Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah
Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah
kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya
Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya
mengalahkan Arya Penangsang di antaranya adalah Ki Ageng Pemanahan (Ki
Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram.
Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh
Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan
dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582,
Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo
merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki
Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya
Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan
pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama
dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat
kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang.
Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang
(1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya bernama Mas
Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada
masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.
Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas
wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem,
Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan
mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir
VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan
tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Mataram
berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang
dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa
bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya
adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi.
Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil
palawija.
Gambar 3.21 Masjid Agung Surakarta
Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan
raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula
kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah
pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama,
yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki
kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta
hidup mengabdi pada sultan.
Bidang kebudayaan juga maju pesat.
Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan.
Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan
gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari
yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan
Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa.
Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan
sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan
membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga
diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun,
yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri),
dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara
grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung.
Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang
dibentuk menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai
rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai
pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya.
Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia
digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi,
pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat I
adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering
bertindak
kejam.
Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin
kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua
berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
0 komentar:
Post a Comment