-->

Mengapa Manusia Berbuat Jahat


1.  Nafsu yang Tidak Terkendali 

Seperti halnya watak sejati yang di dalamnya terkandung benihbenih kebajikan: Cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, dan kebijaksanaan yang mutlak dimiliki oleh semua orang (tanpa kecuali), begipun halnya dengan nafsu (daya rasa) yang terdiri dari perasaan: gembira, marah, sedih, dan senang/suka adalah juga hal yang pasti dimiliki oleh semua orang. Nafsu (daya rasa) yang disebutkan itu dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja, dan manusia sering kali atau tidak mempunyai kendali atas kapan ia dilanda emosi, juga emosi apa yang akan melandanya, tetapi paling tidak manusia dapat memperkirakan berapa lama emosi itu akan berlangsung menguasai dirinya. Banyak pengaruh-pengaruh dari luar diri yang dapat memicu timbulnya nafsu yang ada di dalam diri. Bila ‘nafsu’ di dalam diri itu telah terpicu, maka bersamaan dengan itu tubuh akan bergerak melakukan sesuatu, dan hal ini akan berakibat tidak baik bila berlebihan atau tidak dapat dikendalikan. Pada kondisi seperti inilah harus ada sesuatu yang dapat meredam atau mengendalikan nafsu-nafsu tersebut, inilah fungsi watak sejati. Nafsu, dengan kuat menggerakan tubuh untuk melakukan hal-hal tertentu sampai sepuas-puasnya (melampaui batas-batas kewajaran). Hal ini tentu saja berbahaya, sangat berbahaya! Watak sejati meredam,  membendung, mengendalikan agar semuanya tetap berada pada batas kewajaran yang tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Dapat mengendalikan nafsu-nafsu yang timbul tetap berada pada batas kewajaran (batas tengah) inilah dimaksud harmonis.
Nafsu apabila dapat dikendalikan, akan menjadikan orang memiliki kedewasaan sikap. Nafsu akan mampu membimbing, menggerakan pikiran, menciptakan nilai-nilai bagi kelangsungan hidup kita. Tetapi nafsu dengan mudah menjadi tidak terkendali, dan hal itu memang sering kali terjadi. Masalahnya bukanlah karena nafsu itu sendiri, melainkan mengenai keselarasan antara nafsu dan cara mengekpresikannya, maka pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita membawa kecerdasan ke dalam emosi kita? Mengzi berkata;

1. “Pohon di gunung Giu, mula-mula indah dan rimbun, tetapi karena letaknya dekat dengan sebuah negeri yang besar lalu dengan semena-mena ditebang, masih indahkah kini?” Benar, dengan  istirahat tiap hari tiap malam, disegarkan oleh hujan dan embun, tiada yang tidak bersemi dan bertunas kembali, tetapi lembu-sapi dan kambingdomba digembalakan di sana, maka menjadi gundullah dia.  Orang melihat keadaan yang gundul itu  lalu menganggap memang selamanya belum pernah ada pohon-pohon di sana.”

2. “Tetapi benarkah itu hakikat sifat gunung? Cinta kasih dan kebenaran yang dijaga di dalam hati manusia kalau sampai tiada lagi, tentulah karena sudah terlepas hati nuraninya (liangxing), hal itu seperti pohon-pohon yang ditebang dengan kapak, kalau tiap-tiap hari ditebang, dapatkah menunjukkan keindahannya?”   Dengan bergantinya siang dan malam orang dapat beristirahat, lalu pagi harinya beroleh kesegaran kembali; tetapi karena kegemarannya akan hal-hal yang buruk dan kurangnya kehendak g, bukan karena sifat alaminya saling mengerti dengan orang lain, maka perbuatan pada siang harinya itu memusnahkan kembali yang sudah diperolehnya. Kalau kemusnahan ini berulang-ulang terjadi, kesengsaraan yang diperoleh karena hawa malam itu, tidak cukup untuk menjaganya. Kalau kemusnahan ini berulang-ulang terjadi, kesegaran yang diperoleh karena hawa malam itu tidak cukup untuk menjaganya. Kalau kesegaran yang diperoleh karena hawa malam itu tidak cukup untuk menjaganya, bedanya dengan burung atau hewan sudah tidak jauh lagi. Kalau orang melihat keadaan yang sudah menyerupai burung atau hewan itu, ia lalu menyangka bahwa memang demikian watak dasarnya. Tetapi benarkah itu sungguhsungguh merupakan rasa hatinya?”

