ASPEK SOSIAL EKONOMI AGROFORESTRI bag 4
4) Kemudahan untuk diterima (Acceptibility)
Sistem agroforestri dapat dengan mudah diterima dan dikembangkan kalau manfaat sistem agroforestri itu lebih besar daripada kalau menerapkan sistem lain. Aspek ini mencakup atas perhitungan risiko, fleksibilitas terhadap peran gender, kesesuaian dengan budaya setempat, keselerasan dengan usaha yang lain, dsb.a) Risiko usaha
Rumah tangga petani dengan lahan sempit sangat mementingkan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu, sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Jaminan keamanan termasuk meminimalkan risiko produksi atau kerugian sebagai akibat keragaman proses ekologis, ekonomis, atau sosial. Keragaman ini meliputi fluktuasi ‘kecil’, misalnya perubahan cuaca, serangan hama, perubahan permintaan pasar, taksiran sumber daya, ketersediaan tenaga kerja; atau gangguan ‘besar’, yang disebabkan stress (misalnya kemiskinan unsur hara, erosi, salinitas, keracunan, utang) atau shock (misalnya kekeringan, banjir, munculnya serangan hama atau penyakit baru, kenaikan harga input yang tajam atau merosotnya harga produk). Ilmuwan seringkali mengungkapkan tingkat keamanan dalam variabilitas produksi, yang didasarkan pada risiko statistik (misalnya kekeringan). Namun petani mungkin menilai keamanan sistem usaha tani mereka menurut keamanan pangan, atau menurut tingkat ketergantungan dalam mendapatkan input, atau dalam pemasaran hasil (Conway, 1987 dalam Reijntjes et al., 1992).Bagi petani dengan lahan sempit, keamanan produksi bahan subsisten atau pendapatan adalah hal penting, mengingat keberlanjutan hidup mereka tergantung padanya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan akses yang aman pada sumber daya seperti lahan, air, dan pepohonan. Pencarian keamanan mempengaruhi pilihan teknik dan strategi
Misalnya pada daerah kering, strategi terbaik untuk bertahan hidup adalah menerapkan sistem pertanian yang memiliki ketahanan tinggi terhadap kekeringan, meskipun mungkin memiliki potensi produksi yang rendah. Mengamankan hakhak terhadap akses sumber daya dan menghilangkan risiko (misalnya asuransi tanaman, dsb) memungkinkan petani
memanfaatkan sumber daya dan teknik yang lebih produktif (Reijntjes et al., 1992).
b) Identitas sosial budaya
Pengambilan keputusan petani dalam pengusahaan agroforestri tidak selalu didasarkan kepada pertimbangan finansial atau dengan kata lain pertimbangan finansial tidak selalu menjadi aspek nomor satu dalam pengambilan keputusan tetapi ada aspek sosial budaya yang lebih dominan. Pemenuhan kebutuhan jangka panjang merupakan salah satu alasan petani menanam pohon. Produksi pohon yang dapat diambil secara kontinyu sangat cocok sebagai ‘tanaman pensiun’. Adanya tanaman pensiun ini membuat mereka lebih percaya diri, karena mereka tidak akan tergantung pada orang lain di masa tua mereka. Mengingat keterbatasan tenaga dan kekuatan fisik yang semakin menurun, mereka cenderung memilih tanaman tahunan yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif dan berat, namun memberikan penghasilan secara kontinyu.Sistem penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat untuk memihak pada budaya setempat. Sejarah dan tradisi memainkan peranan penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang berlawanan. Kemampuan untuk memperoleh kehidupan yang layak (termasuk mewariskan sesuatu kepada anak cucu) dan sesuai dengan budaya
setempat akan memberikan rasa harga diri pada individu atau keluarga. Identitas suatu keluarga petani atau komunitas dipertahankan dengan teknologi yang memungkinkan mereka menjadi mandiri dan mampu mengendalikan pengambilan keputusan atas pemanfaatan sumber daya dan produk setempat (Reijntjes et al., 1992).
c) Gender
Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya. Perbedaan gender dalam suatu masyarakat menggambarkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum, ideologi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu perbedaan gender suatu kelompok masyarakat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam suatu kelompok masyarakat posisi perempuan ditinggikan dalam segala bidang dari posisi laki-laki, sedangkan dalam suatu kelompok masyarakat lainnya posisi perempuan direndahkan dari posisi laki-laki. Dalam masyarakat yang lain lagi posisi perempuan ditinggikan dari posisi laki-laki dalam bidang-bidang tertentu dan direndahkan dalam bidang yang lainnya. Terdapat pula kelompok masyarakat yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan sama tingginya dalam segala bidang. Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya, maka perbedaan gender dalam suatu masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu.Dalam aktivitas kehutanan dan agroforestri, perbedaan peran laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari perspektif gender dari masyarakatnya. Dalam suatu kelompok masyarakat tertentu perempuan diberi peran penting dalam aktivitas dan akses pada sumber daya agroforestri, sedangkan dalam masyarakat lainnya peran perempuan dipinggirkan atau dimarginalkan. Pemahaman terhadap aspek gender ini sangat penting dalam upaya pengembangan agroforestri untuk mencapai keberhasilan fisik agroforestri maupun sosial ekonomi pengelola agroforestri.
Terdapat beberapa mitos yang menempatkan kaum perempuan tidak penting dalam aktivitas agroforestri:
- Mitos negatif
Hasil hutan adalah domain laki-laki. Berbagai bukti di pedesaan menunjukkan bahwa hasil hutan bukan sematamata domain laki-laki. Perempuan di pedesaan Jawa dan luar Jawa aktif melakukan kegiatan yang berkaitan dengan hasil hutan. Antara lain mengumpulkan kayu bakar dari hutan (di Jawa dan luar Jawa), mengangkut getah (damar di Lampung, pinus di Jawa), menohok sagu (di Irian Jaya), mengumpulkan dan memasarkan daun jati di Jawa.
Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Di pedesaan Jawa (tampaknya pedesaan Jawa Barat paling banyak ditemukan) maupun luar Jawa banyak keluarga yang dikepalai oleh perempuan, yakni keluarga-keluarga cerai atau suami meninggal. Perempuan yang menjadi kepala keluarga bertanggung jawab untuk mencari nafkah maupun mengurus tatanan keluarga. Jika suami meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama yakni bermigrasi untuk bekerja di kota (hal ini banyak dialami pada keluarga-keluarga di pedesaan sekitar hutan di Jawa), istri bertindak sebagai kepala keluarga dan memimpin keluarga sepenuhnya.
Perempuan adalah anggota masyarakat yang pasif. Pada umumnya perempuan kurang intensif terlibat dalam pengambilan keputusan, misalnya dalam rembug desa. Namun tidak berarti bahwa perempuan merupakan golongan yang pasif, karena tergantung pada konteks keputusan- keputusannya.
Perempuan kurang produktif dibandingkan laki-laki. Mitos ini muncul bersamaan dengan mitos bahwa kerja mencari nafkah bukan tugas utama perempuan, bekerja nafkah bagi perempuan hanyalah sampingan.
Konsekuensi dari mitos ini adalah standar upah kerja yang diterima perempuan pada umumnya dinilai lebih rendah per satuan waktu kerja untuk suatu pekerjaan yang relatif sama dengan laki-laki.
- Mitos positif
Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang sama dalam pengelolaan kebun. Curahan waktu kerja, pengambilan keputusan, dan akses penggunaan hasilnya cenderung lebih besar laki-laki daripada perempuan pada masyarakat di pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Barat (Suharjito dan Sarwoprasodjo, 1997; Suharjito et al., 1997).
d) Kesempatan kerja di luar lahan atau di luar sektor pertanian
Walaupun sebagian besar kebutuhan keluarga petani mungkin bisa dipenuhi dari hasil usaha taninya, petani masih memerlukan penghasilan tunai untuk memenuhi kesenjangan penghasilan usaha tani dengan kebutuhan hidupnya. Penghasilan lain dari luar (off-farm) atau di luar sektor pertanian ini (non-farm) juga memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek, yang tidak bisa menunggu sampai musim panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling mudah menghasilkan tunai adalah menjual tenaga di bidang pertanian misalnya sebagai buruh tani. Pekerjaan di luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi, tenaga kasar, tukang, karyawan swasta, pemerintah, dsb. Seringkali dijumpai petani yang merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata memiliki tingkat penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja. Mereka memiliki kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap pasar dan informasi, ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan sebagainya. Petani campuran itu ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan lebih efisien, sehingga usaha taninya lebih berkembang (Hairiah et al., 2000). Dari segi pengembangan agroforestri, pengaruh pekerjaan di luar lahan atau di luar sektor pertanian seringkali menjadi pendorong yang positif terhadap perkembangan agroforestri. Hal ini karena1) terbatasnya tenaga kerja yang masih tetap bekerja di lahan tersebut;
2) terbatasnya waktu yang tersisa untuk pengelolaan lahan, yang akhirnya mendorong petani memilih sistem yang kurang intensif. Pada sisi yang lain, tersedianya lapangan kerja lain juga seringkali mengurangi keuntungan yang didapat dari sistem agroforestri. Seringkali biaya tenaga kerja menjadi mahal pada saat puncak kebutuhan tenaga kerja. Agroforestri akan kekurangan tenaga kerja pada saat tersebut, seandainya ada tawaran pekerjaan lain yang memberikan upah lebih tinggi.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment