Kekuasaan Dinasti Isyana
Pertentangan di antara keluarga
Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok
pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu
Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur)
dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di samping
pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan
kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan
prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak
Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa
yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi
Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.
Setelah Mpu
Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri
Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari
perkawinan ini lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana.
Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian
pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu
aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh
memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno.
Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta ia digantikan oleh Raja
Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan
Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan
ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian
dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah
kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran
dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang
ada.
Setelah dinobatkan sebagai
raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan
Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala
dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan
kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi
seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya
dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan
diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi
Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga
menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi. Namun,
putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan
nama Ratu Giriputri.
Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk
membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri dan Janggala. Hal itu
dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua
putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur
diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana),
dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah
sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri).
Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang
bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha),
meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.
Kerajaan Kediri
adalah kerajaan pertama yang mmpunyai sistem administrasi kewilayahan
negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang.
Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang
duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu
sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau
kerajaan yang disebut dengan bhumi.
0 komentar:
Post a Comment