ASPEK SOSIAL EKONOMI AGROFORESTRI bag 5
5) Jaminan kesinambungan (sustainability)
Sistem penguasaan lahan dan hasil agroforestri (singkatnya sumber daya agroforestri) menggambarkan tentang sekumpulan hak-hak yang dipegang oleh seseorang atau kelompok orangorang dalam suatu pola hubungan sosial terhadap suatu unit lahan dan hasil agroforestri dari lahan tersebut.Singkatnya, siapa mempunyai hak apa. Hak-hak itu menunjuk pada aspek hukum dari sistem penguasaan sumber daya agroforestri.
a) Penguasaan lahan
Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah, mengingat sistem agroforestri merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen. Gambar 29 mengilustrasikan pertanian dalam penguasahaan lahan yang berbeda yaitu kuat (kepemilikan individu) dan lemah (open access).Dalam keadaan open access, tenaga kerja akan terus bertambah sepanjang produk rata-rata lebih besar dari upah (APN > w). Keseimbangan terjadi pada saat produk rata-rata sama dengan upah (APN = w). Karena kondisi open access tersebut, maka tidak ada hambatan bagi orang untuk mengerjakan lahan tersebut. Dalam keadaan ini tidak ada nilai land rent, sehingga tidak ada insentif untuk menginvestasi untuk melaksanakan agroforestri. Pertanian perladangan berpindah yang mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah, dan tidak ada usaha mengembalikan ke kondisi semula, maka petani cenderung memilih mencari lahan yang baru dan mulai melakukan eksploitasi dan menjadikannya lahan pertanian monokultur lagi.
Hasil penelitian ICRAF/CIFOR terkini di Trimulyo, Lampung Barat (Suyanto et al., 2002) menunjukkan bahwa penguatan penguasaan lahan di hutan lindung oleh masyarakat berdampak pada perubahan sistem pertanian. Sekitar 63% plot kebun kopi di hutan lindung yang dikelola oleh kaum pendatang lama sebelum dikuasai/dimiliki berupa lahan kritis yaitu alang-alang dan kebun kopi tua yang terbakar. Demikian pula kebun kopi di hutan lindung yang dikelola pendatang baru, sebelum dikuasainya merupakan lahan kritis (96%). Hal ini menunjukkan terjadinya rehabilitasi lahan
kritis di hutan lindung oleh masyarakat. Karena adanya penguatan penguasaan lahan yang diklaim oleh masyarakat, maka insentif untuk melakukan agroforestri menjadi lebih tinggi.
Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya (88-89%) kebun kopi yang ditanam dengan sistem multistrata kopi atau kopi agroforestri. Dalam sistem ini kopi ditanam dengan pohon lain baik itu pohon pelindung maupun pohon- pohon lain yang memberikan keuntungan ekonomi secara langsung.
Privatisasi
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan antara sistem-sistem penguasaan lahan (land tenure systems) dengan praktek agroforestri. Berdasarkan kasus di Mbeere – Kenya, Brokensha dan Riley (1987) menjelaskan bahwa privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohon-pohon karena alasan kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure).Lahan individu, bukan komunal
Kepastian penguasaan lahan dan jaminan memperoleh manfaat dari agroforestri sebagai faktor penentu bagi praktek agroforestri. Murray (1987) menjelaskan bahwa berdasarkan sistem tenurial/kepemilikan lahan yang ada di Haiti (Amerika Latin), petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakanya pada lahan komunal (commonly owned kin-land) atau lahan negara (state land). Hal ini karena lahan milik sendiri memberikan jaminan memperoleh manfaat yang lebih besar daripada lahan komunal atau lahan negara.Petani mengadopsi budidaya pohon-pohon lebih karena alasan ekonomi (cash flow) daripada keuntungan ekologisnya. Berdasarkan kasus di Nigeria (Afrika), Adeyoju (1987)
menjelaskan bahwa karena agroforestri lebih membutuhkan modal daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure) diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya.
b) Penguasaan atas pohon
Dalam kasus-kasus tertentu hak atas lahan dipisahkan dari hak atas hasil agroforestri, sedangkan dalam kasus-kasus lainnya hak atas hasil agroforestri melekat pada hak atas lahan yang digunakan untuk agroforestri. Misalnya, pada masyarakat suku Dayak di pedesaan Kalimantan Barat, siapa yang menguasai lahan sekaligus juga menguasai jenis tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di atasnya (Peluso dan Padoch, 1996). Pada masyarakat suku Muyu, Irian Jaya, sagu (dan juga tanaman jenis pohon lain) menjadi simbol hak pemilikan suatu unit lahan (Schoorl, 1970), demikian pula di pedesaan Sukabumi, Jawa Barat (Suharjito, 2002) dan Jawa pada umumnya. Fortmann (1988) menjelaskan bahwa penguasaan atas pohon mencakup sekumpulan hak- hak yang dapat dipegang oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda.Kategori hak
Terdapat empat kategori hak atas pohon, yaitu (1) hak untuk memiliki atau mewariskan pohon-pohon; (2) hak untuk menanam pohon; (3) hak untuk menggunakan pohon dan hasil dari pohon; (4) hak untuk memindahtangankan pohon: merusak, memberikan, menyewakan, atau menggadaikan (Fortmann,1988). Karena hasil agroforestri bukan hanya pohon, maka hak-hak tersebut dapat pula dilekatkan pada hasil agroforestri selain pohon.Kategori pemegang hak
Pemegang hak (right holders) dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu negara (pemerintah), kelompok, rumah tangga, dan individu. Pemerintah memiliki hak-hak dalam (1) mengatur penggunaan lahan dan hasil agroforestri daripadanya yang dimiliki oleh pihak lain; (2) melarang atau membatasi penggunaan lahan dan hasil agroforestri pada kawasan hutan tertentu, misalnya kawasan lindung; (3) memberikan ijin penggunaan secara terbatas atas lahan dan hasil agroforestri pada kawasan lindung (Fortmann, 1988).Kelompok memegang hak-haknya atas lahan dan hasil agroforestri, mengatur dan melindungi hak-hak para anggotanya dari pihak lain di luar kelompok. Ikatan kelompok dapat berupa teritorial, kekerabatan, atau kelompok badan hukum. Hak-hak atas lahan dan hasil agroforestri yang dipegang oleh rumah tangga dapat berbeda satu sama lain menurut kelas sosial, kasta, etnisitas, atau daerah geografis. Sedangkan hak-hak atas lahan dan hasil agroforestri yang dipegang oleh individu dapat berbeda menurut gender atau senioritas.
c) Aspek hubungan sosial
Selain dari aspek hukumnya, sistem penguasaan sumber daya agroforestri mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan sosial itu menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihak- pihak) yang terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem agroforestri yang dikembangkan.Adanya perkembangan sosial ekonomi, hubungan-hubungan sosial berkembang dan aturan penguasaan sumber daya agroforestri semakin kompleks. Misalnya di pedesaan Jawa sudah lama berkembang sistem sewa, gadai, bagi hasil sehingga hak atas lahan dapat terpisah dari hak atas tanaman. Di Malang, Jawa Timur berkembang sistem kontrak budidaya apel, seseorang dapat menguasai tanaman apel yang dibudidayakan di atas lahan milik orang lain sedangkan pemiliknya masih dapat membudidayakan sayur mayur pada lahan yang sama dengan sistem agroforestri (Suryanata, 2002). Bentuk lain pola kerjasama budidaya agroforestri yang melibatkan dua pemegang hak yang terpisah yaitu pemegang hak atas lahan dan pemegang hak atas tanaman adalah sistem tumpangsari yang dikembangkan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan petani (Kartasubrata, 1995), sistem nurut yang dikembangkan oleh petani di Sukabumi (Suharjito, 2002). Pada masyarakat Ende (Lio) juga berkembang sistem kewe, yaitu penyewaan lahan dari pihak pemilik kepada pihak penyewa, penyewa menyerahkan sejumlah uang atau ternak dan ia dapat menggunakan lahan untuk jangka waktu tertentu (Teluma, 2002).
Untuk menjamin diterapkan dan dikembangkannya agroforestri oleh petani maupun oleh pihak terkait, diperlukan pertimbangan yang bukan hanya berdasar pada biofisik (peran dan fungsi agroforestri secara biofisik), tetapi juga berdasarkan aspek sosial budaya ekonomi. Para pengambil keputusan seringkali hanya mempertimbangkan analisis untung-rugi secara ekonomi. Kesulitan analisis ekonomi terletak pada bagaimana mengukur untung-rugi layanan lingkungan oleh agroforestri.
Di tingkat petani, keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar analisis untung-rugi. Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan, dan penghasilan tunai. Sayangnya, sistem penggunaan lahan yang potensial seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain, seperti kebijakan yang berlaku, infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan sosial budaya, ketersediaan sumber daya, kemudahan akses terhadap informasi, dsb. Kesemua faktor tersebut mempengaruhi apakah suatu sistem agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment