-->

Tinjauan Normatif Pendidikan Islam Multikultural

Ada 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya
di bidang keagamaan, yaitu
1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu);
2) kesatuan kenabian;
3) tidak ada paksaan dalam beragama; dan
4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain.
Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing
klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang
lain.

Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-Qur’a>n
surat 4 (al-Nisa>’):131,19 QS, 3 (Ali Imran): 64.20
Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam QS, 4 (al-Nisa>’): 16321
Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari QS, 21 (al-Anbiya>’):
73,22 dan QS, 3 (Ali Imran): 84.23
Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama didasarkan kepada QS, 2 (al-
Baqarah): 256.24

Mengenai pengakuan akan eksistensi agama-agama lain adalah QS, 5 (al-Maidah): 69, 82.25
Semua ayat tersebut dipahami dalam perspektif teologis-normatif, yaitu dengan pengertian, di
dalamnya tidak ada keraguan sedikitpun dan bersifat mutlak. Pemahaman dari ayat-ayat tersebut tetap
diletakkan dalam konteksnya sebagai yang mutlak. Karena bersifat mutlak, maka cara kerja yang
ditempuh seorang guru agama harus selalu berusaha mengkaji ulang untuk membuktikan substansi
kebenarannya. Dalam mengkaji ulang itu, teknis yang dilakukan sebaiknya dengan menjelaskan konsep- konsep hubungan berbagai agama dengan narasi atau logikanya sendiri, kemudian semua disimpulkan dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang relevan. Jadi model untuk menjelaskan sesuatu, pada dasarnya sudah dibungkus paradigma teologis lebih awal, sehingga apa yang disampaikan kepada siswa, sesungguhnya merupakan penjelasan logis saja dari wahyu. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa gagasan tentang pengetahuan (kebenaran wahyu) tidak seperti dalam halnya dalam pengetahuan positivistik yang berkeyakinan bahwa gagasan tentang pengetahuan direduksi menjadi pengetahuan ilmiah, dan gagasan mengenai pengetahuan ilmiah direduksi menjadi intelegensia. Jadi, “mengetahui” harus berarti mengekspresikan relasi-relasi yang bisa diamati (observable) antara fakta yang ada dalam konteks relasi matematis.


Jadi, dalam perspektif ini, sudah diyakinkan terlebih dahulu bahwa terdapat sekumpulan
kebenaran adikodrati yang statis yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia, dan proses sejarah
dalam pewahyuan, di era ini, tidak begitu penting. Bila cara seperti ini yang ditempuh, maka seluruh
pengetahuan yang terkait dengan isu-isu hubungan antara agama menurut pandangan Islam terkesan
semua baik. Mungkin ada yang mengatakan bahwa cara ini apologis. Tetapi tidak mengapa, terutama
bagi siswa yang baru saja memahami sistem pembelajaran agama model ini. Barangkali, relevan dengan apa yang pernah ditulis Al- Faruqi bahwa konseptuasi atas inti kedua agama itu berbeda satu sama lain dan sesuai dengan sejarahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin untuk melakukan identifikasi antara masing-masing agama tersebut, karena masing-masing lengket dengan sejarahnya. Seseorang dapat melihat Islam dan Kristen sebagai dua agama yang berbeda, akan tetapi, ada kemungkinan besar untuk keluar dari perbedaan ini, yaitu dengan melihat inti asli (substansi) agama tersebut, memusatkan perhatian secara penuh terhadapnya dan membangun berbagai argumentasi di atasnya.


Aspek normatif ini juga dapat dilihat pada ayat-ayat sebagai dasar umum hubungan antara
agama, pada surat Ali Imron: 113 yang berisikan pujian atas ahli kitab yang bersifat jujur; surat al-
Tawbah: 31 yang berisikan kepercayaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan ‘Uzair dan al-Masih itu putra Allah, bahkan mereka mempertuhan rahib-rahib dan orang alim mereka sendiri, padahal mereka disuruh hanya menyembah Allah; surat al-Hadid: 27 yang berisikan bahwa mereka yang mengikuti Kitab Injil, yang diturunkan Nabi Isa, memiliki hati penuh dengan rsa santun dan kasih sayang; surat al-Nisa’: 71 yang berisikan pandangan al-Qur’an terhadap Nabi Isa, yang menyebutkan bahwa al-Masih, Isa putra Maryam itu utusan Tuhan, dan larangan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tiga; surat al-Ankabut: 47 yang berisikan bahwa bagi orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat, juga beriman kepada al-Qur’an. Secara doktrinal, seluruh bentuk hubungan itu tidak pernah berubah, kecuali setelah memasuki wilayah historis (konteks) yang cukup panjang.

