-->

MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI INTEGRATIF-INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi sebenarnya
bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis. Sejalan dengan pandangan
progresivisme, sekolah adalah agen perubahan sosial yang bertugas mengenalkan
nilai-nilai baru kepada masyarakat (Pol, M., Hlouskova dkk, 2005).
Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah : (1) pembentukan
pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2)
pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan keterampilan
dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi. Sedangkan manfaat
jangka panjangnya adalah menyumbang pada keberlangsungan sistem integrasi
nasional dan program antikorupsi serta mencegah tumbuhnya mental korupsi pada
diri peserta didik yang kelak akan menjalankan amanah di dalam sendi-sendi
kehidupan.

Pendidikan antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program
pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional memungkinkan disisipkan pada
mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk perluasan tema yang sudah
ada dalam kurikulum dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada
pembelajaran antikorupsi. Pilihan ini digunakan oleh karena pertimbangan agar tidak
menambah beban kurikulum dan jam belajar siswa. Pada aspek lain, pendidikan
antikorupsi dapat juga diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran untuk
kegiatan ekstra kurikuler siswa ataupun muatan lokal (institusional).
Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ada dua model yang
dapat dilakukan oleh sekolah. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan
kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan
perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada
penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh
dalam keterlibatan peran sosialnya. Pendidikan antikorupsi secara umum dikatakan
sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir
dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Dharma, 2004). Dengan demikian,
pendidikan antikorupsi membimbing peserta didik untuk berfikir terhadap nilai-nilai
antikorupsi dalam kerangka koreksi terhadap budaya yang cenderung merusak nilai-
nilai tersebut.

Dalam pendidikan antikorupsi harus mengintegrasikan tiga domain, yakni
domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan keterampilan
(psikomotorik). Implementasi pendidikan antikorupsi di jenjang sekolah bisa
menggunakan strategi integratif-inklusif (disisipkan dalam mata pelajaran yang
sudah ada) dan eksklusif (mata pelajaran khusus / tersendiri). Dalam artikel ini
mencoba membahas model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif, yaitu
dengan alternatif materi antikorupsi yang terintegrasi dalam mata pelajaran agama
Islam. Disamping dapat pula disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ketiga mata pelajaran
itu dipilih karena dianggap dekat sekali dengan bahan kajian pendidikan antikorupsi
yang lebih banyak berorientasi pada pembinaan warga negara, penanaman nilai dan
moral, serta upaya menumbuhkan kesadaran bagi generasi muda akan bahaya
korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dalam KTSP pada kelas II SMP dan MTs semester 2 yang
memuat Kompetensi Dasar (KD) yang secara eksplisit tesurat tentang pendidikan
antikorupsi. Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn Kelas II SMP/MTs
Semester II. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar antara lain: Menampilkan
ketaatan terhadap perundang-undangan nasional dengan indikator:
(1) Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
(2) Mendeskripsikan pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan)
antikorupsi di Indonesia.

Dengan demikian kurikulum tentang antikorupsi hanya pada mata pelajaran PKn
saja yang secara eksplisit atau tersurat mencantumkan tentang pendidikan
antikorupsi di dalam Kompetensi Dasar (KD). Namun demikian kompetensi dasar
yang ada di kelas II semester gasal tersebut cakupan domain hanya menekankan atau
menitik beratkan pada aspek kognitif semata. Sehingga jika ingin dikembangkan
pada aspek afektif dan psikomotorik sangat diperlukan kreativitas guru. Dengan
demikian, pengembangan model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif juga
perlu disisipkan dalam pendidikan agama Islam. Mengingat pendidikan agama Islam
juga memuat materi-materi terkait dengan norma-norma hukum-kemasyarakatan
(sosial) maupun individu.

Model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif dalam pendidikan agama
Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai pendekatan dalam pembelajaran.
Hal tersebut akan tampak dalam desain atau Rencana Pembelajaran setiap mata
pelajaran terpilih (pendidikan agama Islam). Sebagai sebuah pendekatan (approach)
pembelajaran maka implementasi pendidikan antikorupsi akan sangat tergantung
dari kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
Oleh karena itu, implementasi pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam
pendidikan agama Islam di sekolah agar efektif dalam mengembangkan pendidikan
antikorupsi perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Materi; yakni materi pembelajaran antikorupsi perlu mencakup tiga domain:
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2. Metodologi; pendidik dapat menggunakan berbagai metode dan model
pengajaran yang sesuai dengan permasalahan dan kematangan peserta didik.
Seperti penggunaan multimedia untuk membuat pembelajaran semakin menarik.
3. Sumber belajar; perlunya penggunaan berbagai sumber pembelajaran. Seperti
media cetak maupun elektronik (koran, majalah, CD, internet). Atau dengan
narasumber semisal penegak hukum (polisi, hakim, jaksa, KPK).
4. Evaluasi; pendidik dapat mempergunakan bentuk evaluasi autentik yang tidak
hanya mengukur aspek verbal dan kognitif peserta didik. Namun juga mengukur
karakter, keterampilan, kewaspadaan dan cara berfikirnya dalam mengatasi
masalah dan memberikan problem solving.

Kesemuanya itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran, sehingga peserta didik pada tujuannya mampu melakukan hubungan
yang bermakna. Peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar
secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat
bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, melakukan kegiatan-kegiatan yang
signifikan, seperti mengharuskan siswa untuk membuat hubungan-hubungan antara
sekolah dengan berbagai konteks nyata, menjadi mandiri (self regulated learner),
siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan
orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau
hasilnya yang sifatnya nyata.

Selain itu juga peserta didik dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja
secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka
saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi, berpikir kritis dan kreatif; dapat
menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan
menggunakan logika dan bukti-bukti, mengasuh atau memelihara pribadi-
pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi,
memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Sehingga peserta didik mampu
menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan
yang bermakna (Johnson dalam Nurdin, dkk. 2004: 14).
Secara sistematis model pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam
pendidikan agama Islam dapat dilihat dalam tabel berikut:
1. Al-Qur’an-Hadits. Ayat-ayat / Hadits yang berkaitan dengan delik
pengkhianatan, penggelapan keuangan negara.
2. Aqidah. Integrasi keimanan terhadap aspek kepemilikan harta.
3. Akhlak. Korupsi dan HAM, korupsi dan masyarakat, akhlak kewajiban warga
negara.
4. Fiqih. Hukum (Islam) dalam perampasan harta non-fisik.
5. Tarikh / Sejarah. Delik asumsi dan praktik korupsi pada zaman Nabi, sahabat
/khalifah.

Adapun domain Model Pendidikan Antikorupsi pada Kurikulum Pendidikan
Agama Islam meliputi:
1. Kognitif: Pemberian wawasan pengetahuan tentang hakikat korupsi.
2. Afektif: Pembentukan karakter antikorupsi.
3. Psikomotorik: Perilaku antikorupsi.

Metode pembelajaran Mode Pendidikan Antikorupsi pada Kurikulum
Pendidikan agama Islam adalah:
a) Ceramah dan penugasan;
b) Melibatkan peserta didik secara aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran;
c) Pemberian keteladanan;
d) Penelaahan berbagai modus operandi korupsi;
e) Studi kasus atau lapangan dan pemecahan masalah;
f) Pelatihan kejujuran dan kedisiplinan.

Media Pembelajarannya:
a) Audio;
b) Visual;
c) Audio-visual Rekaman /tayangan persidangan kasus korupsi.

Sumber Belajarnya:
a) Media cetak;
b) Media elektronik;
c) Narasumber dan sumber lingkungan;
d) Dokumentasi produk hukum;
e) Koran, majalah, buku, annual report, kitab, CD, Internet;
f) Polisi, Jaksa, Hakim, Ulama;
g) UU terkait kasus korupsi.

Evaluasi hasil pembelajaran melalui:
a) Tes tulis;
b) Kinerja, keterampilan;
c) Kumpulan hasil kerja (karya) siswa yang;
d) Portofolio berisi berbagai pengalaman dan pemikiran tentang problem korupsi.

Setelah menelaah konsep pendidikan antikorupsi serta tinjauan aspek kurikulum
dan perkembangannya, maka selanjutnya dicoba untuk diterapkan ke dalam
pendidikan Islam. Urgensitas dan inklusifitas pendidikan antikorupsi pada
pendidikan agama Islam jika diambil benang merahnya adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku
antikorupsi. Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Atas dasar ini, signifikansi penyelenggaraan pendidikan antikorupsi
lewat jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara
untuk membudayakan antikorupsi di Indonesia.

Selain itu juga pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-
individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat;
suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan
kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Atas yang
demikian itu, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya
untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-
anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sedangkan menurut Natsir (2005) bahwa pendidikan adalah satu pimpinan
jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti
kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Atas yang demikian itu, Pasal 3 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam artikel ini nampak jelas bahwa para pendidik, maupun pakar serta
penggiat beberapa lembaga pendidikan menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi
sangat diperlukan bagi segenap anak bangsa untuk memberikan pemahaman yang
lebih luas tentang bahaya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemberian pendidikan antikorupsi di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan
dan kematangan siswa. Kebutuhan yang dimaksud adalah pendidikan antikorupsi
hendaknya tidak menjadi bidang studi yang (subject matter) berdiri sendiri
(separated) sehingga akan menambah jumlah jam belajar siswa. Sedangkan
disesuaikan dengan tingkat kematangan adalah bobot atau tingkat kesukaran
pendidikan antikorupsi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan berfikir peserta
didik.

2. Kurikulum

Kurikulum adalah sekumpulan silabus yang tercetak atau uraian mengenai satu
demi satu mata pelajaran yang disertai pengantar bersifat umum mengenai tujuan
pendidikan secara keseluruhan, dan ikhtiar singkat mengenai tujuan masing-masing
mata pelajaran. Dengan begitu maka, kurikulum adalah salah satu komponen yang
urgensitasnya sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan. Karena kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pengajaran. Untuk itu, ketika kurikulum disusun oleh lembaga
pendidikan, seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan realitas yang ada.

Sehingga dalam penyusunannya kurikulum, perlu mempertimbangkan kebutuhan,
permintaan dan atau harapan masyarakat akan out put pendidikan. Dengan begitu,
lulusan-lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menjadi tidak teralienasi
dengan masyarakat ketika mereka berbaur dalam lingkungan yang baru.
Menurut Freire, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dihimpun dari
pengalaman yang educatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana serta susunan
yang teratur. Pengalaman educatif adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan
tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, setiap proses
belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Kurikulum yang bagus adalah tipe “core curiculum” yaitu sejumlah pengalaman
belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal,
maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan
penyempurnaan (Muis Sad Imam, 2004: 54).

Fleksibilitas sifat kurikulum dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan
untuk memperhatikan tiap peserta didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-
masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak baku dan dapat direvisi ini, maka
jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat dari pengalaman. Karenanya
untuk menuju ke integrasi problematika korupsi terhadap upaya pencegahan korupsi
melalui pendidikan diperlukan upaya yang kreatif. Karena banyak sekali hambatan
dan tantangan dalam situasi koruptif yang telah langgeng, tentu diperlukan refleksi
kritis dan penciptaan kurikulum yang bisa memproduksi manusia-manusia yang
antikorupsi. Dengan istilah lain, kurikulum pendidikan antikorupsi yang terintegrasi
dalam pendidikan agama Islam juga dikenal sebagai ”hidden curiculum”.
Setidaknya terdapat tiga butir kurikulum pokok yang harus diperhatikan dalam
mengembangkan kurikulum antikorupsi di segala tingkat. Pertama, tujuan, hakikat,
dan kebutuhan peserta didik yang secara ideal harus terhindar dari sikap koruptif.
Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat di mana peserta didik merupakan bagian
dari masyarakat yang menentang korupsi. Ketiga, masalah pokok yang ditujukan
kepada peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan
mampu menjalin hubungan dengan masyarakat.

Pendidikan Islam lebih eksplisit lagi kurikulumnya sendiri jarang sekali
diarahkan menjawab persoalan-persoalan seperti itu. Buku-buku pelajaran cenderung
yang diajarkan secara normatif, tidak diambil serta dikembangkan semangat
berpikirnya, apalagi kemudian dikorelasikan pada kontekstualisasi kekinian, seperti
kenapa terjadi budaya korupsi, nepotisme dan lain sebagainya. Sementara para
pendidik sendiri hanya mencukupkan diri dengan berpedoman kepada buku-buku
tersebut, tanpa pernah mengajarkan peserta didik bagaimana metode berpikir dan
strategi menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul.
Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan juga menjadi
barometer tingkat kemajuan bangsa yang bersangkutan, sedang umat Islam adalah
bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Masalah dan sistem pendidikan menjadi kian
penting dan strategis karena dapat dijadikan fundamen sosial guna mendorong
proses transformasi masyarakat. Secara sintetik pendidikan antikorupsi berkaitan
langsung dengan isu-isu krusial seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan, kohesi
sosial, dan demokrasi. Lagi-lagi pendidikan (Islam) memiliki andil yang cukup besar
terhadap proses kemajuan suatu bangsa.

Untuk itu kurikulum pendidikan Islam perlu mengalami “kontektualisasi
pendidikan”. Kontekstualisasi kurikulum pendidikan harus diupayakan sehingga
dapat membangun peradaban masyarakat yang kritis, yang lebih adil, lebih
manusiawi, sense of crisis, sense of responsibility, misalnya pada persoalan-
persoalan kemanusiaan, lingkungan, pembelaan pada nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, hak azasi manusia, dan sebagainya. Singkatnya sistem kurikulum
pendidikan Islam pada masa kini dan mendatang harus lebih antisipatif terhadap
problematika yang sedang berkembang, korelasi antara ideal dan kenyataan lebih
signifikan.
Dengan berbagai pembenahan kurikulum tersebut, diharapkan pendidikan
mampu mengalami perubahan yang signifikan. Memang, seharusnya kurikulum
yang ideal harus berasal dari masyarakat. Berbagai pendekatan diperlukan guna
membantu penyusunan kurikulum yang komprehensif.

3. Metode Pengajaran

Metode pengajaran adalah salah satu penentu keberhasilan dalam dunia
pendidikan. Metode pengajaran yang ada saat ini masih bersifat monoton dan
cenderung tekstual, dengan hanya mengacu pada pedoman buku teks sebagai bahan
ajar. Seperti model pengajaran yang dominasinya pada ‘hafalan’ juga harus dibatasi,
harus diganti dengan cara mengembangkan kemampuan berpikir para siswa,
membangun komunikasi yang dialogis. Metode ’hafalan’ adalah metode di mana
peserta didik menghafal teks atau kalimat tertentu dari buku pelajaran yang
dipelajarinya.
Selain itu, contoh-contoh yang digunakan dalam pengajaran seorang pendidik
harus dengan cara menghadirkan persoalan-persoalan kontemporer ke dalam materi
pelajaran, wawasan dan cakrawala. Sehingga pemikiran siswa semakin luas, sikap
kritisnya tumbuh dan daya kreatifnya berkembang. Oleh sebab itu, metode yang
dapat dikembangkan dalam materi pendidikan antikorupsi dalam pendidikan agama
Islam diantaranya adalah Metode Dialog. Metode dialog adalah metode yang
berdasarkan pada dialog atau dengan kata lain perbincangan dengan tanya jawab
untuk sampai kepada fakta yang tidak dapat diragukan lagi, dikritik atau dibantah
(Langgulung [terj.], 1979: 565).

Mata ajaran yang terpaku pada model konvensional, yaitu lebih menekankan
pada metode ceramah (verbalistik), layaknya cenderung monolog dan doktrinatif.
Sehingga praksisnya, sense of religion (keinsyafan beragama) tidak dirasakan oleh
para peserta didik, mesti dikembangkan dalam bentuk keakraban wacana melalui
proses perenungan yang dalam dan proses dialogis yang produktif, kritis dan analitis.
Metode dialog merupakan pengembangan dari metode ceramah yang didominasi
oleh pola komunikasi satu arah, yakni dari guru kepada murid. Sehingga diperlukan
pengajaran yang partisipatoris-kontekstual, sehingga memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk berkreasi dan berkreativitas. Kebebasan merupakan ekspresi
pengalaman, perasaan, sikap dan keterampilan yang menekankan pada daya pikir
kritis, tanggap dan kreatif dalam menghadapi sesuatu, tanpa ikatan atau dogma
tertentu yang berpusat pada konteks realitas.

Kreativitas merupakan proses mental dan kemampuan tertentu untuk mencipta.
Kreativitas juga merupakan pola interaktif antara individu dengan lingkungannya.
Seseorang yang kreatif dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengatasi masalah
(problem sensitivity), mampu mencipta ide alternatif untuk memecahkan masalah
(idea fluency), mampu memindahkan ide dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain
(idea flexibility). Hal ini bisa terwujud jika metode dialog (komunikasi dua arah)
dalam proses belajar mengajar dijalankan. Dengan metode pengajaran partisipatoris
maka dapat membuka peluang peserta didik untuk bebas berpikir kritis dan kreatif
dalam mengembangkan kemampuan (Assegaf, 2004: 138-139).

Sehingga dengan sistem dialog dan tidak dialog tersebut, bisa terlihat pola
komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu, untuk menghasilkan
pembelajaran antikorupsi yang optimal baik pendidik maupun peserta didik harus
bersama-sama menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, pendidik merasa
bebas dan peserta didik merasa merdeka dari himpitan untuk menyuarakan kata hati,
perasaan dan pendapatnya tentang persepsi korupsi. Hal seperti ini yang perlu
diterapkan dalam proses pengajaran antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan
Islam seperti pesantren, madrasah, perguruan-perguruan tinggi Islam maupun
lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan lembaga / yayasan / ormas
Islam. Sehingga para peserta didik menjadi lebih kritis dan kreatif dalam
menghadapi permasalahan dan tantangan dunia global yang telah merambah ke
semua sektor kehidupan.

Di samping menggunakan Metode Dialog atau Metode Partisipasi, pembelajaran
Pendidikan Antikorupsi pada kurikulum PAI juga dapat menggunakan Metode
Kelompok Diskusi. Sebagai makhluk sosial, peserta didik sejak kecil secara natural
bermain dalam situasi berpasangan atau berkelompok. Perilaku ini dapat dilakukan
dalam pengorganisasian belajar pada materi antikorupsi. Dalam membahas
permasalahan korupsi serta mencari solusinya peserta didik dapat bekerja
berpasangan atau kelompok, baik dengan cara diskusi, demonstrasi, dan sebagainya.

Dengan metode ini, belajar menjadi lebih berarti karena dengan adanya interaksi
antara peserta didik dan lingkungan. Sehingga secara konseptual, pendidikan
antikorupsi tidak diartikulasikan sebagai sekedar membaca buku atau berita tentang
korupsi, tetapi juga transformasi hubungan antara peserta didik, pendidik, sekolah
dan masyarakat. Karena peserta didik akan lebih berarti bila ia tidak hanya sekedar
belajar, ia harus bisa mengetahui dan mengamatinya sehingga ia memiliki semangat
untuk mengubah realitas. Peserta didik harus banyak “membaca” dengan sungguh-
sungguh realitas yang ada di sekitarnya. Karena lingkungan (fisik-sosial-budaya)
merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik.
Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat peserta didik
merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu
harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk
menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan
sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat,
merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat tulisan, dan
membuat gambar/diagram.

Peserta didik harus dapat mengerti secara sungguh-sungguh terhadap keberadaan
orang lain dengan situasi dan problematika di sekitarnya. Dengan dihadapkan pada
realitas sosial peserta didik dapat mengembangkan nilai-nilai sosial kemanusiaan.
Sehingga mereka menyadari bahwa dalam dunia nyata ada dikotomi – bahkan
kontradiksi – antara teori dan realitas. Dengan demikian, mereka menyadari bahwa
eksistensi manusia merupakan bagian dari pengemban amanah dalam melakukan
perubahan, sehingga mereka mampu berpikir kritis.
Dengan demikian metode diskusi menekankan aspek komunikasi inter-personal
yang bersifat akademis dengan mata pelajaran yang sifatnya praktis, yang diterapkan
dalam kehidupan. Sekolah berfungsi mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang
efektif terhadap lingkungan yang transformatif, dan transformasi kehidupan harus
senantiasa dipandang secara antisipatif dari terjadinya transformasi negatif.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment