Prinsip-prinsip pengelolaan agroforestri
Sistem agroforestri merupakan kombinasi antara aneka jenis pepohonan dengan tanaman semusim dengan/tanpa ternak atau hewan. Sistem agroforestri telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh para petani di berbagai daerah dengan aneka macam kondisi iklim dan jenis tanah serta berbagai sistem pengelolaan. Pengelolaan sistem agroforestri meliputi pengolahan tanah, pemupukan, penyiangan, pemangkasan, dan pemberantasan hama/penyakit, seringkali berbeda-beda antar lokasi dan bahkan antar petani. Sistem pengelolaan yang berbeda-beda itu dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi biofisik (tanah dan iklim), perbedaan ketersediaan modal dan tenaga kerja, serta perbedaan latar belakang sosial-budaya. Oleh karena itu produksi yang dihasilkan dari sistem agroforestri juga bermacam-macam, misalnya buah- buahan, kayu bangunan, kayu bakar, getah, pakan, sayur-sayuran, umbi- umbian, dan bijibijian.
Mengingat keberagaman itu, maka dalam menentukan rumusan pengelolaan sistem agroforestri, harus berpegang pada prinsip-prinsip atau dasar-dasar yang dapat mendorong tercapainya produktivitas, keberlanjutan dan penyebarluasan sistem agroforestri di berbagai tempat dan kondisi yang berbeda. Beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam menentukan rumusan pengelolaan itu adalah:
1) Pengelolaan agroforestri secara umum harus bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan keunggulan-keunggulan sistem agroforestri, serta mengurangi atau meniadakan kelemahankelemahannya, sehingga dapat mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan petani.
2) Agar keunggulannya terwujud dan kelemahannya teratasi, diperlukan rumusan pengelolaan agroforestri yang berbeda (spesifik) untuk kondisi lahan dan masyarakat yang berbeda. Jadi tidak mungkin dan tidak boleh ada satu rumusan pengelolaan agroforestri yang berlaku untuk semua keadaan lahan dan masyarakat yang berbeda-beda. Namun demikian, perbedaan kondisi lahan dan kondisi masyarakat perlu dikategorikan dan diklasifikasikan secara tepat dan akurat, agar ragam rumusan manajemennya tidak juga terlalu banyak, sehingga sulit pembinaannya.
3) Rumusan pengelolaan agroforestri adalah beragam (lebih dari satu pilihan), tetapi tetap memenuhi kriteria: campuran jenis tanaman tahunan/pohon-pohonan (kehutanan) dan tanaman setahun/pangan/pakan ternak (pertanian), lebih dari satu strata tajuk, mempunyai produktivitas yang cukup tinggi dan memberi pendapatan yang berarti bagi petani, terjaga kelestarian fungsi ekosistemnya, dapat diadopsi dan dilaksanakan oleh masyarakat, khususnya oleh petani yang terlibat.
4) Unit terkecil manajemen agroforestri adalah rumah tangga, yakni pada tingkat pengambilan keputusan terendah. Namun, agroforestri dapat saja dipraktekkan oleh pengusaha dalam skala unit yang relatif besar. Perubahan paradigma pengelolaan kehutanan seiring dengan perubahan kondisi sosial politik di Indonesia yaitu dari pengelolaan hutan berbasis pohon menjadi berbasis masyarakat, justru memberikan dukungan yang kondusif untuk pengembangan agroforestri pada skala yang relatif besar. Petani yang masih saja lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pangan, dapat ditawari untuk mengkombinasikan tanaman semusim dengan pepohonan.
5) Mengingat bahwa pengelolaan yang dibiarkan pada masing-masing unit terkecil akan cenderung menjadikan agroforestri kurang viable dan menjadikan petani subsisten, maka perlu dikembangkan "jaringan kerjasama" antara petani agroforestri. Bentuk "jaringan kerjasama" itu dapat berupa kelompok tani, paguyuban, federasi atau koperasi. Beberapa kegiatan yang dikerjakan dan atau diatur secara bersamasama akan lebih produktif dan efisien, contohnya sebagai berikut:
a) Pengelolaan produksi, misalnya penyediaan bibit tanaman berkualitas, pekerjaan pemangkasan/prunning, pemanenan kayu dan buah-buahan, serta penanganan dan pengolahan pasca panen.
b) Pengelolaan pemasaran, misalnya pengaturan panen dan pemasaran sehingga memenuhi kriteria pemasaran yang baik dan efisien (volume dan harga tertinggi), yakni memenuhi kuantitas, kualitas dan pengiriman yang sesuai dengan permintaan pasar, pengaturan alat angkutan yang murah dan lancar, serta pemilahan ukuran dan kualitas.
c) Pengelolaan keuangan, misalnya tabungan dan simpan-pinjam antar petani atau dengan pihak perbankan. Agroforestri memerlukan waktu usaha yang relatif panjang dan menghasilkan beragam produk. Hal ini menuntut administrasi keuangan yang teratur, sementara kemampuan setiap petani umumnya sangat rendah dan beragam.
6) Berdasarkan perhitungan kemampuan biaya dan pengorbanan untuk pengelolaan per keluarga petani, unit pengelolaan agroforestri terkecil (per rumah tangga) diperkirakan 7-8 kali dari pertanian pangan monokultur (misalnya padi). Untuk kasus pedesaan di Kabupaten Bogor diperkirakan luas unit manajemen agroforestri per rumah tangga yang optimum adalah kira-kira 2 hektar.
7) Mengingat keperluan lahan per unit pengelolaan seperti dikemukakan butir 6, serta selaras dengan perubahan paradigma menuju pengelolaan hutan secara partisipatif, maka pengembangan pengelolaan agroforestri, di samping pada lahan milik masyarakat, dapat juga dilaksanakan pada kawasan hutan baik itu melalui konsep kehutanan masyarakat, pengelolaan hutan bersama/berbasis masyarakat (PHBM) dan sebagainya.
0 komentar:
Post a Comment