Menerapkan Tatalaksana Perikanan yang Bertanggung Jawab / CCRF (Bagian 4)
Untuk mempermudah pengawasan dan penandaan status wilayah pengelolaan perikanan, Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor Per.02/MEN/ 2011 memberikan kejelasan, Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia adalah yang selanjutnya disebut WPPRI adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Khusus pada wilayah ZEE ini, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat dalam pengelolaan sumber daya ikan sehingga dalam penerapan hukum nasional di wilayah ini perlu memperhatikan juga hukum internasional. Misalnya dalam UNCLOS 1982 pasal 62, negara pantai wajib memberikan kesempatan atau akses kepada pihak asing untuk memanfaatkan potensi sumber daya perikanan di ZEE-nya. Pembagian WPPRI ini berdasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan dipelabuhan.
Siombo (2010) menjelaskan, pengaturan WPPRI ini dimaksudkan agar tercapainya pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan.
Baru-baru ini pada tahun 2011 pemerintah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, mengeluarkan hasil perhitungan terakhir yang menyatakan kelimpahan potensi ikan Indonesia pada tahun 2011 adalah sekitar 6,520 juta ton / tahun. Potensi kekayaan bangsa ini ditabulasikan dari potensi 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan di atas membagi wilayah perairan Republik Indonesia ke dalam 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang diberikan kode angka berdasarkan wilayahnya masing-masing seperti pada table 4. di bawah ini:
Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Keseluruhan agenda kegiatan pemerintah ini dipandu oleh CCRF (Code of Conduct Responsible For Fisheries) 1995 yang dikeluarkan oleh FAO. Saat ini CCRF kita sebut dengan istilah tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab (dalam buku ini disingkat dengan istilah tatalaksana). Tatalaksana ini menjadikan asas dan standar internasional mengenai sikap atau perilaku bagi praktek yang bertanggung jawab dengan maksud untuk menjamin konservasi, pengelolaan dan perkembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Para ahli perikanan dunia memperkenalkan berbagai macam metode untuk menilai kondisi keberlanjutan perikanan tangkap di semua area penangkapan sebagai bentuk dukungan pada tatalaksana ini. Semua metode pendugaan stok sumber adaya ikan ini bertujuan membantu mencegah terjadinya fully dan over fishing aktivitas perikanan tangkap di area sebuah fishing ground yang di dikhawatirkan mengakibatkan sumber daya ikan (fish resources) sampai pada titik deplesi yang tidak dapat dipulihkan lagi (irreversible depletion).
Menurut Fauzi dan Suzi (2005), salah satu alternative analisis sederhana yaitu secara kuantitatif yang dapat dilakukan untuk hal tersebut di atas adalah dengan menggunakan Rapid Appraissal For Fisheries (Rapfish). Pendekatan Rapfish mampu menganalisis seluruh aspek keberlanjutan dari perikanan di sebuah area penangkapan yang sedang diamati.
Rapfish yang merupakan hasil pemikiran dari Tonny J. Pitcher (1999) seorang ahli perikanan dari University Of British Colombia, Vancouver Canada, menurut Tri dkk (2005) Pitcher dalam kajian pendugaannya mendasarkan pada lima dimensi yang didukung atribut-atributnya di dalam menjaga keberlanjutan perikanan. Dimensi ini merupakan cerminan dari baik buruknya kualitas lingkungan dan sumber daya perikanan tangkap berikut proses-proses alami didalamnya, baik yang dapat atau tidak dapat mendukung secara berkelanjutan setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam perikanan tangkap.
Menurut Fauzi dan Anna (2005), tahapan prosedur penelitian menggunakan Rapfish melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Analisis terhadap data perikanan wilayah yang akan di teliti melalui data statistik, studi litelatur, dan pengamatan dilapangan
b. Melakukan skoring dengan mengacu pada litelatur Rapfish yang berdasarkan pada publikasi FAO dengan excell
c. Melakukan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan sofware SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stres melalui ALSCAL Algoritma
d. Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad dan good dengan Excell dan Visual Basic
e. Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) dan Monte Carlo Analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastiannya
f. Menganalisis tingkat keberlanjutan (Asses Sustainability)
g. Untuk mengetahui tingkat pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan menggunakan pendekatan analisis Rapfish.
Tri dkk (2005) kemudian menjelaskan dimensi di dalam Rapfish terdiri 5 (lima) sudut pandang yaitu dari sudut pandang Dimensi Ekologi, Ekonomi, Sosial, Teknologi dan Etika yang digambarkan dalam Tabel 6. di bawah ini:
Atributnya setiap dimensi dicerminkan oleh Tri dkk (2005), sebagai berikut:
Penjelasan atribut yang tertera pada Tabel 7. diuraikan dalam Tabel 8 s/d Tabel 12 di bawah ini:
Selanjutnya Tri dkk (2005), menjelaskan penyusunan pedoman di atas lebih bertujuan untuk sebagai sarana sosialisasi metode analisis multivariat berbasis Multi Dimensional Scaling (MDS), terutama yang diaplikasikan dalam metode Rapfish. Hal ini agar lebih mudah digunakan serta para pengguna benar-benar mengetahui dan dapat mengecek ulang ataupun menyesuaikan penetapan setiap dimensi dan atribut yang dipergunakan. Isi dari pedoman tersebut terdiri dari atribut, skala skor baik-buruk, penjelasan dan bentuk pertanyaan.
Fauzi dan Zuzi (2005), menambahkan dalam tulisannya bahwa Rapfish dapat menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan kita, khususnya perikanan di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh code of conduct for responsible Fisheries 1995.
Fauzi dan Suzi (2005) selanjutnya menjelaskan, atribut dari setiap dimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan, serta dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh, Ordinasi dari set atribut digambarkan dengan Multi Dimensional Scaling (MDS).
0 komentar:
Post a Comment