3. Maka kalau dirawat baik-baik, tiada barang yang tidak akan berkembang, sebaliknya, kalau tidak dirawat baik-baik tiada barang yang tidak akan rusak.” (Mengzi. VI A: 8/1-3) Ayat di atas menunjukan bahwa  watak sejati manusia yang pada dasarnya baik itu dapat dirusakkan oleh nafsu-nafsu yang tidak terkendali, jadi bukan karena watak dasar (watak sejatinya)  itu buruk adanya.

2. Keadaan yang Memaksa 

Adakala di mana manusia dapat bertindak/berbuat buruk meski tidak ada emosi negatif (‘nafsu’) yang menguasai dirinya, tindakkan itu dilakukan semata-mata karena menurutnya “tidak ada pilihan” atau “terpaksa.” Keadaanlah yang menyebabkan ia melakukan suatu tindakan tertentu. Seperti dicontohkan dalam uraian Mengzi melalui percakapannya dengan Gaozi, yang menggambarkan hubungan watak sejati/sifat asli manusia dengan suatu keadaan yang memaksa. Gaozi berkata, “Watak sejati manusia itu laksana pusaran air, kalau diberi jalan ke Timur akan mengalir ke Timur, kalau diberi jalan ke Barat akan mengalir ke Barat. Begitupun watak sejati manusia itu tidak dapat membedakan antara baik atau tidak baik, seperti air tidak dapat membedakan antara Timur dan Barat.” (Mengzi. VI A: 2) Mengzi berkata, “Air memang tidak dapat membedakan antara Timur dan Barat, tetapi tidak dapatkah membedakan antara atas dan bawah?” “Watak sejati manusia itu cenderung kepada baik, laksana air mengalir ke bawah, orang tidak ada yang tidak cenderung kepada baik, seperti air tidak ada yang tidak cenderung mengalir ke bawah.”  (Mengzi. VI A: 3) “Kini kalau air itu ditepuk dapat terlontar naik sampai melewati dahi, dengan membendung dan memberi saluran-saluran, air dapat dipaksa mengalir sampai ke gunung. Tetapi benarkah ini watak air? Itu tentu bukanlah hal yang sewajarnya, begitupun kalau orang sampai menjadi tidak baik, tentulah karena watak sejatinya diperlakukan seperti itu juga.” Secara alami air tidak ada yang tidak mengalir ke bawah, dan manusia tidak ada yang tidak cenderung kepada baik. Tetapi bila keadaan memaksa air dapat juga mengalir ke atas, begitupun  manusia, bila keadaan memaksa dapat juga berbuat tidak baik (tidak sesuai dengan sifat alaminya). Ketika air harus mengalir ke atas melawan kodratnya tentu tidak menjadi persoalan. Tetapi bila manusia yang kodratnya adalah baik jika menjadi tidak baik karena keadaan yang memaksa, tentu akan menjadi persoalan. Air adalah sebuah benda (bukan makhluk), jadi ia tidak dapat melawan jika diperlakukan (dikondisikan) untuk melawan sifat alaminya.

Tetapi manusia sebagai makhluk yang diberi watak sejati dan dorongan perasaan sebagai  kemampuan untuk melawan, jika karena keadaan memaksa lalu menjadi marah dan ganas (berbuat melawan sifat alaminya). Agama diciptakan untuk satu keperluan, membimbing manusia menempuh jalan suci dan dapat mengerti bagaimana mengendalikan setiap kondisi tidak baik yang timbul oleh nafsu-nafsu (gejolak rasa) ataupun oleh keadaan yang memaksa.

Mengzi berkata, “Pada tahun-tahun yang makmur, anak-anak dan pemuda-pemuda kebanyakan berkelakuan baik, tetapi pada tahun-tahun yang paceklik, anak-anak dan pemuda-pemuda kebanyakan berkelakuan buruk.” “Hal ini bukan karena Tian Yang Maha Esa menurunkan watak yang berlainan, melainkan karena hatinya telah terdesak dan tenggelam di dalam keadaan yang buruk.”  (Mengzi. Bab VI A: 7)

3.  Kebiasaan Buruk 

Kebiasaan adalah suatu tindakan yang dilakukan berulang-ulang (kontinu). Kebiasaan merupakan sebuah  latihan bagi tubuh. Artinya, bahwa suatu tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dapat menjadikan tubuh kita terlatih untuk selanjutnya dapat melakukannya dengan fasih. Oleh karenanya, kebiasaan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang. Orang yang biasa berbuat baik akan terlatih dan cenderung untuk terus berbuat baik, dan sebaliknya orang yang biasa berbuat/berperilaku tidak baik  juga akan terlatih dan cenderung untuk terus melakukannya. Orang biasa bangun pagi cenderung untuk terus bangun pagi, sebaliknya yang biasa bangun siang cenderung untuk terus bangun siang. Tubuh yang sedang istirahat cenderung untuk terus istirahat, dan tubuh yang sedang bergerak cenderung untuk terus bergerak dalam kecepatan dan arah yang sama, kecuali ada kemauan yang keras untuk merubahnya, dan memang dibutuhkan energi yang besar untuk merubahnya. Orang yang berhasil cenderung untuk tetap berhasil, yang bergembira cenderung untuk tetap bergembira, yang dihormati cenderung untuk tetap dihormati, dan yang mencapai cita-citanya cenderung untuk tetap mencapai cita-citanya.