Hubungan yang dimaksud di sini meliputi hubungan yang bernuansa positif dan bernuansa negatif,
yaitu dalam pengertian kritik. Proses kritik kelihatan berjalan dengan baik, karena tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan tiga agama yang bersaudara, yang sudah barang tentu bertugas saling mengingatkan. Dalam paradigma inklusif, kritik adalah sesuatu yang penting dilakukan. Hal ini berbeda dengan paradigma pluralis yang bersifat lebih “membiarkan”. Oleh sebab itu tidak salah jika seorang guru Agama Islam memasukkan ayat-ayat (teks) yang mengkritik keyakinan dan sikap penganut Kristen dan Yahudi sebagai dasar hubungan agama-agama. Kritik di sini tidak dipahami sebagai sebuah cacian hinaan maupun sebuah vonis, akan tetapi lebih merupakan sebuah peringatan yang menantang untuk melakukan dialog. Di samping menjelaskan wahyu melalui pendekatan rasional sebagai bukti otentik hubungan antara agama, unsur normatif pendidikan Islam juga bisa memusatkan kajiannya terhadap apa yang disebut oleh al-Qur’an sendiri sebagai hanif29, yang dipandang sebagai sebuah perkembangan pemikiran dan cenderung filosofis. Terma hanif merupakan terma yang banyak ditemui dalam al- Qur’an, bahkan bisa dijadikannya sebagai “alat perekat” hubungan berbagai agama dalam sejarah. Disini perlu digambarkan hanif sebagai orang yang bersandar kepada tradisi Ibrahim, menolah tuhan- tuhan palsu (shirk), menolak tradisi pa gan, cinta kepada pengetahuan dan penemu kebenaran.

Semua ini merupakan ciri khas kebenaran sebuah agama. Terma hanif dijadikan alat perekat terhadap berbagai tradisi keagamaan atau sebagai titik temu antara agama-agama Semitik, dan karenanyalah isu-isu besar tentang kesatuan kebenaran dalam agama-agama akan mungkin diwujudkan. Berbeda memang dengan pemikiran pluralis yang didasari oleh tradisi perenial yang lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek esoteris agama-agama sebagai muara bertemunya kebenaran masing-masing. Pengakuan Islam terhadap Tuhan agama Yahudi dan agama Kristen sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, komitmennya dengan ajakan Ilahi terhadap ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah genggaman Allah, merupakan satu-satunya langkah yang pertama dan nyata menuju persatuan dari dua agama dunia yang besar. Karen Armstrong mengatakan: dikatakan hanif sebagai tradisi Ibrahim berarti menyingkirkan semua pandangan khusus tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah keimanan yang murni dan tidak bercampur dengan konsep apa pun.

Bersamaan dengan hanif, paham monoteisme dan etika agama pra Islam Arab, Yahudi, Nasrani
dan Islam membentuk sebuah kesadaran agama yang esensi dan pusatnya satu. Kesatuan agama-agama ini, dengan mudah, dapat ditemukan para sejarawan dalam kebudayaan Timur Dekat Purba. Yang demikian masih berbekas dalam literatur-literatur kuno, dan kesamaan tradisi tersebut didukung oleh kesatuan geografi, bahasa (Semit) dan kesatuan ekspresi artistik mereka.

Kesatuan kesadaran agama Timur Dekat ini terdiri dari 5 (lima) prinsip utama yang sekaligus
mencirikan tradisi penduduknya. Lima prinsip tersebut diringkaskan sebagai berikut :

First: The reality of God’s existence, the distinct pisition of Creator from His creatures, unlike the atributes of Ancient Egypt and Ancient Greece on one side, and Hinduism dan Taoism on the other.. Second: The purpose of man’s creation is neither God’s Self-contemplation nor man’s enjoyment, but unconditional service of God on eart, His own ‘mannor’.. Third: The relevance of Creator to creature, or the Will of God is the content of revelation and it is expressed in terms of law, of ought an moral imperatives.. Fourth: Man, the servant, is master of the ‘mannor’ under God, capable of transforming it through his own efficacious action into what God desire it to be.. Fifth: Man’s obedience to and fulfillment of the Divine commands result in happiness and felicity, opposite of which is suffering.

Prinsip-prinsip ini membedakan antara orang-orang Arab dari lainnya di seluruh dunia. Semua
ini merupakan dasar tempat bersatunya agama Yahudi, Nasrani dan Islam, sekaligus membuat mereka
menjadi sebuah gerakan dalam sejarah kemanusiaan kendati mereka berbeda. Kesatuan kesadaran
keagamaan dan kultur semitik tersebut bukan pengaruh tradisi Mesir Kuno (1465-1165 BC), tidak
juga oleh orang-orang Philistin, bangsa Hitti, Kassit dan orang Aria, yang juga sebenarnya telah
mengalami Semitisasi dan asimilasi (semitized dan assimilated) lewat penaklukan para militer mereka. Dalam teori progresif agama-agama tersebut, apakah dapat dikatakan satu agama yang
belakangan adalah pinjaman dari yang sebelumnya? Al- Faruqi, seorang tokoh Islam, pernah mengkritik Barat yang sering mengatakan Islam telah banyak meminjam dari tradisi Yahudi dan Kristen. Dia mengatakan ko-eksisten dan penyamaan berbagai tradisi agama, tidak dipandang sebagai saling meminjam. Dia menekankan bahwa adalah suatu yang naif dan memalukan untuk menggunakan istilah “pinjam meminjam” di antara dua gerakan besar, yang di dalamnya juga ditemukan kelanjutan dan perbaikan terhadap pendahulunya. Yang aneh lagi, menurut Al-Faruqi, kebanyakan sarjana Barat justru tidak pernah mengatakan bahwa Kristen sebagai pinjaman dari Yahudi, Buddha pinjaman dari Hindu dan Protestan pinjaman dari Katholik. Demikian Islam menyebutnya identik dengan Yahudi dan Kristen, tetapi tetap direformasi dari penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi.

Berdasarkan bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, agama-agama lain bisa dikelompokkan ke
dalam tiga bagian, yaitu:
(1) Agama Yahudi dan Nasrani (Kristen)
(2) Seluruh bentuk agama/kepercayaan masyarakat yang dipandang sebagai sebuah ekspresi untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, dan
(3) Manusia secara umum (Humans Uberhaupt)

Hubungan Islam dengan agama-agama lain tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Islam memberikan status istimewa kepada agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena secara tekstual al-
Qur’a>n menyebut kedua agama tersebut agama Tuhan. Para pendiri agama ini adalah Ibrahim, Musa, Daud dan Isa sebagai nabi-nabi Tuhan dan kitab-kitab yang mereka bawa seperti, Taurat, Injil, dan Zabur juga merupakan wahyu Tuhan.

Jadi, secara teologis, penghormatan Islam terhadap agama Yahudi dan Nasrani, pendiri dan kitab sucinya bukanlah sebuah penghormatan biasa, akan tetapi atas dasar kebenaran agama-agama tersebut, bahwa semua juga dari Tuhan yang sama. Islam memandang agama-agama tersebut tidak hanya sebagai pandangan yang lain yang harus dihadapi dengan toleran, akan tetapi sebagai agama yang sah atas kebenaran dari Tuhan. Dengan demikian, statusnya yang sah tidaklah dalam pengertian sosial politik, budaya atau peradaban, akan tetapi keagamaan. Oleh karena itu, Islam dipandang begitu unik, karena tidak ditemukan agama lain di atas dunia ini yang percaya kepada kebenaran agama lain sebagai syarat utama pada kebenaran kepercayaan agamanya dan kesaksiannya.
Secara konsisten, Islam melanjutkan dan mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani dalam
mengidentifikasikan diri dengannya. Di sini ditemukan sebuah hubungan teologis dan ideologis yang
erat antara Islam, Kristen dan Yahudi, yaitu tiga agama ini mengakui Tuhan yang satu. Pengakuan
bersama ketiga agama tersebut atas Tuhan yang satu membawa konsekuensi bahwa wahyu dan agama- agama ini pada hakikatnya satu. Islam tidak memandang dirinya lahir dari kondisi keagamaan yang kosong (ex nihilo), tetapi sebagai penegasan kembali atas kebenaran yang pernah datang lewat para nabi sebelumnya. Mereka semua dipandang Muslim, dan wahyu mereka satu dan serupa dengan wahyu Islam. Dalam menerjemahkan Hadith Nabi Muhammad SAW. tentang kelahiran manusia yang fitrah, ia menulis: All men are born Muslims (in the sense of being endowed with religio naturalis). It is their parents (tradition, history, culture, nurture as opposed to nature) that turn them into Christians and Jews. On this level of nature, Islam holds the believer and non-believer as equal partakers of the religion of God.

Apresiasi Islam terhadap agama lain, seperti yang terlihat dalam perspektif teologis di atas, dapat
memberikan sumbangan yang besar terhadap hubungan antara penganut agama-agama dalam perspektif Islam. Yang demikian dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pernyataan tersebut memberikan dasar yang baik bagi sebuah ekumene dunia di bidang keagamaan, yang di dalamnya agama-agama saling menghormati klaim masing-masing, tanpa membantah klaim mereka sendiri. Kedua, pandangan ini akan memberikan suatu dasar yang sah untuk mencari kesatuan agama-agama yang diperuntukkan bagi umat manusia. Jika dialog agama yang diinginkan bukan hanya sekedar basa-basi atau saling tukar informasi, maka dialog itu harus mempunyai sebuah norma keagamaan yang dapat mendamaikan berbagai perbedaan di antara agama-agama. Penganut sebuah agama yang terlibat dalam sebuah dialog agama harus memiliki norma tersebut dan selalu memosisikan diri di atasnya. Islam menemukan norma ini di dalam agama fit}rah. Dengan norma ini pihak-pihak yang mengikuti dialog merasa merdeka untuk menghadapi tradisi-tradisi agama historis lainnya. Jadi, tidak ada ide yang lebih merangsang kemerdekaan ini daripada ajaran Islam, bahwa suatu tradisi agama adalah sebuah perluasan manusiawi dari agama fitrah yang primal itu. Ketiga, pandangan ini sangat erat hubungannya dengan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen yang tidak dianggapnya sebagai “agama-agama lain” akan tetapi sebagai dirinya sendiri. Pengakuannya terhadap Tuhan agama Yahudi dan Kristen sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, dan komitmennya terhadap ajakan Ilahi terhadap ahli-ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah sabda Allah merupakan satu-satunya langkah yang nyata menuju persatuan dari tiga agama besar dunia tersebut.

Di samping dua agama Yahudi dan Nasrani, secara normatif Islam juga sudah membina hubungan dengan tradisi. Cara yang ditempuh untuk mendekatkan pengikut agama-agama lain kepada Islam mungkin berbeda dengan cara yang ditempuh terhadap agama Yahudi dan Nasrani. Ini bisa saja terjadi, terutama seorang guru kesulitan dalam melacak cerita wahyu (sejarah sakral) tentang hubungan Islam dengan penganut agama selain Yahudi dan Nasrani tersebut. Ada cara praktis yang bisa ditempuh, seperti halnya yang dilakukan Al-Faruqi, yaitu dengan mengajukan konsep yang ia sebut ‘fenomena kerasulan’, kendatipun sebenarnya, secara tekstual, al-Qur’an menyebut golongan-golongan lain seperti: orang-orang Sabiin, orang Majusi, ‘Ad dan Thamud.38 Hal ini dilakukannya, paling tidak, atas dasar bahwa di samping golongan-golongan tersebut tidak dikelompokkan kepada agama-agama Ibrahim, juga data atas golongan tersebut relatif sulit ditemukan. Menurut Al-Faruqi, fenomena kerasulan itu universal, ia berlangsung melewati semua ruang dan waktu. Al-Qur’a>n surat al-Isra>’ ayat 15 menyebutkan: Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, maka sesungguhnya itu untuk keselamatan dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. Jadi fenomena kerasulan itu sebenarnya merupakan konsep yang mengandung pengertian bahwa pada setiap umat, Tuhan mengutus seorang nabi untuk membimbing mereka. Sebagian para nabi itu diketahui dan sebagian yang lain tidak.

Penyampaian dan penyebaran perintah Tuhan yang demikian disebut sebagai fenomnea kerasulan.
Sarana pemersatu umat beragama di sini tidak dilihat dari geneologi agama-agama dan pernyataan
Tuhan secara tekstual, akan tetapi dilihat dari pesan semua nabi itu sama. Menurut Al-Faruqi,
universalitas dan absolusitas yang egaliterian ditemukan dalam konsep tersebut. Fenomena kerasulan
itu bukan hanya dipandang universal, tetapi isi dari masing-masing juga harus dipandang sama secara
mutlak. Islam mengajarkan bahwa ajaran para nabi yang ditemukan pada setiap waktu dan tempat
pada dasarnya adalah satu. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan utusan-Nya, sebab, jika hukum-
hukum Tuhan yang disampaikan kepada umat itu berbeda-beda pada setiap tempat, maka fenomena kerasulan itu akan kurang efektif. Dari pandangan tersebut, secara doktrinal-teologis, dapat dipahami
bahwa Islam memiliki akar yang kuat untuk melihat adanya hubungan yang erat antara setiap umat
manusia yang mengaku dirinya beragama, yang menurutnya juga atas dasar kebenaran wahyu. Mereka juga disebut muslim dan harus dihormati sebagai manusia yang memiliki kebenaran, kewajiban, tanggung jawab sistem peribadatan yang semuanya ditujukan kepada Tuhan. Karena kebenaran hubungan ini bersumber dari informasi wahyu, tidak ada sarana lain yang memperteguhnya kecuali iman sebagai sebuah sikap yang tidak menuntut pembuktian. Di samping membina hubungan dengan kelompok umat yang disebut beragama, Islam juga dasar normatif tersebut dapat dilihat dari Hubungan Islam dengan Umat Manusia (all Humans Uberhaupt).

Dalam pandangan berikutnya, Islam menetapkan adanya hubungan dengan manusia secara umum,
sekalipun mereka ini disebut sebagai umat tidak bertuhan (areligionists dan atheist), yakni atas dasar
adanya tanggung jawab untuk mengembalikan mereka sebagai anggota integral masyarakat, manusia
universal. Di atas akar inilah ditemukan raison d’etre penciptaan manusia. Dinyatakan dalam surat al-
Baqarah ayat 30: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan
nama-Mu?” Dia berfirman: “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Oleh karena
manusia dalam al-Qur’an dipandang sebagai khalifah, maka secara adikodrati dan teologis, seorang
Muslim wajib melaksanakan tugasnya untuk memperbaiki alam, termasuk menjaga dan melestarikan
hubungannya dengan manusia lain. Menjaga hubungan di sini tidak berdasarkan tuntutan sosial, akan
tetapi atas dasar perintah Tuhan. Jadi, dalam perspektif ini, menjaga keselarasan hidup umat manusia,
membantu dan menjaga hak orang lain dipahami dalam kerangka teologis. Doktrin tentang kesatuan
eksistensial yang timbul dari keesaan Tuhan, membiarkan sesuatu pada posisinya masing-masing, tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan. Keseluruhan masyarakat manusia merupakan bagian dari
keharmonisan global. Dalam gambaran tersebut di atas, umat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi
dengan pandangan tersebut, era teologis normatif ternyata dapat melahirkan kesadaran akan adanya
keteraturan. Keteraturan sosial adalah keteraturan masyarakat dalam mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama, sehingga dapat menjamin kehidupannya sebagai manusia. Ide ketuhanan bukan tidak bisa
menjadi justifikasi untuk faham-faham modern, seperti: humanisme, demokrasi, kesamaan dan
kebebasan.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment