-->

PERSPEKTIF EKONOMI DALAM WANATANI BAG 3


b. Penilaian Manfaat  Dan Biaya Wanatani

Berbagai kajian tentang agroforestri atau wanatani memberikan gambaran bahwa bentuk   penggunaan   lahan   ini   sudah   lama   dipraktekkan   oleh   masyarakat pedesaan dalam beragam bentuk dan model (Nair, 1989, 1993; de Foresta et al., 2001). Masing-masing bentuk mempunyai ciri-ciri yang relevan dengan karakteristik lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Sebagai salah satu bentuk penggunaan lahan, wanatani juga diyakini mampu memberikan  sumbangan  terhadap  upaya  mengatasi  masalah  kerusakan lingkungan dan sekaligus sebagai salah satu pendekatan dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Bertolak dari pandangan tersebut, evaluasi ekonomi wanatani perlu dimulai dari pemahaman atas model atau bentuk wanatani yang menjadi target analisis. Pemahaman tersebut manyangkut proses dan tahapan pengembangannya, karakteristik lingkungannya, output yang dihasilkan termasuk jasa lingkungan, teknologi yang digunakan, kebutuhan modal, biaya sosial yang ditimbulkan – jika memang ada, dan juga manfaat ekologis yang seringkali tidak dengan sengaja untuk dihasilkan oleh operatornya. Sebagai contoh, budidaya repong damar di Krui, Lampung. Pemahaman sepintas tentang repong damar adalah bentuk wanatani yang menghasilkan damar, buah-buahan, kayu, dan berbagai produk non kayu lainnya. Padahal dalam prosesnya, pada 15 tahun pertama lahan yang sama berupa kebun kopi dan lada. (Budidarsono et al., 1999; de Foresta dan G. Michon, 1994a, 1994b, 1995, 1997).

Menyangkut apa yang dihasilkan oleh wanatani (output), dengan bertolak dari pandangan nilai ekonomi total, penilaian ekonomi wanatani tidak hanya terbatas pada hasil produksi yang memiliki nilai pasar (buah, getah, serat, umbi-umbian, kayu, dan produk non kayu lainnya), akan tetapi juga terhadap jasa lingkungan yang secara empiris tidak atau belum memiliki nilai finansial. Contoh jasa lingkungan  yang  perlu  diperhitungkan  dalam  penilaian  ekonomi  wanatani adalah: nilai keaneka-ragaman hayati yang mampu dikonservasi atau bahkan dikembangkan,  kemampuan  untuk  meningkatkan  dan  menjaga  kesuburan tanah,  dampak  hidrologis  dari  satu  model  wanatani  dan  lain  sebagainya. Demikian  juga  dengan  biaya.  Biaya  yang  dikeluarkan  untuk  membangun wanatani tidak hanya terbatas dalam artian jumlah uang yang dikeluarkan para operator, akan tetapi juga pengorbanan dari pihak lain dengan adanya wanatani tersebut.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana penilaian ekonomi terhadap semua itu dilakukan. Untuk output dan input yang memiliki nilai pasar, harga pasar dapat digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan ataupun yang digunakan. Harga pasar yang mana yang akan digunakan merupakan persoalan lain.

Untuk menilai jasa lingkungan terdapat beberapa metoda penilaian yang masuk dalam  cakupan  ekonomi  lingkungan.  Turner  et  al.,  (1994)  mengelompokan metoda  penilaian  lingkungan  ke  dalam  dua  ketegori  besar,  yaitu  penilaian dengan pendekatan permintaan pasar (demand curve approach), dan penilaian dengan pendekatan non-market demand. Pendekatan non-market demand pada hakekatnya  merupakan  penilaian  atas  biaya  yang  harus  dikeluarkan  sebagai akibat dari satu aktivitas atau dikeluarkannya satu kebijakan pemerintah. Pendekatan atau metoda yang termasuk dalam kategori ini adalah: pendekatan effect on production (EoP) atau metoda opportunity cost (OC) yang merupakan penilaian   atas   biaya   yang   harus   dikeluarkan   atau   kerugian   yang   harus ditanggung  oleh  satu  proses  produksi  akibat  satu  kegiatan  atau  kebijakan tertentu; pendekatan dose response (DR) yaitu penilaian terhadap dampak yang terjadi akibat diterbitkannya ketentuan baku mutu lingkungan tertentu; pendekatan prevantive expenditure, menilai kesediaan seseorang untuk menjaga kenyamanan lingkungannya; dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, repong damar merupakan bentuk penggunaan lahan yang memberikan manfaat lingkungan yang cukup besar. Bentuk penggunan lahan ini mampu mengkonservasi sebagaian besar species yang ada di hutan alam (de Foresta and Michon, 1994). Repong damar tua merupakan campuran serasi berbagai pohon yang dibangfun dan dikelola oleh petani damar. Pohon-pohon naungan dengan berbagai tingkatan menghasilkan buah-buahan dan getah (damar) yang mempunyia nilai cukup tinggi, tanaman obat-obatan dan kayu berkualitas. Inventarisasi tanaman yang dilakukan pada repong damar di Krui, pada 75 plot yang dipilih secara acak masing-masing 20 x 20 m, telah mencatat 39 species pohon (diameter 20 cm keatas) dengan rata-rata perapatan 245 pohon per hectare dan basal area 33m2 (Wijayanto, 1993). Berkenaan dengan mamamlia, Sibuea and Herdimansyah (1993) mencatat sebagaian besar spesies mamalia hutan juga ditemui di dalam repong damar (terdapat 46 species mamalia termasuk 17 species yang dilindungi. Thiolay (1993. p 341) mencatat paling tidak terdapat 92 92 species burung yang hidup di dalam repong damar.   Pendekatan demand market pada hakekatnya adalah menilai barang dan jasa lingkungan berdasarkan permintaannya. Ada dua metoda penilaian. Pertama, metoda revealed preference, yaitu penilaian atas barang dan jasa lingkungan berdasarkan permintaan nyata di pasar. Contohnya, adanya permintaan atas hasil barang yang ramah lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Travel cost method dan hedonic price method adalah contoh dari metoda ini. Kedua, penilaian dengan metoda expressed preference, yaitu penilaian barang dan jasa lingkungan berdasarkan pernyataan orang yang secara eksplisit disampaikan melalui satu survey, misalnya dalam contingent valuation method diajukan pertanyaan secara individual berapa nilai satu barang dan jasa lingkungan.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment