Status Perempuan dalam Agama Buddha
Di dalam Agama Buddha dikenal kesetaraan atau “ketiada-perbedaan” antara
seorang anak laki-laki dan perempuan. Gerakan kaum perempuan sebagai
gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Sang Buddha telah
meletakkan fondasi kuat hampir 2600 tahun lalu tentang hal itu. Dalam
Agama Buddha dikenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi di
dalam pencapaian pembebasan, Sang Buddha tidak membedakan jenis kelamin.
“Beberapa
perempuan sungguh lebih baik (daripada laki-laki). Berdasarkan dia, O
Raja para manusia. Ada perempuan yang bijaksana, saleh, memperlakukan
ibu mertua sebagai dewi, dan hidup suci. Pada istri mulia seperti itu
akan lahir anak gagah berani, seorang raja dunia, yang akan
memerintahkan kerajaan.”
Sang Buddha juga mengatakan, bahwa beberapa
perempuan dapat lebih baik daripada laki-laki. Ini merupakan kata-kata
asli yang pernah disampaikan Sang Buddha. Tidak hanya itu, Sang Buddha
juga sering menggunakan istilah “Matugama” yang berarti “Ibu Rakyat”
atau “Perhimpunan Kaum Ibu”. Ini menggambarkan betapa besarnya peranan
seorang perempuan. Demikian pula, Sang Buddha juga membukakan pintu bagi
perempuan untuk mencapai kesucian. Beliau menerima bibinya, Prajapati
Gotami yang sebagai ibu tirinya memasuki kehidupan Sangha. Akhirnya
Prajapati Gotami untuk mendirikan Sangha Bhikkuni.
Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1998 di vihara His Lai Los Angeles, 200 orang
bhiksuni dari berbagai tradisi Buddhis menerima pentahbisan penuh.
Perempuan lainnya di Asia, seperti Voramai Kalsbingshing juga
mempelopori dan memperjuangkan Sangha Bhikkhuni di Thailand. Banyak pula
perempuan di Eropa dan Amerika yang mempelopori gerakan emansipasi
Chatsumam Kabilisngh, perempuan Buddhis yang menempuh cara hidup
kebhiksuan ini. Beliau melihat bahwa agama Buddha juga memiliki hubungan
dengan perempuan.
0 komentar:
Post a Comment