Percobaan oleh petani
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa petani mampu melakukan uji coba
dan penelitian adaptif sederhana tetapi efektif (Veldhuizen et al.,
1997). Mereka belajar dari hasil uji coba yang mereka lakukan untuk
memperluas pengetahuannya. Ada kesepakatan bahwa pengetahuan petani,
seringkali didasarkan pada hasil pengamatan dan hasil uji coba yang
dilakukan dengan sengaja. Meskipun tidak menggunakan metode ilmiah, akan
tetapi mempunyai peranan kritis dalam menciptakan inisiatif
pengembangan lebih lanjut. Ketika mencoba untuk membuat suatu keputusan,
beberapa petani perlu waktu untuk mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang
berasal dari berbagai sumber secara seksama. Terlepas dari adaptasi
inovasi yang berasal dari luar, banyak laporan menunjukkan bahwa para
petani seringkali berinovasi dengan cara membuat percobaan kecil tentang
ide baru secara rutin dan mengamatinya secara seksama.
a) Obyek yang dipilih relevan dengan permasalahan mereka.
b) Kriteria penilaian yang digunakan langsung terkait dengan nilai lokal dan umumnya terkait dengan pemanfaatan produknya (rasa).
c) Pengamatan dilakukan dalam perspektif sistem kehidupan nyata, karena berlangsung selam kegiatan bertani mereka dan tidak hanya sebatas pada hasil akhir saja.
d) Percobaan berdasarkan pengetahuan petani, yang pada gilirannya akan memperkaya dan memperdalam pengetahuan tersebut. Elaborasi metode penelitian komplementer pada pemahaman percobaan oleh petani secara lebih baik akan sangat bermanfaat
dalam mencari teknologi agroforestri yang tepat-guna yang dapat diterapkan dalam lingkungan yang beragam dengan tingkat risiko yang tinggi (marginal).
Pada kenyataannya telah banyak pengetahuan dan teknologi yang telah berkembang di masyarakat, namun karena adanya keterbatasan pengetahuan lokal maka penelitian masih diperlukan. Selain itu, karena adanya keterbatasan kemampuan uji coba dan komunikasi antar petani, seringkali mereka terlambat dalam mengantisipasi perubahan kualitas sumber daya dan lingkungan yang berlangsung cepat. Keterbatasan uji coba yang dilakukan oleh petani ini antara lain disebabkan oleh:
a) Keterbatasan dalam penguasaan dasar-dasar pengertian ilmiah tentang proses yang terjadi dalam obyek percobaannya, sehingga percobaannya kurang terarah,
b) Pendekatan analisis yang lemah,
c) Rancangan percobaan yang lemah,
d) Tidak cukupnya informasi tentang pilihan-pilihan potensial dalam usaha mencari teknologi yang lebih baik,
e) Terlalu banyak peubah (variabel) yang dilibatkan dalam percobaannya, sehingga sulit untuk diinterpretasikan,
f) Kurang memadainya metode pengukuran untuk mencapai suatu kesimpulan yang sahih. Sebagai contoh bahwa penelitian masih diperlukan dapat dilihat dalam contoh kasus di Lampung Utara.
Contoh kasus: Hubungan tanah “dingin” dan usaha pemupukan pada sistem bera. Petani menyatakan kesuburan tanah dengan menggunakan istilah ‘dingin’ (subur) yang dicirikan tanah hitam, lembab, remah dan mudah diolah; dan tanah ‘panas’ (tidak subur) yaitu tanah berwarna putih, kering dan keras. Sedangkan peneliti di bidang ilmu tanah menghubungkan kesuburan tanah dengan berbagai sifat tanah yang dapat diukur, namun tidak satupun sifat yang diukur secara ilmiah dapat menggambarkan istilah sederhana tadi dengan tepat. Bila kita dihadapkan pada suatu pertanyaan di lapangan, bagaimana kita memperbaiki kesuburan tanah tersebut? Sebelum kita menentukan strategi pengelolaan yang dipilih, terlebih dahulu kita harus melakukan diagnosa penurunan kesuburan tanah. Kemudian parameter apa yang harus diperbaiki. Seberapa jauh parameter itu harus diperbaiki, baru kemudian ditentukan strategi apa yang harus dilakukan. Ketrampilan dalam mendiagnosa dan menganalisa suatu masalah ini yang menyebabkan pengetahuan dan penelitian ilmiah masih tetap dibutuhkan.
