Pendidikan Agama dan Problematika Kultural
Manusia merupakan makhluk yang dinamis dalam memaknai hidup dan lingkungannya. Dengan
bekal fitrah untuk selalu mencari kebaikan, kebenaran dan keindahan, manusia terus berupaya
membangun peradaban. Melalui peradaban ini manusia menjalani hidupnya secara terhormat dan saling menghargai yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Pencipta. Kecerdasan majemuk(multiple intelligence) dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai potensi dasar untuk tumbuh dan berkembang. Meski demikian di sisi lain, perkembangan dapat bergerak dalm sumbu garis negatif maupun positif. Dalam sumbu negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan bertindak negatif, dan jahat.
Bahkan, sisi negatif manusia ini dalam Al-qur’an dapat menyamakan keadaannya seperti hewan bahkan lebih rendah lagi.
Berdasarkan alasan tersebut, maka manusia harus selalu dikontrol, ditata sedemikian rupa, dan
dikuasai agar dapat betul-betul menjadi manusia yang baik. Disini relasi faktor pendidikan agama
memainkan peran yang sangat penting. Artinya, bahwa pendidikan agama perlu diarahkan untuk
memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya kecerdasan majemuk agar peserta didik menjadi manusia
yang mampu menerapkan nilai-nilai keyakinan dan etikanya untuk dapat hidup berdampingan dengan
individu lain yang memiliki nilai keyakinan dan etika berbeda secara terhormat dan saling menghormati. Problematika keagamaan yang terjadi dalam ranah kebangsaan dewasa ini pada dasarnya tidak lepas dari permasalahn pendidikan agama. Artinya, bahwa model pembelajaran pendidikan agama bagi peserta didik pada pendidikan formal (Madrasah/Sekolah) belum menyentuh dimensi nurani.
Sehingga pesrta didik hanya menyerap aspek pengetahuan saja, belum sampai moral dan perilaku
dalam bersikap dan bertindak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Agus salim, bahwa:
Permasalahan pendidikan agama bagi siswa adalah kurang terinternalisasinya nilai-nilai agama.
Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut selain pendekatan yang selama ini telah dicobakan untuk dilakukan seperti, perbaikan dan penyesuaian kurikulum, juga perlu adanya solusi alternative yang lebih bersifat penyadaran dan pemahaman kembali secara komprehensif makna dan aplikasi inti
pelajaran agama dan cara beragama.
Sementara menurut Muhammad Turhan Yani, bahwa:
Realitas di lapangan menunjukkan terdapat salah satu kelemahan pembelajaran PAI, yakni
sebagian guru tidak memiliki strategi penyusunan dan pemilihan materi yang tepat...dan hanya memenuhi tuntutan aspek kognitif atau belajar ilmu agama saja, tetapi tidak mempraktekkannya. Kenyataan yang demikian itu, menjadi salah satu penyebab merosotnya moral.
Apa yang dikemukakan diatas tentu saja bertolak belakang dengan landasan filosofis dan juga
tujuan utama dari pendidikan agama itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh J. Reberu
(2001) :
Pendidikan agama merupakan sarana utama, dan dengannya nilai-nilai agama diperkenalkan
baik kepada individu maupun kepada masyarakat. Di samping itu, pendidikan agama juga menciptakan iklim, suasana, bahkan rangsangan nilai konkret didalam hidup untuk mengalami atau menghayati nilai-nilai tertentu. Lewat pengajaran dan penghayatan, pendidikan agama berusaha membina mentalitas iman dalam diri para penganut.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhammad Turhan Yani dan M. Husni Abdullah, bahwa :
Pendidikan agama (Islam) menempati posisi penting karena memberi dan menumbuhkan spirit
pada peserta didik. Kompetensi utama yang dituntut dalam mata pelajaran PAI bersifat terpadu
(integrated), yakni memadukan secara komprehensif dan simultan antara aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Oleh karena itu mata pelajaran PAI diharapkan menjai spirit dan inspirasi
dalam menumbuhkan karakter dan watak peserta didik agar dimasa depan dapat menjadi orang
yang memiliki kepribadian (akhlak mulia).
Berdasarkan konsepsi tersebut, maka supaya bisa membina mentalitas dan mempengaruhi iman,
pendidikan agama tidak boleh hanya berbentuk pengajaran agama atau pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge) tentang agama semata. Pengalihan pengetahuan agama bisa menghasilkan pengetahuan dan ilmu dalam diri orang yang diajar, tetapi pengetahuan ini belum menjamin pengarahan manusia yang bersangkutan untuk hidup sesuai dengan pengetahuan tersebut. Sebaliknya pengalihan pengetahuan agama seringkali hanya berbentuk pengalihan rumus-rumus doktrin (teori) dan dan kaidah-kaidah susila. Oleh karena itu, pengajaran agama menghasilkan pengetahuan hafalan yang melekat pada bibir dan hanya mewarnai kulit, tetapi tidak mampu mempengaruhi jiwa dan hati orang yang mempelajarinya.
Untuk menghindari itu, lebih lanjut J. Riberu (2001) menyarankan :
Pendidikan agama yang otentik, selain menyajikan bahan-bahan pengetahuan juga mengusahakan
pengalaman dan penghayatan nilai-nilai (reasoning of value) didalam situasi dan lingkungan hidup
sehari-hari. Dalam penghayatan, orang dibina untuk mengalami secara sadar suatu nilai
(werterlebnis). Dari pengalaman yang sadar, orang akan terajak untuk menghargai nilai yang dijumpai (wetschatzung). Karena yakin akan harga nilai tersebut, orang mulai menerima nilai bagi dirinya sendiri (wetbejaung). Dalam setiap situasi hidup orang akan mengambil sikap yang positif terhadap nilai yang telah diterimanya itu (wertenscheidung) dan mencoba mengejawantahkan nilai tersebut (werbestatigung).
Melihat fakta sosial dimana banyak konflik bernuansa agama, maka pendidikan agama harus
direvisi dari konsep indoktrinasi menjadi relevansi. Artinya, pendidikan agama harus dikembangkan
bukan hanya indoktrinasi berupa ajaran surga-neraka, baik-buruk, halal-haram, mukmin-kafir, tetapi
juga relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari sehingga akan bisa dihayati dan diamalkan. Pendidikan agama harus mengajarkan pengetahuan konseptual menjadi pengetahuan yang fungsional-konseptual. Artinya, pengetahuan yang membantu orang untuk menanggapi, menilai dan menentukan sikap dalam hidup. Oleh karena itu, pengajaran agama sebagai satu bagian dari pendidikan agama sebaiknya bertitik tolak dari dan dikaitkan dengan situasi hidup konkret sehari-hari, seperti bagaimana berpikir dan bertindak untuk diri sendiri maupun orang lain, berhubungan dengan orang lain, bermasyarakat, toleransi, hidup dalam masyarakat plural, dan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, maka metode pengajaran pendidikan agama yang inklusif, hendaknya hubungan
guru dan peserta didik bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, demikian juga peserta didik bukan sebagai obyek pengajaran. Namun guru dan peserta didik sama-sama sebagai subyek belajar sehingga suasana belajar di kelas akan dinamis dan hidup. Jadi, pengajaran pendidikan agama tidak hanya dipahami hanya sebagai transfer pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi juga penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dimana ajaran agama pada gilirannya mencapai relevansinya dengan alam nyata, bukan hanya alam akhirat (ghaib).
0 komentar:
Post a Comment