-->

Klasifikasi agroforestri berdasarkan orientasi ekonomi

Banyak pihak yang berpandangan bahwa agroforestri dikembangkan untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dan petani kecil, karena adanya lapar lahan (sebagai contoh di Jawa yang memiliki kepadatan penduduk >700 jiwa/km2) ataupun kondisi lingkungan hidup yang sulit akibat aspek geografis (keterisolasian wilayah) dan/atau aspek ekologis (wilayah-wilayah beriklim kering).  Pendapat ini tidak dapat disalahkan seratus persen, karena kenyataannya selama ini memang program-program (atau proyek-proyek) pengembangan agroforestri lebih banyak dijumpai pada negara-negara berkembang yang miskin di wilayah tropis (Afrika, Asia, dan Amerika Latin).
Dalam implementasi, agroforestri telah membuktikan merupakan sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsisten saja, melainkan
pada tingkatan semi-komersial hingga komersial sekalipun (Nair, 1989).

a) Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry) 

Sesuai dengan skalanya yang subsisten (seringkali diistilahkan ‘asal-hidup’), maka bentuk-bentuk agroforestri dalam klasifikasi ini diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.  Utamanya tentu saja berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Meskipun demikian fungsi agroforestri seperti ini juga dimaksudkan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya, tidak  terkecuali  bahan mentah (raw materials,  a.l. bahan baku usaha pertanian) dan dalam mendukung kegiatan- kegiatan ritual (upacara-upacara tradisional – contoh penanaman pohon pinang [Areca catechu] pada lahan masyarakat Dayak). Orientasi agroforestri subsisten memang menggambarkan masyarakat yang lebih mementingkan risiko kegagalan pemenuhan kebutuhan hidup yang rendah, dibandingkan memperoleh pendapatan tunai (cash income) yang tinggi.  Hal ini penting, karena miskinnya pemilik lahan dan ketiadaan pasar di suatu wilayah. Agroforestri dengan skala subsisten ini secara umum merupakan agroforestri yang tradisional, dengan beberapa ciri-ciri penting yang bisa dijumpai adalah:
(a) Lahan yang diusahakan terbatas;                    
(b) Jenis yang diusahakan beragam (polyculture) dan biasanya hanya merupakan jenis-jenis lokal non-komersial saja (indigenous dan bahkan endemic) serta ditanam/dipelihara dari permudaan alam  dalam jumlah terbatas;
(c) Pengaturan penanaman tidak beraturan (acak);                                                          
(d) Pemeliharaan/perawatan serta aspek pengelolaan lainnya tidak intensif.
Agroforestri skala ini dapat dijumpai pada wilayah-wilayah pedalaman/relatif terisolir dan di kalangan masyarakat tradisional.  Beberapa contohnya adalah: Pola perladangan tradisional (traditional shifting cultivation), kebun hutan dan kebun pekarangan tradisional (traditional forest- and homegardens) pada masyarakat adat di Kalimantan (lihat budidaya Lembo – Sardjono, 1990).

b) Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry) 

Pada wilayah-wilayah yang mulai terbuka aksesibilitasnya, terutama bila menyangkut kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki motivasi ekonomi dalam penggunaan lahan yang cukup tinggi, terjadi peningkatan kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai.  Meskipun demikian, dengan keterbatasan investasi yang dimiliki, jangkauan pemasaran produk yang belum meluas, serta ditambah dengan pola hidup yang masih subsisten, maka jaminan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetap menjadi dasar pertimbangan terpenting.  Pentingnya risiko kegagalan ini terlihat dari tetap dipertahankannya keanekaragaman jenis tanaman pada lahan usaha.
Contoh yang paling mudah dan luas dijumpai adalah pola-pola pengusahaan kebun pekarangan pada masyarakat transmigran di luar Jawa (misalnya di wilayah Kabupaten Kutai Barat – Kalimantan Timur).  Masyarakat transmigran mulai meningkatkan jenis-jenis yang dibudidayakan dan yang memiliki nilai semi-komersial (produknya dapat dimanfaatkan sendiri dan sekaligus dapat dijual), seperti kelapa (Cocos nucifera) dan kopi (Coffea spp.), daripada mempertahankan jenis-jenis yang tumbuh alami serta tidak komersial (wild species) sebagaimana dijumpai pada lahanlahan masyarakat tradisional setempat.

c) Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry) 

Pada orientasi skala komersial, kegiatan ditekankan untuk memaksimalkan produk utama, yang biasanya hanya dari satu jenis tanaman saja dalam kombinasi yang dijumpai (lihat pembahasan tentang agroforestri modern). Ciri-ciri yang dimiliki biasanya tidak jauh berbeda antar berbagai bentuk implementasi, baik dalam lingkup pertanian ataupun kehutanan, yaitu antara lain:
(1) Komposisi hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis tanaman, di mana salah satunya merupakan komoditi utama (adapun komponen lainnya berfungsi sebagai unsur pendukung);
(2) Dikembangkan pada skala yang cukup luas (investasi besar) dan menggunakan input teknologi yang memadai;
(3) Memiliki rantai usaha tingkat lanjut (penanganan pascapanen dan perdagangan) yang jelas serta tertata baik;
(4) Menuntut manajemen yang profesional.

Contoh-contohnya di sektor pertanian adalah perkebunanperkebunan tanaman keras (tree crop plantation) skala besar (misalnya perkebunan karet modern dengan pola tumpangsari palawija pada awal pembangunannya, dan perkebunan kakao serta kopi yang dikombinasikan dengan tanaman peneduh). Di sektor kehutanan, dikenal pola tumpangsari (taungya system) pada hutan jati (Tectona grandis) di Perum Perhutani di Jawa dan Nusa Tenggara Barat atau Hutan Tanaman Industri (HTI/Timber Estate Plantation; termasuk pola HTI- Masyarakat) di luar Jawa.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment