekor/m2.
Untuk mendukung kematangan gonad induk, maka selama masa pemeliharaan, induk harus diberikan pakan dengan nilai gizi tinggi dan beragam jenisnya agar terjadi substitusi bahan makanan dan dapat saling melengkapi, sehingga kebutuhan gizi induk dapat terpenuhi. Selain beragam, pakan yang diberikan tersebut harus dalam kondisi segar dan tanpa pengolahan sehingga kandungan gizinya tidak banyak yang hilang. Oleh karena itu, sebaiknya induk diberikan pakan segar yang mengandung protein lebih dari 35%, meskipun tidak menutup kemungkinan selama pemeliharaan induk diberikan pakan berupa pellet. Namun begitu, ditinjau dari segi fisik maupun kimiawinya, pakan segar lebih baik, karena sesuai dengan kebiasaan makan di alam yang memakan berbagai macam jenis crustacea rendah, siput – siputan kecil, cacing, larva serangga, dan sebagainya. Selain itu, pakan segar lebih kaya akan omega 3 dan omega 6 dibandingkan dengan pelet. Dari segi fisiknya, pakan segar pun lebih tahan lama, mudah tenggelam dan peluang dimakan lebih besar. Hal ini dikarenakan sesuai dengan kebiasaan makan jenis krustasea yang senang mencari makan di dasar dan memakan mangsanya secara sedikit demi sedikit, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menghabiskan pakannya.
Jenis pakan segar yang biasa diberikan berupa ikan rucah, cumi – cumi, tiram, daging kerang, kepiting dan ikan lemuru. Kepiting yang diberikan kombinasi pakan segar ikan lemuru dan daging kerang memiliki peluang kematangan gonad 100% dan pengeraman 91,6 %. Hampir sama dengan kepiting, rajungan dapat diberikan pakan dengan kombinasi cumi, kerang, dan ikan rucah. Sedangkan induk udang windu dan vannamei dapat diberikan pakan kombinasi berupa cumi – cumi, tiram, kerang dan kepiting. Jika induk diberikan pellet, maka harus dipilih pellet yang mengandung protein lebih dari 35%.
Dosis pakan yang diberikan sekitar 5 – 15% dari total bobot rata – rata induk, dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 - 4 kali sehari. Feeding rate ditentukan berdasarkan sifat dan kebiasaan makan krustasea. Krustasea merupakan hewan nokturnal, yang aktif pada malam hari atau saat kondisi gelap. Pakan untuk induk yang dipelihara secara outdoor, dapat diberikan dengan feeding rate terbanyak pada malam hari, misalnya dari dosis pakan sebanyak 10%/hari dengan frekuensi 4 kali sehari, maka ditentukan feeding rate nya adalah 2% pada pagi dan siang hari, dan 3% pada sore serta malam hari. Sedangkan jika induk dipelihara secara indoor, maka feeding rate dapat diberikan dengan jumlah yang sama setiap kali pemberian pakan. Hal ini disebabkan karena wadah pemeliharaan induk krustasea biasanya diletakkan dalam ruangan/bangunan gelap tertutup, sehingga selalu tercipta suasana malam atau gelap.
Selain pakan, faktor yang harus diperhatikan untuk mendukung kematangan gonad adalah kualitas air. Untuk menjaga kondisi kualitas air yang optimum, maka sisa pakan yang tidak termakan sebaiknya diambil setiap pagi dan sore hari untuk menghindari terjadinya pembusukan dalam bak pemeliharaan. Selain pembuangan kotoran dengan penyiponan, untuk menjaga kondisi air tetap baik, maka setiap 3 atau 7 hari sekali dilakukan pergantian air dengan membuang sebanyak 30% air lama apabila pergantian air dilakukan 3 hari sekali dan 60 – 70% apabila pergantian air dilakukan setiap 7 hari sekali. Selain dilakukan pergantian air, selama masa pemeliharaan induk sebaiknya juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi induk dan kualitas air pemeliharaan, yang meliputi suhu, pH, DO, salinitas, amonia dan nitrit.
Sebelum dimasukkan dalam wadah pemeliharaan induk, calon induk tersebut diaklimatisasi dengan memberikan aerasi selama 15 – 30 menit di dalam wadah pengangkut induk. Induk – induk tersebut juga sebaiknya direndam terlebih dahulu dalam larutan formalin 15 – 20 ppm selama 30 menit, serta diaerasi secara terus – menerus dengan tujuan untuk mencegah adanya serangan penyakit, terutama parasit dan jamur.
Selama masa pemeliharaan, sebaiknya induk tersebut dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina di dalam bak pemeliharaan induk yang sebelumnya telah disiapkan dan diaerasi terus menerus. Pemeliharaan induk secara terpisah dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi perkawinan secara massal yang mengakibatkan terjadinya perkawinan antar keturunan atau inbreeding. Perkawinan inbreeding terjadi ditandai dengan ukuran induk yang semakin kecil, sehingga menunjukkan adanya penurunan kualitas genetik.
Lama pemeliharaan induk berkisar antara 2 – 3 minggu atau tergantung pada kematangan gonadnya. Induk – induk yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dapat dicampurkan antara jantan dan betina agar terjadi perkawinan. Kepadatan induk yang dipeliharan dalam wadah pemeliharaan tergantung pada jenis krustasea yang dipelihara. Misalnya, induk udang galah dipelihara dalam bak dengan kepadatan 5 – 10 ekor/m2 atau 3 ekor/m3. Sementara itu, induk udang windu dan vanamei dipelihara dengan kepadatan 2 – 3 ekor/m2. Untuk induk lobster dipelihara dengan kepadatan 5 ekor/m2. Induk kepiting dan rajungan dapat dipelihara dalam wadah dengan kepadatan 1 – 2 atau 1 – 3 ekor/m2.
Untuk mendukung kematangan gonad induk, maka selama masa pemeliharaan, induk harus diberikan pakan dengan nilai gizi tinggi dan beragam jenisnya agar terjadi substitusi bahan makanan dan dapat saling melengkapi, sehingga kebutuhan gizi induk dapat terpenuhi. Selain beragam, pakan yang diberikan tersebut harus dalam kondisi segar dan tanpa pengolahan sehingga kandungan gizinya tidak banyak yang hilang. Oleh karena itu, sebaiknya induk diberikan pakan segar yang mengandung protein lebih dari 35%, meskipun tidak menutup kemungkinan selama pemeliharaan induk diberikan pakan berupa pellet. Namun begitu, ditinjau dari segi fisik maupun kimiawinya, pakan segar lebih baik, karena sesuai dengan kebiasaan makan di alam yang memakan berbagai macam jenis crustacea rendah, siput – siputan kecil, cacing, larva serangga, dan sebagainya. Selain itu, pakan segar lebih kaya akan omega 3 dan omega 6 dibandingkan dengan pelet. Dari segi fisiknya, pakan segar pun lebih tahan lama, mudah tenggelam dan peluang dimakan lebih besar. Hal ini dikarenakan sesuai dengan kebiasaan makan jenis krustasea yang senang mencari makan di dasar dan memakan mangsanya secara sedikit demi sedikit, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menghabiskan pakannya.
Jenis pakan segar yang biasa diberikan berupa ikan rucah, cumi – cumi, tiram, daging kerang, kepiting dan ikan lemuru. Kepiting yang diberikan kombinasi pakan segar ikan lemuru dan daging kerang memiliki peluang kematangan gonad 100% dan pengeraman 91,6 %. Hampir sama dengan kepiting, rajungan dapat diberikan pakan dengan kombinasi cumi, kerang, dan ikan rucah. Sedangkan induk udang windu dan vannamei dapat diberikan pakan kombinasi berupa cumi – cumi, tiram, kerang dan kepiting. Jika induk diberikan pellet, maka harus dipilih pellet yang mengandung protein lebih dari 35%.
Dosis pakan yang diberikan sekitar 5 – 15% dari total bobot rata – rata induk, dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 - 4 kali sehari. Feeding rate ditentukan berdasarkan sifat dan kebiasaan makan krustasea. Krustasea merupakan hewan nokturnal, yang aktif pada malam hari atau saat kondisi gelap. Pakan untuk induk yang dipelihara secara outdoor, dapat diberikan dengan feeding rate terbanyak pada malam hari, misalnya dari dosis pakan sebanyak 10%/hari dengan frekuensi 4 kali sehari, maka ditentukan feeding rate nya adalah 2% pada pagi dan siang hari, dan 3% pada sore serta malam hari. Sedangkan jika induk dipelihara secara indoor, maka feeding rate dapat diberikan dengan jumlah yang sama setiap kali pemberian pakan. Hal ini disebabkan karena wadah pemeliharaan induk krustasea biasanya diletakkan dalam ruangan/bangunan gelap tertutup, sehingga selalu tercipta suasana malam atau gelap.
Selain pakan, faktor yang harus diperhatikan untuk mendukung kematangan gonad adalah kualitas air. Untuk menjaga kondisi kualitas air yang optimum, maka sisa pakan yang tidak termakan sebaiknya diambil setiap pagi dan sore hari untuk menghindari terjadinya pembusukan dalam bak pemeliharaan. Selain pembuangan kotoran dengan penyiponan, untuk menjaga kondisi air tetap baik, maka setiap 3 atau 7 hari sekali dilakukan pergantian air dengan membuang sebanyak 30% air lama apabila pergantian air dilakukan 3 hari sekali dan 60 – 70% apabila pergantian air dilakukan setiap 7 hari sekali. Selain dilakukan pergantian air, selama masa pemeliharaan induk sebaiknya juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi induk dan kualitas air pemeliharaan, yang meliputi suhu, pH, DO, salinitas, amonia dan nitrit.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment