-->

Pengkombinasian menurut dimensi waktu

Pengkombinasian secara tata waktu dimaksudkan sebagai durasi interaksi antara komponen kehutanan dengan pertanian dan atau peternakan.
Kombinasi tersebut tidak selalu nampak di lapangan, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan sebagai agroforestri. 

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, antara lain:
a) Kebun rotan pada masyarakat Dayak di Kalimantan yang dikategorikan sebagai agrisilvikultur.  Bagi yang tidak memahami sistem pola perladangan akan sulit mengkategorikannya sebagai agroforestri.  Padahal, masa bercocok tanam padi hanya berkisar 1-3 tahun, sedangkan
masa budidaya rotannya (dari penanaman hingga tidak produktif lagi dan diubah kembali menjadi ladang) bisa mencapai puluhan tahun.

b) Kebun hutan tradisional (misal pada sistem Lembo di Kalimantan Timur – Sardjono, 1990) dikategorikan sebagai salah satu bentuk agrosilvopastura. Meskipun pada dasarnya satwa liar hadir secara tetap, akan tetapi jenis dan populasinya bervariasi tergantung dari kondisi floristik dan pengusahaan kebun hutan itu sendiri.  Kondisi ini bahkan berlaku pada satwa yang termasuk hama, misalnya vertebrata khususnya serangga.

c) Hutan jati di Jawa pada umur di atas lima tahun, pada umumnya tidak lagi dapat dijumpai tanaman palawija sebagai tanaman sela (tumpangsari), sehingga murni sebagai ekosistem hutan tanaman.

Dengan demikian, jangka waktu dan proses kesinambungan penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agroforestri. Pemahaman ini seringkali tidak sesederhana pada budidaya tunggal (monokultur).
Huxley (1977) dan Nair (1993) mengkategorikan kombinasi secara waktu menjadi 4 (empat), yaitu: (1) Co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budidaya jenis/komponen agroforestri;
(2) Concomitant, kombinasi pada awal atau akhir waktu budidaya suatu jenis/komponen agroforestri;                              
(3) Overlapping, kombinasi bergantian yang tumpang tindih antara akhir dan awal dari dua (atau lebih) jenis/komponen agroforestri;
(4) Interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu budidaya jenis/komponen agroforestri.  Ketiga kombinasi terakhir di atas masih memerlukan penjelasan lagi, apakah bersifat berkala (intermittent) atau terus menerus (continous).  Agar lebih jelas gambaran dari keseluruhan  kombinasi secara tata waktu di atas dapat dilihat pada Gambar 15.
 

Jika kombinasi komponen agroforestri secara tata waktu disederhanakan, maka secara garis besar kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi permanen (permanent combination) dan sementara (temporary combination).  Bentukbentuknya, penjelasan serta beberapa contoh yang dapat dijumpai di Indonesia disajikan sebagai berikut (von Maydell, 1987).

a) Kombinasi secara permanen (permanent combination) 

Kombinasi komponen agroforestri ini dapat terdiri dari komponen kehutanan dengan paling sedikit satu dari komponen pertanian dan peternakan. Kombinasi permanen ini dapat dijumpai dalam tiga kemungkinan, yaitu:
Kombinasi komponen kehutanan, pertanian, dan peternakan berkesinambungan selama lahan digunakan (co-incident).  Sebagai contoh, berbagai bentuk kebun pekarangan (home gardens) yang dapat dijumpai di banyak wilayah nusantara;
(1) Pemeliharaan tegakan/pohon-pohon secara permanen pada lahan-lahan pertanian sebagai sarana memperbaiki lahan, tanaman pelindung, atau penahan air.  Sebagai contoh, penanaman pohon-pohon turi (Sesbania grandifora) pada pematang-pematang sawah di Jawa, pohon pelindung pada perkebunan komersial (kopi, kakao);
(2) Pemeliharaan/penggembalaan ternak secara tetap (berjangka waktu tahunan) pada lahan-lahan hutan/bertumbuhan kayu, tanpa melihat pada umur tegakan.  Contoh–contoh dapat dijumpai pada wilayahwilayah kering/semi arid.

b) Kombinasi secara sementara (temporary combination) 

(1) Penggembalaan ternak atau kehadiran hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu hanya dilakukan pada musim-musim tertentu (continous interpolated).  Contoh kehadiran berbagai satwa hutan (terutama jenis-jenis burung) di kebun-kebun hutan dan kebun pekarangan pada saat musim buah (khususnya bulan-bulan Desember hingga Maret);
(2) Penggembalaan ternak atau kehadiran hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu pada awalnya dibatasi dengan pertimbangan keselamatan permudaan.  Akan tetapi dengan pertambahan umur tegakan, pembatasan ini semakin diperlonggar.  (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);
(3) Di Sahel (satu kawasan di Afrika), pohon Acacia albida tumbuh permanen pada lahan usaha dan pada musim hujan memberikan perlindungan dan pupuk hijau bagi tanaman gandum.  Pada musim kering menghasilkan buah sebagai makanan ternak yang juga digembalakan pada lahan tersebut. (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);
(4) Pemanfaatan secara periodik lahan-lahan pertanian untuk produksi kayu (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);
(5) Setelah persiapan lahan kawasan hutan/kebun, petani diperkenankan menggunakannya sementara untuk tanaman sela musiman dan sekaligus memelihara tanaman pokok kehutanan.  Setelah 3-5 tahun, maka usaha pertanian harus dihentikan.  Pemanfatan tumpang tindih seperti ini dijumpai luas pada sistem-sistem tumpangsari (taungya) baik di Jawa (di hutan Jati) atau di luar Jawa;
(6) Pemakaian lahan secara bergantian antara kehutanan dan peternakan. (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia).



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment