-->

Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemen

Pengklasifikasian agroforestri berdasarkan lingkup manajemen ini memang belum dilakukan secara luas. Hal ini karena dalam agroforestri, terdapat kombinasi jenis dalam satu unit manajemen (misal satu kebun).  Tetapi secara tradisional dan sesuai dengan tuntutan aspek perencanaan tata ruang wilayah di masa depan, kombinasi kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan juga berlangsung dalam satu bentang alam dari suatu agroekosistem (sistem pedesaan; lihat pemahaman agroforestri tradisional di atas yang dikemukakan oleh Thamman, 1988).  Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemennya, adalah sebagai berikut:

a) Agroforestri pada tingkat tapak (skala plot)
Pengkombinasian komponen tanaman berkayu (kehutanan), dengan tanaman non-kayu (pertanian) dan/atau peternakan pada satu unit manajemen lahan ini umum dibicarakan dalam agroforestri.  Sistem ini biasanya dilakukan pada lahan-lahan milik perorangan (petani) atau milik badan hukum (perusahaan). Titik berat bentuk agroforestri ini adalah optimalisasi kombinasi melalui simulasi dan manipulasi jenis tanaman/hewan, dan seringkali pada skala lahan yang relatif terbatas (misalnya pada kebun pekarangan transmigrasi dengan luas rata-rata 0,25 hektar).  Pemahaman akan karakter jenis, dan responnya dalam kombinasi, merupakan kunci keberhasilan agroforestri pada tingkatan ini.

b) Agroforestri pada tingkat bentang lahan
Pada suatu bentang lahan pedesaan di beberapa wilayah di Indonesia, dapat ditemukan tata guna lahan yang bervariasi antar tapak.  Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat pedesaan, alokasi lahan dimusyawarahkan sebaik- baiknya berdasarkan kebutuhan bersama serta kesesuaian terhadap kondisi/karakterisitik tapak berdasarkan pengalaman tradisional. Sebagai contoh, pada masyarakat Dayak Kenyah di Batu Majang (Kalimantan Timur), selain areal yang digunakan sebagai pemukiman (yang akan berkembang kebun pekarangan) terdapat juga kawasan desa yang dipertahankan sebagai hutan lindung (istilah setempat adalah Tana’ Ulen).  Hutan lindung ini berfungsi sebagai pengatur tata air dan menyediakan bahan baku kayu secara terbatas (untuk keperluan komunal). 

Di samping Tana’ Ulen, terdapat pula lokasi yang diperuntukkan bagi kegiatan berladang.  Beberapa lahan pertanian pada masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung dialokasikan bagi pengembangan perkebunan karet (Hevea brasiliensis). Sehingga dalam skala bentang lahan, terdapat mosaik agroforestri (Sardjono, 1990).  Interaksi antar sistem penggunaan lahan atau kegiatan produksi tersebut terjadi atas dasar pertimbangan kebutuhan komunal dan karakter lingkungan yang dikenal baik oleh  masyarakat.
Agroforestri pada tingkat bentang lahan dewasa ini dalam lingkup kehutanan masyarakat (community forestry) seringkali disebut dengan istilah ‘Sistem Hutan Kerakyatan’ (SHK/community based forest system management). Meskipun penekanan SHK pada wilayah-wilayah masyarakat adat/tradisional (Mushi, 1998), tetapi mengingat subelemennya antara lain ladang, kebun, sawah, pekarangan, tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai satu kesatuan yang integral dalam upaya komunal dari satu komunitas atau lebih, sistem ini bisa dikatakan sebagai suatu agroforestri.
Karena ada interaksi dalam suatu bentang lahan di atas, maka agroforestri lebih dari sekedar pengkombinasian dua atau lebih elemen pemanfaatan lahan. Agroforestri juga bisa dilihat sebagai suatu ‘jembatan politis’ untuk mengakomodir kepentingan berbagai sektor terutama kehutanan dan pertanian (von Maydell, 1978).  Dengan demikian, agroforestri dapat mengubah dari situasi yang dissosiatif menjadi yang bersifat assosiatif (kooperasi, kolaborasi, ataupun koordinasi).



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment