Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan
yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara
Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu
Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit.
Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah Sungai Nagara,
Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya tercatat dalam kitab
Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat
Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan
Daha, Raden Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat
kemenangan. Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam
dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam kepada
Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu
Demak. Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi
sekitar 1550 M.
Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar
atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai
Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda
daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti
kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar. Setelah
Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya dengan
gelar Sultan Rahmatullah. Ketika menjabat sebagai raja, ia masih
mengirimkan upeti ke Demak, yang pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan
Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah Kerajaan Banjarmasin
ialah seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti
Sultan Hidayatullah ialah Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan
gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya
memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai. Ketika memerintah pada awal
abad ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-kerajaan
sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit.
Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh
politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai
daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.
Pada
abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama
Muhammad Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura.
Atas biaya kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar
ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn
ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn.
Ia ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai
riwayat, ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara
panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak
wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergantian sultan-sultan
mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi
pertentangan-pertentangan antara keluarga raja, terlebih setelah
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan
terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama antara tahun
1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman,
Haji Nasrun dan lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu
sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.
0 komentar:
Post a Comment