Nilai-Nilai Yajña dalam Cerita Rāmāyana BAG 3 [END]
Dari beberapa kutipan sloka tersebut dapat dipetik nilai Pañca Yajña yang terkandung dalam cerita Rāmāyana
1. Dewa Yajña
Dewa Yajña adalah Yajña yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita Rāmāyana banyak terurai hakikat Dewa Yajña dalam perjalanan kisahnya. Seperti pelaksanaan Homa Yajña yang dilaksanakan oleh Prabu Daśaratha. Homa Yajña atau Agni Hotra sesuai dengan asal katanya Agni berarti api dan Hotra berarti penyucian. Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara Dewa Agni. Jika Istadevatanya bukan Dewa Agni, sesuai dengan tujuan yajamana, maka upacara ini dinamai Homa Yajña. Istilah lainnya adalah Havana dan Huta. Mengingat para Deva diyakini sebagai penghuni svahloka, maka sudah selayaknya Yajña yang dilakukan umat manusia melibatkan sirkulasi langit dan bumi.Untuk itu, kehadiran api sangat diperlukan karena hanya api yang mampu membakar bahan persembahan dan menghantarnya menuju langit. Selain itu, persembahan ke dalam api suci mendapat penguat religius mengingat api sebagai lidah Tuhan dalam proses persembahan. Pada bagian yang lain dari cerita Rāmāyana juga disebutkan bagaimana Śrī Rāmā dan Lakṣmaṇa ditugaskan oleh Raja Daśaratha untuk mengamankan pelaksanaan Homa yang dilakukan oleh para pertapa dibawah pimpinan MahaṚsī Visvamitra. Dari kisah tersebut, tampak jelas keampuhan upacara Homa Yajña. Dari beberapa uraian singkat cerita Rāmāyana tersebut tampak jelas bahwa sujud bakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu keharusan bagi makhluk hidup terlebih lagi umat manusia. Keagungan Yajña dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting adalah kesucian dan ketulusikhlasan dari orang-orang yang terlibat melakukan Yajña.
2. Pitra Yajña
Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra bersīnonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Sebagai umat manusia yang beradab, hendaknya selalu berbakti kepada orang tua, karena menurut agama Hindu hal ini adalah salah satu bentuk Yajña yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila berani dan tidak bisa menunjukkan rasa bhaktinya kepada orang tua sebagai pitra.Seperti apa yang diuraikan dalam kisah kepahlawanan Rāmāyana, dimana Śrī Rāmā sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan, kepintaran dan kegagahannya tetap menunjukkan rasa bakti yang tinggi terhadap orang tuanya. Seperti yang tertuang pada Kekawin Rāmāyana Trĕyas Sarggah bait 9 sebagai berikut:
Dari kutipan lontar tersebut tampak jelas nilai Pitra Yajña yang termuat dalam epos Rāmāyana. Demi memenuhi janji orang tuanya (Raja Daśaratha), Śrī Rāmā, Lakṣmaṇa dan Dewi Sītā mau menerima perintah dari sang Raja Daśaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaanya sebagai raja di Ayodhyā. Walaupun itu bukan merupakan keinginan Raja Daśaratha dan hanya sebagai bentuk janji seorang raja terhadap istrinya Dewi Kaikeyī. Śrī Rāmā secara tulus dan ikhlas menjalankan perintah orang tuanya tersebut. Bersama istri dan adiknya Lakṣmaṇa hidup mengembara di hutan selama bertahun-tahun. Dari kisah ini tentu dapat dipetik suatu hakikat nilai yang sangat istimewa bagaimana bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Betapapun kuat, pintar dan gagahnya seorang anak hendaknya selalu mampu menunjukkan sujud baktinya kepada orang tua atas jasanya telah memelihara dan menghidupi anak tersebut.
3. Manusa Yajña
Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yajña atau Nara Yajña itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring Kraman) dan melayani tamu dalam upacara (athiti puja). Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña tergolong Sarira Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa Yajña di Bali dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau upacara perkawinan.43Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti |
Pada cerita Rāmāyana juga tampak jelas bagaimana nilai Manusa Yajña yang termuat di dalam uraian kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada kisah yang meceritakan Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā. Hal ini juga tertuang dalam Kekawin Rāmāyana Dwitīyas Sarggah bait 63, yang isinya sebagai berikut:
Dari kutipan sloka ini terkandung nilai Manusa Yajña yang tertuang di dalam epos Rāmāyana tersebut. Upacara Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā merupakan suatu nilai Yajña yang terkandung di dalamnya. Selayaknya suatu pernikahan suci, upacara ini dilaksanakan dengan Yajña yang lengkap dipimpin oleh seorang purohita raja dan disaksikan oleh para Dewa, kerabat kerajaan beserta para Mahaṛsī.
4. Ṛsī Yajña
Ṛsī Yajña itu adalah menghormati dan memuja Ṛsī atau pendeta. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Ṛsī Yajña ngaranya kapujan ring pandeta sang wruh ring kalingganing dadi wang, artinya Ṛsī Yajña adalah berbakti pada pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Ṛsī Yajña. Pada kisah Rāmāyana, nilai-nilai Ṛsī Yajña dapat dijumpai pada beberapa bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para Ṛsī sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian. Misalnya pada Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah bait 30, sebagai berikut:Mahaṛsī sebagai seorang rohaniawan senantiasa memberikan wejangan suci dan ilmu pengetahuan keagamaan untuk menuntun umatnya tentang ajaran ketuhanan. Keberadaan beliau tentu sangat penting dalam kehidupan umat beragama. Sudah sepatutnya sebagai umat beragama senantiasa sujud bakti kepada para Mahaṛsī atau pendeta sabagai salah satu bentuk Yajña yang utama dalam ajaran agama Hindu. Dalam epos Rāmāyana banyak sekali dapat ditemukan nilai-nilai Ṛsī Yajña yang termuat dalam kisahnya. Oleh karena itu banyak sekali hakikat Yajña yang dapat dipetik untuk dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.
5. Bhuta Yajña
Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Butha Yajña pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan butha kala menjadi butha hita. Butha hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan (Sarwaprani). Upacara Butha Yajña yang lebih cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan membantu umat manusia. Pengertian Bhuta Yajña dalam bentuk upacara amat banyak macamnya. Kesemuanya itu lebih cenderung sebagai upacara nyomia atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif manjadi positif. Sedang arti sebenarnya Bhuta Yajña adalah memelihara kesejahteraan dan keseimbangan alam. Pelaksanaan upacara dewa Yajña selalu di barengi dengan Bhuta Yajña, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan alam semesta beserta isinya. Nilai-nilai Bhuta Yajña juga nampak jelas pada uraian kisah epos Rāmāyana, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Homa Yajña sebagai Yajña yang utama juga diiringi dengan ritual Bhuta Yajña untuk menetralisir kekuatan negatif sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera. Hal ini dikuatkan dengan apa yang tertuang pada Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah sloka 25 yang isinya sebagai berikut:Pada setiap pelaksanaan upacara Yajña, kekuatan suci harus datang dari segala arah. Oleh sebab itu, segala macam bentuk unsur negatif harus dinetralisir untuk dapat menjaga keseimbangan alam semesta. Bhuta Yajña sebagai bagian dari Yajña merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan ini, sehingga tidak salah pada setiap pelaksanaan upacara dewa Yajña akan selalu dibarengi dengan upacara Bhuta Yajña.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment