Kesultanan Cirebon
Menurut berita Tome Pires sekitar 1513
diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan
Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate
Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak bahan makanan
lainnya. Kota ini berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires
Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun sebelum kehadiran Tome Pires
sendiri.
Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon menurut sumber
lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada
1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada 1470
M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah
Iman atau Pangeran Cakrabumi. Syarif Hidayatullah kawin
dengan Pakungwati dan pada 1479 ia menggantikan mertuanya sebagai
Penguasa Cirebon, lalu mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati
di sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah
terkenal juga dengan gelaran Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati,
seorang dari walisongo dan juga ia mendapat julukan Pandita-Ratu sejak
berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala
pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan
Sunda Pajajaran di Pakuan. Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski
mungkin masih terbatas daerahnya. Pangeran Cakrabumi alias Haji
Abdullah Iman dan juga Syaikh Datuk Kahfi yang telah mempelopori
pendirian pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam
untuk daerah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam
makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi
barat alun-alun Keraton Pakungwati.
Islam diluaskan ke berbagai daerah,
antara lain, ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar 1528-1530, dan ke
Banten sekitar 1525-1526 bersama putranya Maulana Hasanuddin. Sekitar
1527 ia mendorong menantunya, panglima yang dikirimkan Pangeran
Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan
Sunda. Ketika itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan hubungan dengan
Portugis dari Malaka sejak 1522.
Sunan Gunung Jati wafat pada
1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan makam
Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal
sebagai Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal
dunia pada 1565. Pada masa pemerintahannya hubungan dengan Mataram masih
diteruskan melalui jalur kekeluargaan antara lain dengan pernikahan
kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Ratu Ayu Sakluh dengan Sultan
Agung Mataram (1613-1645), yang melahirkan Amangkurat I (1614-1677).
Keberadaan
Kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17 diwarnai dengan
perjanjian-perjanjian VOC antara lain perjanjian pada tanggal 7 Januari
1681. Lewat perjanjian tersebut Kesultanan Cirebon mulai dicampuri
politik kolonial VOC. Selain itu di bidang ekonomi-perdagangan, VOC
mendapatkan hak monopoli seperti pakaian dan opium. Demikian pula
ekspor komoditas lada, beras, kayu, gula, dan sebagainya berada di
tangan VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi
lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan. Karena itu menurut pendapat Sharon
Sidiqque, Kesultanan Cirebon sejak 1681 sampai 1940 mengalami
kemerosotan karena kolonialisme. Meskipun pendapat beberapa ahli agak
berbeda namun dapat dikatakan Kesultanan Cirebon merupakan pusat syiar
keagamaan dengan penyebarannya berlangsung sebelum 168I. Tasawuf dan
tarekat-tarekat keagamaan Islam seperti Kubrawiyah, Qadariyah,
Syattariyah, dan kemudian Tijaniyah berkembang di Cirebon. Cirebon
sebagai pusat keagamaan banyak menghasilkan naskah-naskah kuno seperti
Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, dan
lainnya.
0 komentar:
Post a Comment