-->

Peran hutan terhadap fungsi hidrologi kawasan

Hutan bukan hanya kumpulan pepohonan tetapi merupakan suatu ekosistem dengan berbagai komponen dan fungsi masing-masing: vegetasi (campuran pohon dan tumbuhan yang tumbuh di bawahnya), kondisi tanah (porositas dan kecepatan infiltrasi), bentang lahan (dengan perbukitan,
lembah dan saluran), dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi hidrologi:
1) Memelihara dan mempertahankan kualitas air.
2) Mengatur jumlah air dalam kawasan.
3) Menyeimbangkan jumlah air dan sedimentasi dalam kawasan DAS.

 
Penebangan hutan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi kawasan, di antaranya:
(1) Hasil air dari DAS Dampak langsung dari penebangan pepohonan dalam jangka pendek adalah penurunan evapotranspirasi (ET), sehingga menaikkan hasil air. Hasil air (water yield) suatu DAS adalah jumlah air yang keluar dari suatu kawasan tangkapan air (DAS) melalui sungai selama satu tahun. Aliran air dalam sebuah DAS dengan beberapa komponen siklus yang penting digambarkan secara skematis dalam Gambar 3. Dalam gambar ditunjukkan komponen aliran air yang penting yang dapat mempengaruhi hasil air (Q). Hasil air ini sama dengan total hujan dikurangi dengan simpanan dan kehilangan:


Menurut Bruijnzeel (1997) peningkatan hasil air akibat penebangan hutan sebanding dengan jumlah biomas yang ditebang. Sebagai contoh, terjadi peningkatan hasil air dari suatu kawasan DAS sebesar 600 mm tahun-1 selama 3 tahun pertama setelah hutan ditebang.

(2) Volume aliran dan debit banjir
Ada dua macam perubahan volume aliran yaitu yang disebabkan oleh
(a) aliran bawah permukaan dan
(b) aliran permukaan.
Perubahan debit sungai yang disebabkan aliran bawah permukaan ditunjukkan dengan perubahan debit dasar (base flow), yang tampak jelas jika membandingkan antara debit dasar musim hujan dan musim kemarau. Perubahan volume aliran atau debit sungai yang disebabkan oleh adanya aliran permukaan yang terjadi sesaat sangat nyata pada saat atau setelah hujan. Aliran permukaan terjadi pada saat dan/atau segera setelah hujan. Perbedaan debit antara sebelum hujan dan setelah hujan disebabkan oleh adanya aliran permukaan, yang seringkali menunjukkan adanya lonjakan yang nyata atau luar biasa dan dinamakan debit banjir.
Besarnya aliran banjir (stormflow) dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran, khususnya topografi, tanah dan karakteristik hujan. Pengamatan pada DAS mikro di Guyana Perancis yang memiliki curah hujan tahunan sekitar 3.500 mm menunjukkan bahwa jumlah aliran banjir dapat berkisar antara 7,3% sampai 20,0% dari  total hujan, tergantung dari kondisi tanah. Kawasan yang memiliki muka air tanah dangkal (shallow groundwater) bahkan mencapai 34,4%.

(3) Hasil sedimen
Sumber sedimen yang keluar dari daerah aliran sungai (DAS) adalah erosi dari lahan pertanian, tanah longsor dan erosi tebing sungai. Namun tidak semua bentuk erosi itu (terutama erosi dari lahan pertanian) keluar dari DAS dalam bentuk sedimen. Ada beberapa bentuk erosi: erosi percik (splash) adalah proses di mana partikel tanah terlepas (dari agregat) akibat pukulan butir hujan yang jatuh di permukaan tanah. Partikel yang lepas ini mungkin terlempar beberapa sentimeter dari tempat asal, mudah sekali diangkut oleh aliran air di permukaan, yang dikenal sebagai erosi permukaan atau lembar (sheet erosion). Kedua bentuk erosi ini tidak menonjol pada kondisi di bawah hutan, tetapi menjadi sangat dominan ketika penutup tanah tidak ada lagi (gundul).
Permukaan tanah dan topografi yang tidak rata mengakibatkan terjadinya penggerusan oleh aliran air di permukaan yang selanjutnya berakibat terjadinya erosi alur (rill erosion) yang jika semakin lama berlangsung bisa semakin besar sehingga terjadi erosi parit (gully erosion). Sumber sedimen lain adalah longsor (landslide atau mass- wasting) yang umumnya terjadi pada tanah yang curam dengan curah hujan tinggi.

Pada kondisi DAS yang stabil dengan tanah yang permeabel di bawah vegetasi hutan umumnya hasil sedimen sangat kecil (sekitar 0,25 ton ha–1 tahun –1).

Sementara di kawasan tropis yang labil (tektonik) dan curam, hasil sedimen yang terjadi pada tahun basah bisa mencapai 40 sampai 65 ton ha–1 tahun–1.
Tidak semua material yang tererosi dari suatu plot akan masuk ke sungai sehingga menambah besarnya hasil sedimen. Sebagian partikel yang tererosi itu tertahan sementara (atau permanen) oleh adanya cekungancekungan tanah atau terendapkan di bagian bawah lereng atau dataran aluvial. Partikel yang bisa diendapkan ini pada umumnya adalah yang berasal dari erosi percik dan erosi lembar. Sebaliknya, sedimen yang berasal dari tanah longsor, erosi parit dan erosi tebing sungai umumnya langsung masuk ke dalam aliran sungai dan merupakan hasil sedimen kawasan (DAS) bersangkutan.

Ketiga peran hutan tersebut dapat terjadi karena keberadaan vegetasi, kondisi tanah dan bentang lahan yang dimiliki oleh hutan. Vegetasi hutan yang terdiri dari campuran pohon dan semak membentuk tajuk berlapis mengakibatkan terjadinya surplus arus air tahunan menuju ke tanah. Kondisi tanah di bawah ‘hutan’ mempunyai porositas dan kecepatan infiltrasi yang besar sehingga mendorong terjadinya aliran air ke lapisan tanah lebih dalam maupun aliran horisontal. Bentang lahan hutan yang alami memiliki permukaan yang kasar (tidak rata) terdiri dari perbukitan dan lembah atau cekungan yang dapat berfungsi sebagai tandon air sementara dan tempat pengendapan, memungkinkan jumlah air yang mengalir ke dalam tanah lebih banyak dan lebih jernih karena endapannya tersaring. Kadang-kadang bisa dilihat dan dibandingkan tingkat kekeruhan air sungai yang mengalir pada musim hujan melalui kawasan ‘tertutup’ (hutan atau agroforestri) dengan sungai yang melewati kawasan pertanian. Perbedaan kekeruhan air sungai ini menunjukkan besarnya konsentrasi sedimen yang terangkut aliran air pada saat itu.

Perubahan fungsi hutan dapat dirasakan secara nyata ketika hutan sudah tidak ada lagi akibat penebangan pepohonan sampai habis. Menurut Bruijnzeel (1997), perubahan sangat besar terjadi pada periode antara 1-3 tahun setelah ditebang (walaupun segera dilakukan penanaman kembali). Kondisi sangat kritis terjadi pada 6– 12 bulan pertama. Periode ini dinamakan fase pemulihan (establishment). Pada tahun kedua sampai ketiga terjadi penurunan erosi dan debit yang menuju ke normal (seperti sebelum adanya penebangan). Namun demikian dalam periode ini masih terjadi perkolasi dan pencucian unsur hara yang sangat besar. Periode ini dinamakan sebagai periode pengembangan dan pematangan tegakan (stand development and maturation).  Hasil penelitian di Sumberjaya (Lampung) menunjukkan bahwa periode pemulihan (establishment) yang terjadi pada konversi hutan menjadi agroforestri berbasis kopi berlangsung antara 4-5 tahun dan sesudah itu baru menunjukkan adanya fase pemulihan. Namun, sampai dengan tahun kesepuluh setelah penebangan hutan dan penanaman kopi kondisi hidrologi di kawasan ini belum bisa kembali seperti semula.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment