Teori Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik
mempunyai kepentingan yang berbeda. Model keagenan tersebut dirancang
sebuah sistem dimana melibatkan kedua belah pihak dalam suatu perusahaan.
Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan
terjadi konflik keagenan. Oleh karena itu, diperlukan kontrak kerja yang baik dan
jelas antara pemilik (principal) dan manajemen (agent), sehingga kesepakatan
tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat
memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward. Utilitas dan reward
tersebut didapat dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan yang tercermin dalam
laba perusahaan (Lambert, 2001 dalam Sanjaya, 2008).
Kontrak yang diterapkan antara pemilik perusahaan (prinsipal) dengan
manajemen (agen), sehingga mengakibatkan prinsipal mendelegasikan beberapa
kewenangan kepada agen untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan
perusahaan. Jika kedua belah pihak berhubungan untuk memaksimalisasi utilitas,
maka ada kemungkinan agen tidak selalu bertindak untuk kepentingan utama
prinsipal. Oleh karena itu, prinsipal menyusun desain biaya pemonitoran untuk
membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh agen. Dalam beberapa hal,
prinsipal akan memberi imbalan kepada agen untuk menjamin agen tidak
mengambil tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi prinsipal (Sanjaya,
2008).
Konflik kepentingan semakin tinggi terutama karena prinsipal tidak dapat
mengawasi aktivitas agen. Prinsipal tidak mempunyai cukup informasi tentang
kewenangan dan kinerja yang dilakukan oleh agen, sehingga terjadi asimetris
informasi. Asimetri informasi merupakan suatu kondisi di mana ada
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak agen sebagai penyedia
informasi (prepaper) dengan pihak prinsipal yang umumnya sebagai pengguna
informasi (user) (Sanjaya, 2008).
Perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal (book tax differences)
dapat memberikan informasi tentang kewenangan manajemen (management
discretion) dalam proses akrual, karena terdapat sedikit kebebasan akuntansi yang
diperbolehkan dalam pengukuran laba fiskal (Wijayanti, 2006). Dengan demikian
laba fiskal tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi laba akuntansi yang
dihasilkan oleh perusahaan. Apabila angka laba diduga oleh publik sebagai hasil
rekayasa manajemen, maka angka laba tersebut dinilai mempunyai kualitas laba
yang rendah dan kurang persisten (Hanlon, 2005).
0 komentar:
Post a Comment