Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Wajo
terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita
yang menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yang didirikan oleh
tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal
dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari
ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua.
Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar
Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena
kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik
perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun
temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi
arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama.
Selama keempat
arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo
(pendukung panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta,
sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang
memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya
sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan
Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam
perjanjian Tellum Pocco pada 1582. Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa
dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu
diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri
Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap
rajaraja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu
itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang
menjadi kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya
ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama
1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan
dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan
memberikan
bantuan dalam peperangan tetapi berulangkali Gowa juga mencampuri
urusan pemerintah Kerajaan Wajo.
Kerajaan Wajo sering pula membantu
Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660,
dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi
karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan
Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah
Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan
dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667.
Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada
1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah
ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur.
Arungmatoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar
tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC
0 komentar:
Post a Comment