Menganalisis Data Produksi Agribisnis Pembibitan Ruminansia
Pentingnya melakukan identifikasi data produksi agribisnis ruminansia, antara lain :
Kebutuhan Manusia
Agribisnis ruminansia besar maupun ruminansia kecil di Indonesia mempunyai prospek yang sangat besar, karena permintaan produk daging, susu maupun kulit terus meningkat, seirama dengan pertambahan penduduk dan perkembangan perekonomian nasional. Namun sangat disayangkan karena dalam beberapa dasawarsa terakhir ini impor ketiga produk tersebut cenderung terus meningkat, walaupun terjadi fluktuasi sebagai akibat adanya perubahan global maupun dinamika nasional. Untuk merespon perkembangan agribisnis sapi di Indonesia dalam 10 tahun ke depan agar 90 persen kebutuhan daging dapat dipenuhi dari produk domestic. Diperlukan sarana prasarana, litbang, perbibitan, penyuluhan, pengamanan dari ancaman penyakit berbahaya, kelembagaan, promosi, dan dukungan akses atas sumber permodalan.Agribisnis komoditas pembibitan ternak ruminansia di Indonesia mempunyai prospek yang sangat besar, mengingat dalam 10 tahun mendatang akan ada 8 juta kepala keluarga muslim yang akan menyembelih ternak untuk kurban, pesta dan acara syukuran lainnya. Disamping itu untuk keperluan ibadah haji di tanah suci akan dibutuhkan hewan kurban untuk keperluan membayar dam ataupun untuk kurban para jemaah haji.
Profil usaha-usaha pembibitan ternak potong di sektor usaha primer menunjukkan bahwa usaha tersebut memberikan keuntungan yang relatif baik. Untuk itu diperlukan dukungan investasi dalam pengembangan agribisnis ternak potong baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat/komunitas peternak. Investasi tersebut meliputi aspek: (i) pelayanan kesehatan hewan, (ii) dukungan
penyediaan bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, (iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv) pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus informasi, pemasaran, promosi, permodalan, (v) penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (vi) ketersediaan laboratorium keswan, pakan dan reproduksi, serta (vii) penyiapan lahan usaha peternakan dan penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah keswan, sosial, hukum dan lingkungan.
Kualitas dan Kuantitas Ternak Menurun
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kepada adanya kemajiran ternak betina. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran pada ternak tersebut.Angka kelahiran dan pertambahan populasi ternak adalah masalah reproduksi atau perkembangbiakan ternak. Penurunan angka kelahiran dan penurunan populasi ternak terutama dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi atau kesuburan yang rendah dan kematian prenatal.
Penurunan kualitas dan kuantitas sapi dapat menhambat pertumbuhan perekonomian usaha peternakan sapi di Indonesia. Sehingga dalam usaha peternakan salah satu kunci memperoleh keberhasilan adalah dengan kualitas bibit yang digunakan, bibit mempunyai kualitas yang baik, genetik yang baik, mempunyai ciri fisik yang baik. Dengan bibit yang baik dan berkualitas maka akan meningkatkan produktivitas hasil ternak dari tujuan usaha yang
dijalankan, namun bibit bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan usaha peternakan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan adalah genetik dan linkungan, bibit yang digunakan dalam pembibitan ternak dapat berasal dari bibit dari dalam (lokal) maupun bibit dari luar negeri, tergantung dari tujuan pembibitan apakah akan digunakan sebagai produk akhir atau dikembangkan lagi. Untuk menghasilkan bibit-bibit yang baik dapat dilakukan dengan beberapa cara:
(a) Melakukan Seleksi
Seleksi dilakukan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetik yang baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta memilih ternak yang kurang baik untuk disingkirkan dan dipelihara dengan dipisahkan dari bibit yang baik. Penselekian dapat dilakukan dengan melihat genetik dan sifat fisik ternak.
(b) Perkawinan Silang Dalam
Silang Dalam adalah perkawinan antara dua individu ternak yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (keluarga). Tujuan dari silang dalam ini adalah untuk mencari (menghasilkan) individu yang sama jenisnya. Misalnya Sapi Simental dikawinkan dengan bangsa limosin akan menghasilkan pertumbuhan yang baik pada pertumbuhannya, tetapi apabila dilakukan penyilangan secara terus menerus maka akan menghasilkan keturunan yang kurang baik.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong agar usaha pembibitan ternak sapi dapat berkembang pesat antara lain adalah:
1. dukungan untuk menghindari dari ancaman produk luar yang tidak ASUH, ilegal, dan barang-barang dumping, melalui kebijakan tarif maupun non-tarif;
2. dukungan dalam hal kepastian berusaha, keamanan, terhindar dari pungutan liar dan pajak yang berlebihan;
3. dukungan dalam hal pembangunan sarana pendukung, kelembagaan, permodalan, pemasaran, persaingan usaha yang adil, promosi, dan penyediaan informasi, serta
4. dukungan agar usaha peternakan dapat berkembang secara integratif dari hulu-hilir, melalui pola kemitraan, inti-plasma, dan memposisikan yang besar maupun kecil dapat tumbuh dan berkembang secara adil. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk kegiatan budidaya bagi 200.000 tenaga kerja, serta satu juta tenaga kerja dalam kegiatan hulu dan hilir. Dengan demikian pengembangan agribisnis sapi di Indonesia akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi bangsa dalam hal ketahanan pangan, lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, devisa, serta perekonomian nasional.
Pengembangan Ipteks
Implikasi dari wasasan atau cara pandang telah membuahkan tiga pendekatan kelihatan makin realistik untuk mencapai keberhasilan tujuan pembangunan pembibitan peternakan sapi, pendekatan teknis, pendekatan terpadu dan pendekatan agrobisnis. Sasaran utama pendekatan teknis adalah peningkatan populasi pembibitan ternak sapi melalui kegiatan inseminasi buatan, penyebaran pejantan dan induk, penurunan tingkat kematian, pengendalianpemotongan hewan betina produktif serta larangan ekspor ternak hidup.
Sasaran pendekatan terpadu adalah peningkatan produksi melalui intensifikasi dengan memadukan aspek teknologi produksi (bibit, pakan, pemeliharaan dan reproduksi). Aspek ekonomis yang menyangkut penanganan pasca panen serta pemasaran, aspek sosial, yakni pengorganisasian peternak dalam suatu kelompok/koperasi. Sedangkan pendekatan agribisnis terletak pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan mengelola seluruh aspek siklus produksi (sejak pengadaan dan penyebaran sarana produksi, budidaya, pengolahan sampai ke pemasaran) secara seimbang.
Secara mandiri swasta dapat bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan semen, pabrik pakan mini,dll), serta di kegiatan hilir (RPH, industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos dll.). Usaha-ternak budidaya oleh swasta dilakukan melalui pendekatan pola kemitraan, dimana peternak menghasilkan bakalan dan inti membeli untuk digemukkan atau langsung dipasarkan. Variasi dari pola kemitraan dan investasi dalam pengembangan ternak potong, sistem integrasi mungkin cukup beragam, dan harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
Investasi penyediaan bibit unggul, untuk calon induk maupun pejantan adalah sangat strategis, karena saat ini praktis banyak pihak yang merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun ke depan kegiatan ini justru harus dilakukan oleh swasta atau peternak kecil yang maju. Investasi untuk usaha ini dapat dimulai dengan skala sedang 200-500 ekor untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang besar. Investasi yang diperlukan usaha ini sedikitnya sekitar Rp. 0,5-1 milyar, tidak termasuk kebutuhan lahan. Diharapkan usaha ini dapat dikembangkan di kawasan perkebunan yang sudah tersedia bahan pakan yang memadai. Sementara itu investasi untuk pabrik pakan, pabrik obat,
pabrik kompos, pabrik pengolahan susu, dll., dapat disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan, yang bernilai setara dengan nilai investasi pada ternak lainnya.
Dukungan kebijakan investasi perlu menyertakan petani sebagai end user dan pada akhirnya memberikan titik terang dalam pemberdayaan petani, peningkatan kesejahteraan disamping penambahan devisa dari ekspor bila pasar ekspor ke negara-negara jiran dapat dimanfaatkan. Untuk mendukung pembangunan/ revitalisasi pertanian dan menciptakan iklim investasi guna pengembangan dan peningkatan mutu ternak potong diperlukan berbagai kebijakan, antara lain: (a) penyederhanaan prosedur dan persyaratan untuk investasi usaha pengembangan peternakan kado; (b)penyediaan kredit bagi hasil dan (c) penyediaan informasi (harga dan teknologi).
Menurut Statiska Direktoral Jenderal Peternakan, konsumsi daging pada periode tahun 2010 – 2012 mengalami peningkatan, hal ini bisa dilihat pada Tabel 9. Angka konsumsi daging nasional tahun 2012 yaitu berjumlah 1.838.942 ton menempati urutan kedua setelah daging ayam yaitu konsumsi daging sapi potong dengan angka konsumsi sebesar 474.447,036 ton. Hal tersebut mencerminkan bahwa konsumsi daging sapi potong mempunyai kotribusi yang cukup besar dalam konsumsi daging nasional.
Kebutuhan masyarakat terhadap daging sapi cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan gizi masyarakat yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia. Petumbuhan populasi sapi potong dari tahun 2003 sampai tahun 2006 cenderung statis. Berdasarkan data Statistik Ditjen Peternakan, populasi sapi potong pada tahun 2013 mencapai 16,6 juta ekor. Jumlah tersebut tidak mampu untuk memenuhi permintaan konsumsi daging secara nasional. Melihat kenyataan tersebut sapi potong merupakan potensi terbesar yang prospektif dalam memasok permintaan daging di Indonesia. Tabel 12. menjelaskan perkembangan populasi peternakan di Indonesia dari tahun 2002 sampai tahun 2013
Menurut data Susenas (2012) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
- Asumsi
Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun
- Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
- Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
- Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.
- Proyeksi kebutuhan daging
Tahun 2000
o Penduduk 206 juta orang
o Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun
o Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun
o Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
Tahun 2010
o Penduduk 242, 4 juta orang
o Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun
o Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun
o Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)
Tahun 2020
o Penduduk 281 juta orang
o Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun
o Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun
Sumber : Apfindo
Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipenuhi dari tiga sumber yaitu peternakan rakyat (sapi lokal), industri peternakan rakyat (hasil penggemukkan sapi ekspor-impor), dan impor daging dari luar negeri. Produksi daging dalam negeri saat ini tidak mencukupi tingkat konsumsi sehingga pemerintah terus meningkatkan impor, baik daging sapi potong maupun bakalan sapi potong untuk mencukupi permintaan tersebut. Selain itu, tingkat ketergantungan atas bibit sapi potong pun masih tinggi
Impor sapi hidup dan daging beku merupakan salah satu upaya supaya tidak terjadi kesenjangan antara produksi dan tingkat konsumsi daging sapi di dalam negeri. Tabel 13. dapat menjelaskan perkembangan impor sapi dari beberapa negara asal selama lima tahun terakhir (Tahun 2007– 2013). Sapi yang diimpor berupa sapi bakalan dan sapi induk. Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah impor sapi tersebut cenderung mengal ami peningkatan.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengurangi ketergantungan impor sapi potong yaitu dengan cara memperbaiki mutu genetik sapi potong dengan menghasilkan bibit ternak sapi potong yang berkualitas. Bertambah banyaknya pembibitan sapi potong maka akan sangat mungkin menambah jumlah populasi ternak yang ada di Indonesia.
Kegiatan pembibitan melalui proses dan tahapan yang panjang serta membutuhkan modal yang besar sehingga untuk pengembalian modal dibutuhkan waktu yang lama dan perputaran uang yang lama. Bakalan yang digunakan sebagai bibit sapi potong diimpor sebagian besar berasal dari negara Australia. Harga bakalan dipengaruhi oleh kurs yang berlaku. Seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha pembibitan sapi potong dan apakah kegiatan usaha pembibitan (breeding) sapi potong layak dan menguntungkan secara ekonomis untuk dilaksanakan oleh karena itu analisis kelayakan usaha pembibitan sapi potong tersebut perlu dilakukan.
Pembibitan ternak bertujuan meningkatkan mutu genetik dan nilai ekonomis sapi potong serta menghasilkan bibit sapi yang memiliki kualitas unggul. Saat ini masih sedikit yang mengusahakan pembibitan sapi potong di Indonesia. Selama ini pihak swasta lebih tertarik menanamkan modalnya pada usaha penggemukkan dari pada usaha pembibitan. Hal ini disebabkan antara lain usaha penggemukkan memiliki resiko yang lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu pengembalian modal (payback period) lebih singkat dibanding usaha pembibitan, dimana breeding sapi potong baru dapat dijual setelah anak sapi yang baru lahir berumur tiga bulan.
Sumber :
Direktorat Pembinaan SMK. Agribisnis Pembibitan Ternak Ruminansia Untuk Kelas 11 Semester 3. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2013
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi
0 komentar:
Post a Comment