Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau
Kerajaan Islam yang ada di
Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515 ) antara
lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak
pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan
Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi
kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke
daerah-daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera
Pasai dan Malaka. Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga
Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan
dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga
kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa
pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa
pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak
pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk
kekuasaan Kerajaan Malaka. Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan,
bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan
seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri
menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.
Siak
menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr
Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu.
Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yang
bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang
menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil,
sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan.
Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak VOC Belanda
menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan,
yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan
politik dan ekonomi–perdagangan VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676
berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.
Demikian
pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga
terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil
pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai
Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil
kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah
(1723-1748), dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya
sambil melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC,
bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750, Sultan Abdul
Jalil Rahmad Syah memindahkan ibu kota kerajaan dari Buantan ke Mempura
yang terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya
menjadi Sungai Siak dan kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai
Siak, sering mengganggu lalu lintas kapalkapal Kerajaan Siak Sri
Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada
1760 menyerang benteng VOC.
Kerajaan
Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa
bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai
seorang Sultan yang jujur. Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil
melepaskan diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali.
Sultan Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811
dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di
bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami
kemunduran sehingga banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan,
Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya perjanjian
dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan Siak
tidak boleh mengadakan ikatanikatan atau perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara lain kecuali dengan Belanda. Dengan demikian, Kerajaan
Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak
dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah
Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar
tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang
kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I
mengirimkan pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan
Portugis, dan berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah
dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah pembesar-
pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan
utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I
yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan
tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja
Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua.
Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela
Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan.
Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibu
kota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti
Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut
tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya
perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia
Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah
Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah
Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan
kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.
Pada
1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke
Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan
Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta
berperang dengan Raja Haji di
Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini
sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27
September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang
berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah
Hindia Belanda.
0 komentar:
Post a Comment