-->

Wanatani karet

Karet telah dikembangkan di  Indonesia sejak lebih dari seabad lalu, yang sebagian besar (85%) merupakan perkebunan karet rakyat dengan produktivitas yang masih rendah yaitu kurang dari 800 kg/ha/tahun  (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005). Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan karena sistem pengelolaan masih bersifat ekstensif, terutama penggunaan bahan tanam lokal (unselected  seedling) dan rendahnya tingkat pemeliharaan, seperti penyiangan dan pemupukan yang minimum dilakukan.
Umumnya  kebun  karet rakyat dibangun  dengan sistem tebas-tebangbakar hutan sekunder atau hutan karet tua, yang diikuti oleh penanaman tanaman pangan (padi, jagung dan sayur-sayuran) di antara tanaman karet muda selama 1-2 tahun. Penanaman karet dilakukan bersamaan dengan tanaman pangan atau setelah tanaman pangan dipanen. Dengan pola yang sama, petani kemudian meninggalkan lahan  dan  membiarkan  tanaman  karetnya  tumbuh,  sambil mencari lahan baru untuk dibuka kembali. Penyiangan atau penebasan vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar tanaman karet  dilakukan satu sampai dua kali setahun pada awal pertumbuhan, dan maksimal sekali setahun sampai karet siap disadap. Selama masa pertumbuhan karet, kebun berkembang menjadi seperti hutan dengan karet sebagai komoditas utama yang tumbuh  bersama dengan jenis pohon kayu, buah-buahan, rotan atau tanaman obat lainnya.

Sistem ekstensif dengan pengelolaan minimal ini berkembang ke arah wanatani kompleks berbasis karet.  De  Foresta dan  Michon  (1996),  mendefinisikan wanatani kompleks sebagai struktur hutan  yang dikelola oleh petani untuk menghasilkan berbagai produk hutan  dan pertanian pada lahan yang sama, menyerupai struktur hutan alam, dengan struktur kompleks dan kanopi tertutup atau hampir tertutup didominasi hanya oleh beberapa spesies. Sedangkan wanatani sederhana adalah asosiasi yang
melibatkan hanya beberapa komponen tanaman yang tersusun secara nyata, teratur dengan pola tanam satu atau beberapa spesies pohon, baik dalam kanopi yang kontinyu, pada jarak yang sama atau dengan jarak tanam pagar, dan beberapa spesies tanaman setahun sebagai penutup tanah (Michon dan De Foresta, 1998).

Dengan pengelolaan ekstensif, pertumbuhan karet menjadi lambat dan beragam, sehingga waktu bukaan sadap lebih lama yaitu sekitar 8-12 tahun setelah tanam dan vegetasi hutan tumbuh bebas. Beberapa jenis vegetasi berguna yang tumbuh di antara tanaman karet  dipelihara terus oleh petani karena mempunyai nilai ekonomis di masa depan, sehingga karet menjadi sumber pendapatan utama dan tanaman pangan, buah-buahan serta kayu merupakan hasil sampingan. Namun, teknologi untuk memperbaiki produktivitas dalam sistem ini masih diperlukan antara lain melalui perubahan dari pengelolaan minimal yang dilakukan petani menjadi pengelolaan yang lebih intensif.

Selama 20 tahun terakhir, petani karet telah diberikan akses terhadap  bahan tanam karet klonal dengan pembangunan kebun yang lebih intensif ke arah monokultur, di antaranya melalui progam pengembangan seperti Smallholder Rubber Development Project (SRDP, 1981-1988), Tree Crops Smallholder Development  Project (TCSDP, 1989-1997) dan program Nucleous Estate for Smallholder (NES/PIR) untuk wilayah transmigrasi dan beberapa proyek  skala kecil seperti Program Pengembangan Wilayah Khusus (P2WK) dari Dinas Perkebunan atau Program Pengembangan Karet Rakyat (PKR-GK) oleh GAPKINDO  sejak tahun  1993.  Di  sisi lain, kebanyakan petani tidak mudah untuk mengadopsi dan mengimplementasikan teknologi yang direkomendasikan untuk mengembangkan kebun karet. Mereka menghadapi berbagai kendala teknis, sosial-ekonomi dan kelembagaan di tingkat petani, sehingga diperlukan teknologi yang tepat untuk mempertemukan sistem pengelolaan alternatif kebun karet sesuai dengan kondisi petani. Namun teknologi tersebut harus tetap menjamin peningkatan produktivitas kebunnya.

Sejak 10 tahun terakhir, World Agroforestry Centre (ICRAF) dengan CIRADFrance dan Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet bersama petani di Propinsi Kalimantan Barat, Jambi dan sebagian Sumatera Barat telah membangun jaringan penelitian dan percobaan wanatani berbasis karet klonal di lahan petani melalui Proyek Penelitian Sistem Wanatani Berbasis Karet (Smallholder Rubber Agroforestry System-RAS). Penelitian dilakukan untuk memahami berbagai sistem wanatani dan mengaplikasikan berbagai pendekatan yang sesuai untuk berbagai kondisi yang dihadapi di tingkat petani. Pengelolaan kebun dengan Sistem Wanatani Berbasis Karet Klonal (RAS) yang telah dibangun dalam penelitian tersebut telah memberikan pilihan bagi petani karet untuk mendapatkan produktivitas yang lebih tinggi. Dari hasil penelitian RAS, terdapat tiga sistem besar wanatani berbasis karet klonal yang dapat diterapkan pada kondisi petani dan lahan yang berbeda,
di antaranya :

a. ras 1, sistem wanatani karet ekstensif yang pengelolaannya setara dengan hutan  karet rakyat, dimana bahan tanam  karet asal cabutan (seedling) diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti pada sistem wanatani.

b. ras 2, sistem wanatani kompleks dengan pengelolaan cenderung intensif, dimana karet klonal ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan, buah-buahan dan tanaman penghasil kayu, rotan atau resin.

c. ras 3, sistem wanatani kompleks yang dibangun untuk  merehabilitasi lahan alang-alang dengan penanaman karet bersama dengan jenis tanaman lain yang cepat tumbuh  dan mampu menghambat pertumbuhan alang-alang.



Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Our Akuntansi


0 komentar:

Post a Comment