Maka dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan cenderung untuk terus dilakukan.   Maka sedini mungkin hindari kebiasaan-kebiasaan buruk, karena akan berpengaruh buruk pula pada pembentukan karakter kita. Nabi Kongzi bersabda, “Watak Sejati itu bersifat saling mendekatkan, dan kebiasaan saling menjauhkan.” (Lunyu. XVII: 2). Dalam kesempatan yang lain Nabi Kongzi juga menasehatkan melalui sabdanya, “Periksalah keburukan dari sesuatu yang kita sukai, dan periksalah kebaikan dari sesuatu yang tidak kita sukai.”

4. Kurangnya Pendidikan 

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu, pendidikan tetaplah memiliki sumbangan yang sangat besar dalam membentuk perilaku seseorang. Kongzi bersabda, “Ada pendidikan tiada perbedaan.” (Lunyu. X: 39) Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa manusia dibekali Watak Sejati oleh Tian Yang Maha Esa sebagai kemampuan luhur bagi manusia, kenyataan ini menjadikan manusia berpotensi untuk menjadi manusia Junzi (berbudi luhur). Tetapi kemampuan yang dimiliki manusia itu masih memerlukan upaya-upaya, karena banyak faktor-faktor yang dapat menjadikan potensi yang ada itu menjadi hilang. Lingkungan keluarga tempat kita dilahirkan dan dibesarkan merupakan lingkungan pertama yang kita kenal dan individuindividu yang ada di dalamnya merupakan individu-individu yang paling dekat dengan kita, maka lingkungan ini cukup berperan dalam pembentukan karakter seseorang.

Di samping faktor lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan seseorang juga menjadi faktor yang ikut menentukan pembentukan karakter seseorang. “Sifat dasar manusia itu sama, kebiasaan-kebiasaan merekalah yang membuat berlainan.” Maka, sekalipun manusia memiliki potensi untuk menjadi manusia yang sempurna dalam usahanya menempuh jalan suci, manusia masih harus mengupayakannya dengan belajar dan terus belajar.
Penting Sebuah batu giok (batu kumala) sekalipun, kalau tidak digosok dan diukir tidak akan menjadi sebuah benda yang berharga, dan manusia tanpa belajar takkan mampu bijaksana.

Ada orang yang sejak lahir sudah bijaksana, tetapi ada yang harus melalui proses belajar terlebih dahulu. Hal ini bertujuan menekankan bahwa perbedaan pada diri manusia disebabkan oleh perbedaan pendidikan (pembinaan diri), bukan dari sifat dasarnya.  Maka melalui pendidikanlah manusia belajar hingga mengerti bagaimana membina diri dan memanfaatkan potensi yang ada di dalam dirinya. Melalui pendidikanlah manusia dapat mengerti bagaimana mengendalikan nafsu-nafsu (gejolak rasa) yang ada di dalam dirinya agar tetap berada di batas tengah. Melalui pendidikanlah manusia dapat mengerti bagaimana menghindari kebiasaan-kebiasaan buruknya. Melalui pendidikanlah pula manusia dapat bertahan pada fitrahnya yang suci. Maka bila semua manusia mendapat pendidikan yang cukup, semuanya mampu menjadi manusia yang sempurna tanpa ada perbedaaan, untuk kembali pada fitrahnya yang suci, karena memang fitrah manusia adalah sama. Nabi Kongzi merasa terpanggil untuk membuka pintu pendidikan bagi semua orang tanpa membedakan kelas dan status sosialnya.

Beliau mempunyai murid 3000 an orang. Murid Nabi Kongzi terdiri atas bebagai lapisan masyarakat, termasuk para pemuda di zaman itu, di antaranya berasal dari rakyat jelata. Berkat Nabi Kongzi, maka agama Khonghucu kemudian menjadi agama universal yang dipeluk oleh siapapun juga, tanpa memandang tingkat sosialnya. Beliau tidak pernah membedakan para murid berdasarkan asal-usul dan golongan. Maka terkenallah sabda Beliau: ”Ada Pendidikan, Tiada Perbedaan.” (Lunyu, XV: 39)



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment