Kerajaan Islam di Sumatra Barat
Islam di daerah Lampung tidak
akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal masuk kekuasaan
Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada bagian ini
ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya
Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan berita
Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada
kelompok orangorang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt,
wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang
datang dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad
ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar
Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar
akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat
dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah
asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan
Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang
kesemuanya berada di daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga
mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus.
Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, seperti
emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap
tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari
Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.
Melalui
pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara
daerah Sumatra Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan
perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman
merupakan salah satu daerah yang berada di bawah
pengaruh
Kerajaan Aceh penggantinya. Pada abad ke-17 M, terdapat ulama terkenal
di Sumatra Barat salah seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal
bernama Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau
dan tak disangsikan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di
Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di daerah
Minangkabau dan ajaran tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat
dikatakan sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dalam
masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang
bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya
pada awal abad ke-19.
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad
ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, samasama
saling menghargai antara kaum adat dan kaum agama, antara hukum adat dan
syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi syara,
syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di
daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah dan kemudian
memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan
agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di
Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak
mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para
panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi
kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan
minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di
antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak
dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan
kehidupan masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum
ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam
mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Sementara
itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin
dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari
Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di
kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar
dan ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku
Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan
Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama
terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut “Padri”
yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi
kemaksiatan. Mereka itu terdiri atasTuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa,
Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang
Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan
ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu
makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan
politik dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok
sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan
bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19,
Belanda dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum
ulama dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan
ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang
meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri
diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku
Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837.
Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil
mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau
di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan
ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841
dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November
1864.
0 komentar:
Post a Comment