Berdasarkan diagnosa ilmiah, turunnya kesuburan tanah di Lampung Utara ini disebabkan oleh adanya penanaman tanaman semusim secara terus-menerus yang mengakibatkan tidak berimbangnya jumlah pengembalian hara ke dalam tanah dengan jumlah yang diangkut keluar tanah. Parameter yang harus mendapatkan perhatian khusus adalah kejenuhan bahan organik tanah, yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang dibandingkan dengan kandungan bahan organik tanah di bawah tegakan hutan (Cref) di mana kondisi tanahnya masih prima.
Nilai nisbah (Corg/Cref) yang diperoleh berkisar antara 0-1. Semakin rendah (mendekati nol) nilai nisbah Corg/Cref suatu tanah maka tanah tersebut semakin ‘panas’. Bila nilai Corg/Cref mendekati nilai 1, maka tanah tersebut diklasifikasikan ‘dingin’. Tanah pada lahan hutan yang baru saja dibuka mempunyai nilai nisbah 1. Sedangkan tanah hutan mempunyai nilai <1, dikategorikan ‘lebih dingin dari dingin’. Untuk mengembalikan kondisi tanah 'panas' menjadi tanah 'dingin' ini diperlukan masukan bahan organik secara terus-menerus sebanyak 9 - 10 Mg ha-1 th-1. Salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan sistem agroforestri. Contoh ini membuktikan bahwa penyelesaian masalah di lapangan masih tetap memerlukan penyelesaian terpadu yaitu berdasarkan pengetahuan lokal dan melalui pendekatan formal yang lebih ilmiah. (Sumber: Hairiah et al., 2001)
1) Keunggulan uji coba oleh petani
Meskipun percobaan yang dilakukan oleh petani beragam, akan tetapi umumnya mempunyai keserupaan sifat, di antaranya:a) Obyek yang dipilih relevan dengan permasalahan mereka.
b) Kriteria penilaian yang digunakan langsung terkait dengan nilai lokal dan umumnya terkait dengan pemanfaatan produknya (rasa).
c) Pengamatan dilakukan dalam perspektif sistem kehidupan nyata, karena berlangsung selam kegiatan bertani mereka dan tidak hanya sebatas pada hasil akhir saja.
d) Percobaan berdasarkan pengetahuan petani, yang pada gilirannya akan memperkaya dan memperdalam pengetahuan tersebut. Elaborasi metode penelitian komplementer pada pemahaman percobaan oleh petani secara lebih baik akan sangat bermanfaat
dalam mencari teknologi agroforestri yang tepat-guna yang dapat diterapkan dalam lingkungan yang beragam dengan tingkat risiko yang tinggi (marginal).
2) Apakah lembaga penelitian masih diperlukan?
Jika pengembangan teknologi oleh petani lokal bisa berfungsi dengan baik, akan timbul beberapa pertanyaan antara lain: Apakah penelitian di bidang pertanian masih dibutuhkan? Apakah peneliti pertanian, penyuluh dan agen pembangunan pertanian masih dibutuhkan?Pada kenyataannya telah banyak pengetahuan dan teknologi yang telah berkembang di masyarakat, namun karena adanya keterbatasan pengetahuan lokal maka penelitian masih diperlukan. Selain itu, karena adanya keterbatasan kemampuan uji coba dan komunikasi antar petani, seringkali mereka terlambat dalam mengantisipasi perubahan kualitas sumber daya dan lingkungan yang berlangsung cepat. Keterbatasan uji coba yang dilakukan oleh petani ini antara lain disebabkan oleh:
a) Keterbatasan dalam penguasaan dasar-dasar pengertian ilmiah tentang proses yang terjadi dalam obyek percobaannya, sehingga percobaannya kurang terarah,
b) Pendekatan analisis yang lemah,
c) Rancangan percobaan yang lemah,
d) Tidak cukupnya informasi tentang pilihan-pilihan potensial dalam usaha mencari teknologi yang lebih baik,
e) Terlalu banyak peubah (variabel) yang dilibatkan dalam percobaannya, sehingga sulit untuk diinterpretasikan,
f) Kurang memadainya metode pengukuran untuk mencapai suatu kesimpulan yang sahih. Sebagai contoh bahwa penelitian masih diperlukan dapat dilihat dalam contoh kasus di Lampung Utara.
Contoh kasus: Hubungan tanah “dingin” dan usaha pemupukan pada sistem bera. Petani menyatakan kesuburan tanah dengan menggunakan istilah ‘dingin’ (subur) yang dicirikan tanah hitam, lembab, remah dan mudah diolah; dan tanah ‘panas’ (tidak subur) yaitu tanah berwarna putih, kering dan keras. Sedangkan peneliti di bidang ilmu tanah menghubungkan kesuburan tanah dengan berbagai sifat tanah yang dapat diukur, namun tidak satupun sifat yang diukur secara ilmiah dapat menggambarkan istilah sederhana tadi dengan tepat. Bila kita dihadapkan pada suatu pertanyaan di lapangan, bagaimana kita memperbaiki kesuburan tanah tersebut? Sebelum kita menentukan strategi pengelolaan yang dipilih, terlebih dahulu kita harus melakukan diagnosa penurunan kesuburan tanah. Kemudian parameter apa yang harus diperbaiki. Seberapa jauh parameter itu harus diperbaiki, baru kemudian ditentukan strategi apa yang harus dilakukan. Ketrampilan dalam mendiagnosa dan menganalisa suatu masalah ini yang menyebabkan pengetahuan dan penelitian ilmiah masih tetap dibutuhkan.
Berdasarkan diagnosa ilmiah, turunnya kesuburan tanah di Lampung Utara ini disebabkan oleh adanya penanaman tanaman semusim secara terus-menerus yang mengakibatkan tidak berimbangnya jumlah pengembalian hara ke dalam tanah dengan jumlah yang diangkut keluar tanah. Parameter yang harus mendapatkan perhatian khusus adalah kejenuhan bahan organik tanah, yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang dibandingkan dengan kandungan bahan organik tanah di bawah tegakan hutan (Cref) di mana kondisi tanahnya masih prima.
Nilai nisbah (Corg/Cref) yang diperoleh berkisar antara 0-1. Semakin rendah (mendekati nol) nilai nisbah Corg/Cref suatu tanah maka tanah tersebut semakin ‘panas’. Bila nilai Corg/Cref mendekati nilai 1, maka tanah tersebut diklasifikasikan ‘dingin’. Tanah pada lahan hutan yang baru saja dibuka mempunyai nilai nisbah 1. Sedangkan tanah hutan mempunyai nilai <1, dikategorikan ‘lebih dingin dari dingin’. Untuk mengembalikan kondisi tanah 'panas' menjadi tanah 'dingin' ini diperlukan masukan bahan organik secara terus-menerus sebanyak 9 - 10 Mg ha-1 th-1. Salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan sistem agroforestri. Contoh ini membuktikan bahwa penyelesaian masalah di lapangan masih tetap memerlukan penyelesaian terpadu yaitu berdasarkan pengetahuan lokal dan melalui pendekatan formal yang lebih ilmiah. (Sumber: Hairiah et al., 2001)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment