Pengertian Kedwibahasaan
Istilah kedwibahasaan atau bilingualisme pertama kali diperkenalkan oleh Bloom-
field pada tahun 1932. Bloomfield (1932:56) mendefinisikan kedwibahasaan sebagai pen-
guasaan dua buah bahasa sebagaimana halnya penutur aslinya, “native control of two language”.
Dengan demikian, seseorang disebut sebagai dwibahasawan apabila yang bersangkutan telah
menguasai bahasa pertama (Bl) dan bahasa kedua (B2) secara sempurna. Dengan kata lain,
penguasaan bahasa kedua sama baiknya dengan bahasa pertama.
Pengertian yang senada, dikemukakan oleh Halliday dengan istilah ambilingualisme.
Halliday (dalam Fishman, 1972:141) mengemukakan bahwa ambilingualisme adalah
kemampuan seorang penutur secara sempurna dapat menguasai dua bahasa atau lebih dengan sama baiknya. Penuturnya sendiri disebut ambilingual yang oleh Thiery (dalam Wardsmore, 1982:7) disebut sebagai dwibahasawan sejati (truebilingual). Di samping itu, Haugen melihat
bahwa kedwibahasaan mulai ketika penutur suatu bahasa dapat menghasilkan ucapan bermakna dalam bahasa lain (Romaine, 1989:10).
Sehubungan dengan pernyataan Haugen itu pula, Hakuta (1986:4) mengemukakan bahwa
definisi Haugen memasukkan perspektif perkembangan yang melibatkan seluruh proses pemerolehan bahasa kedua dalam cakupan kedwibahasaan. Pendapat yang agak sederhana dikemukakan oleh Richards (1992:35) Menurut Ricards, “bilingualisme are the use of by a group of speakers such as the inhabitance of a particular region or a nation”. Kedwibahasaan adalah penggunaan sekurang-kurangnya dua bahasa oleh seseorang atau sekelompok penutur, seperti penduduk suatu daerah tertentu atau bangsa. Pendapat Ricards tersebut didasarkan oleh pemikiran Hartman (1972:27) yang mengatakan bahwa, “bilingualism are the use of language by a speakers or speech community”. Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat bahasa.
Selain itu Mackey menganjurkan bahwa ada empat karakteristik yang harus dicermati dalam mendeskripsikan dwibahasaan. Keempat karakteristik dimaksud adalah:
(1) Degree, yaitu tingkat kemampuan dalam penguasaan dua bahasa yang dapat dilihat
dari segi penguasaan gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
(2) Function, yaitu fungsi pemakaian kedua bahasa yakni untuk apa seseorang menggunakan bahasanya dan apakah peranan bahasa-bahasa itu dalam keseluruhan perilakunya.
(3) Alternation, pergantian atau peralihan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lainnya yakni seberapa Jauh si penutur berpindah bahasa. Dalam hal-hal apa saja penutur memilih antara dua bahasa itu.
(4) Interference, seberapa jauh penutur dwibahasawan dapat menggunakan dua bahasa secara terpisah sebagai sistem yang terpadu. Gejala-gejala interferensi apakah yang dapat diamati dalam pengaruh pemakaian sebuah bahasa terhadap bahasa lainnya.
Oksaar mengatakan bahwa tidak cukup membatasi kedwibahasaan hanya sebagai milik individu. Kedwibahasaan harus diperlakukan juga sebagai milik kelompok sebab bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antar individu, tetapi juga sebagai alat komunikasi antarkelompok. Bahkan lebih dari itu,bahasa adalah faktor untuk menegakkan kelompok dan merupakan alat untuk menunjukkan identitas kelompok (Oksaar, 1972:478).
Dengan berpedoman kepada pendapat pakar di atas maka perlu kiranya dikutip pen-
dapat Kridalaksana (1984: 25) yang menyatakan bahwa di Indonesia yang dimaksud dengan kedwibahasaan ialah penggunaan bahasa kebangsaan dan bahasa daerah secara berganti-ganti, dan bukannya penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda yang masih terdapat pada kalangan yang dahulu mendapat pendidikan Belanda, suatu situasi bilingual yang terdapat di semua negeri yang pernah dijajah.
0 komentar:
Post a Comment